- Home>
- Cerita Fantasi >
- Gairah Tante Vivi
Posted by : Tanpa Nama
5 Dis 2012
Tante Vivi menyuruhku datang malam ini ke rumahnya. Sebenarnya agak
malas juga dan khawatir, bagaimanapun saya lebih senang mengajak Selva,
pacarku untuk menemani, ini membuatku ragu-ragu untuk berangkat.
9.15 malam: Aku masih ragu-ragu.., berangkat.., tidak.., berangkat.., tidak.
9.25 malam: Akhirnya Tante Vivi tanpa kuduga benar-benar menelepon, kebetulan aku sendiri yang menerima.
“Lho.., Ar.., kok kamu belum berangkat, bisa dateng tidak Ar?”, tanyanya kendengaran agak kecewa.
“Mm.., gimana ya Tante.., agak gerimis nih di sini..”, sahutku beralasan.
“Masa iya Ar.., yaah.., kalo gitu Tante jemput aja yaa..”, balasnya seolah tak mau kalah. Aku jadi blingsatan dibuatnya.
“Waah.., tidak usah deh Tante.., okelah saya ke sana sekarang
Tante.., mm Selva saya ajak ya Tante..”, sahutku kemudian. Aku pikir ke
sana malm-malam mau tidak mau akhirnya pasti harus nginap. Kalau ada
Selva kan aku tidak begitu risih, masa aku bawa Selva pulang
malam-malam. Tapi..
“iih.., jangan Ar.., Selva jangan diajak.., mm pokoknya ke sini aja
dulu Ar.., yaa.., Tante tunggu.., Klik”, sekali lagi seolah disengaja
Tante Vivi langsung memutuskan hubungan. Sialan pikirku, dia
mengerjaiku, ngapain malam-malam ke sana kaya tidak ada waktu siang
atau pagi kek. Aku jadi kesal, ngapain Selva kemarin cerita kalau aku
banyak ngerti masalah Komputer. Wuueek.., kaya pakar wae.., sekarang
baru kena getahnya.
Akhirnya dengan perasaan malas, malam itu benar-benar agak gerimis,
badanku sampai kedinginan terkena rintik air gerimis malam yang dingin
.Sekitar pukul 10.00 malam: Aku sampai juga di tempat Tante
Vivi, suasana di komplek perumahan itu sudah sepi sekali, aku membuka
pintu pagar yang sengaja belum dikunci dan kumasukkan sepeda motor ke
dalam.
Belum sempat aku mengetuk pintu, ternyata Tante Vivi rupanya sudah
mengetahui kedatanganku. Mungkin ia mendengar deru suara motorku ketika
datang tadi.
“aahh.., akhirnya dateng juga kamu Ar..”, katanya ramah dari balik pintu depan.
“Iya.., Tante..”, sahutku berusaha ramah, bagaimanapun aku masih setengah kesal, sudah datang malam-malam kehujanan lagi.
“Agak gerimis ya Ar..”, tanyanya seolah tak mau tau.
“Hsii..”, Tanpa sadar aku terbersin.
“Eehh.., kamu Flu Ar..”, tanyanya kemudian.
Aku mengusap wajah dan hidungku yang setengah lembab terkena air
gerimis. Tante Vivi menarik tanganku masuk ke dalam dan menutup pintu.
“Klik..”, sekaligus menguncinya. Aku tak begitu memperhatikannya karena
aku sendiri kuatir dengan kondisiku yang terasa agak meriang. Kuusap
berulang kali wajahku yang dingin. Lalu tiba-tiba kurasakan sebuah
telapak tangan yang hangat dan lembut membantu ikut mengusap pipi
kananku.
“Pipimu dingin sekali Ar.., kamu pasti masuk angin yaa.., Tante
bikinin susu jahe anget yaa..”, sahutnya lembut. Aku menoleh dan astaga
wajahnya itu begitu dekat sekali dengan mukaku. “Duh.., cantiknya”.
Kulitnya yang putih mulus dan halus, matanya yang hitam bulat sedikit
sipit dengan bentuk alisnya yang hitam memanjang tanpa celak, hidungnya
yang kecil bangir, dan bentuk bibirnya yang menawan tanpa lipstik.
Terlihat sedikit tebal dan begitu ranum. Sexy sekali bibirnya. Tante
Vivi tersenyum kecil melihatku setengah melongo.
“Kamu duduk dulu Ar.., Tante ke belakang dulu..”, sahutnya pelan.
Tanpa menunggu jawabanku, ia membalikkan tubuh dan bergegas berjalan
melintasi ruang tengah menuju ke belakang. Tubuhnya yang tingginya
mungkin sekitar 160 cm kelihatan begitu seksi ramping dan padat. Sempat
kulihat langkah kakinya yang berjalan sangat elok, saat itu kuingat
jelas ia memakai celana Jeans putih ketat serta memakai baju kemeja
halus berwarna merah muda dan dibiarkan berada di luar celana. Baju
yang dikenakannya seperti umumnya baju kemeja sekarang yang relatif
panjang, membuat celana jeans yang dikenakannya tertutup sampai ke atas
paha. Namun karena sifatnya yang lemas, membuat bajunya itu seolah
menempel ketat pada bentuk tubuhnya yang memang sangat seksi dan
montok. Pinggulnya yang bulat padat bergoyang indah kekiri dan kanan.
Begitu gemulai bagai penari Jaipong.
Kuhempaskan pantatku dengan perasaan lelah di atas sofa empuk ruang
tamunya. Aku memandang ke sekeliling ruangan tamunya yang cukup mewah.
Lukisan besar pemandangan alam bergaya naturalis tergantung di atas
tembok persis di belakang tempat dudukku. Selebihnya berupa
lukisan-lukisan naturalis sederhana yang berbingkai kecil dan sedang
tentang suasana kehidupan pulau Bali. Aku tak begitu tertarik dengan
lukisan, sehingga aku tak sampai mengamati lama-lama.
Sepuluh menit kemudian, Tante Vivi muncul dengan segelas besar susu
jahe yang masih kelihatan panas, karena asapnya masih terlihat
mengepul. Dengan wajah cerah dan senyum manis bibirnya yang
menggemaskan, mau tak mau aku jadi ikutan senang.
“Waah.., asiik nih kelihatannya.., wangi lagi baunya.., mm..”, kataku spontan.
“Pelan-pelan Ar.., masih panas..”, sahutnya pendek, sambil
memberikan minuman jahe itu kepadaku. Lalu tanpa risih ia duduk di
sebelahku. Aku jadi deg-degan juga.
“Gimana kuliah Selva Ar.., kapan nih rencana mau majunya..”, tanya Tante Vivi kemudian.
“Entah Tante.., setahu saya sih bulan depan ini dia harus
menyelesaikan seluruh asistensi skripsinya. Soal maju ujian skripsi
saya kurang tau Tante..”, sahutku polos.
“iih.., kamu ini gimana sih Ar.., pacarnya sendiri kok tidak tahu,
asyiik pacaran aja yaa rupanya..”, ujar Tante Vivi setengah bercanda.
“aah.., Tau aja Tante.., tidak salah..”, sahutku sambil ketawa nyaring.
“Kamu menyukai dia Ar..”, tanya Tante Vivi kemudian, seolah setengah malas menanggapi candaku.
” Waah.., Tante ini gimana sih.., ya jelas dong Tante.., lagipula
sekarang kami sudah sangat serius menjalin hubungan ini.., saya
mencintainya Tante..”, sahutku sedikit serius.
Tante Vivi tersenyum kepadaku, giginya yang putih bersih terawat
kelihatan indah, serasi dengan bentuk bibirnya yang tak terlalu lebar.
“Tidak Ar.., Tante khan cuman nanya.., soalnya Tante lihat Selva sayang sekali sama kamu..”, ujarnya kemudian.
“Jangan kuatir deh Tante..”, sahutku pelan sambil mulutku mulai
menyeruput wedang susu jahe bikinannya itu. Terasa sedikit pedas di
bibir namun hangat manis di lidah dan kerongkonganku.
“Komputernya di taruh mana Tante..”, tanyaku tanpa memandangnya sambil terus seteguk demi seteguk menghabiskan minumanku.
“Tuh.., di kamar kerja Tante..”, sahutnya pendek. Sejenak aku
meletakkan minuman dan memandang Tante Vivi yang berada di sebelahku.
“Lalu tunggu apalagi nih..”, ujarku setengah bercanda.
“Apanya..?”, tanya Tante Vivi seakan tak mengerti. Pandangan matanya kelihatan sedikit bingung.
“Lhoh.., katanya pengen diker.., eeh diajarin..”, lanjutku. Hampir
aja aku kelepasan ngomong ngeres, jantungku sampai kaget sendiri
dag-dig-dug tidak karuan. Untung tidak kebablasan ngomomg.
“ooh.., iya.., aduuh Tante sampai kaget.., Yuk ke kamar Ar..”,
sahutnya sambil mencolek lenganku. Kami berdiri dan berjalan beriringan
ke tempat yang ia maksud. Kami melintasi ruangan tengah yang lebih
lapang dan mewah. Kulihat sebuah meja pendek tempat dudukan pesawat
Televisi ukuran besar mungkin sekitar 51 inchi lengkap dengan satu set
sound systemnya sekaligus berada di sebelah kiri ruang itu. Sedangkan
kami menuju ke sebuah ruangan di sebelah kanan yang pintunya sudah
setengah terbuka. Tante Vivi menyilahkanku masuk duluan.
“Masuk Ar.., sorry ruangannya agak berantakan..”, ujarnya sambil
memberi jalan. Aku masuk dulu kedalam ruangan diikuti Tante Vivi.
Ruangan atau kamar itu cukup besar berukuran 5 x 7 meter dan pada
umumnya tampak rapi walau masih ada sedikit acak-cakan karena di atas
lantai persis di depan tempatku berdiri yang terhampar sebuah karpet
berukuran sedang tampak berserakan beberapa majalah wanita yang
halamannya masih terbuka disana-sini. Di depannya ada sebuah meja kerja
yang cukup besar, dan di atas meja terdapat beberapa buah buku kecil
dan agenda kerja, selain itu terlihat 2 kardus besar dan beberapa
kardus kecil yang aku sudah hapal bentuk dan cirinya, apalagi pada
kardus besar yang berbentuk kotak itu terdapat tulisan besar GoldStar
Monitor. Ketika aku menengok ke sebelah kiri, waah.., ternyata di situ
terdapat sebuah ranjang berukuran sedang. Kasurnya jelas Spring Bed
yang terlihat dari ukurannya yang tebal, tertutup dengan sprei berwarna
merah jambu. Bantalnya bertumpuk rapi di sisi kiri dan kanan tempat
tidur. Di sebelah kiri tempat tidur terdapat sebuah meja kecil dan
seperangkat mini stereo.
“Waduuh.., ini tempat kerja apa kamar Tante..?”, tanyaku heran dan
kagum. Bagiku ruangan selapang ini terlalu besar untuk kamar tidur.
Kamarku sendiri yang berukuran 3×4 meter aja menurutku sudah gede,
apalagi sebesar ini.
“Dua-duanya Ar.., ya kamar kerja ya.., tempat tidur.., mm.., Tante
khan cuman sendirian di rumah ini Ar..”, sahut Tante Vivi yang berada
di sebelah kananku.
“Sendirian.., maksud Tante?”, tanyaku kepadanya tak mengerti.
“Lhoh.., apa Selva tidak pernah bilang sama kamu.., Tante khan..,
sudah bercerai Ar..”, sahutnya kemudian. Kedengaran sekali kalimat
terakhir yang diucapkannya sedikit terpatah-patah.
Astaga.., seruku dalam hati. Pantas, seolah baru menyadari. Selama
ini aku tak pernah ingat apalagi menanyakan tentang suami Tante Vivi
ini. Jadi selama ini Tante Vivi itu seorang Janda. Ya ampuun.., kenapa
aku tak menyadari sejak semula. Semenjak pertama kali aku datang ke
sini bersama Selva, memang aku tak melihat orang lain lagi selain Inem
pembantunya. Waktu itu kupikir suaminya sedang bekerja. Pantas ketika
aku datang tadi hanya Tante Vivi sendirian yang menyambutku. Jadii..,
hatiku jadi setengah grogi juga. Aku jadi teringat tentang beberapa
kisah nyata di majalah yang pernah kubaca tentang kehidupan seorang
janda muda, terutama sekali mengenai soal seks. Pada umumnya katanya
mereka sangat mudah dirayu dan tak jarang juga pintar merayu.
Jangan-jangan.., pikirku mulai ngeres lagi.
“ooh.., maaf Tante saya baru tahu sekarang..”, ujarku lirih sejenak kemudian. Tante Vivi tersenyum kecil.
” Udahlah Ar.., itu masa lalu.., tidak usah diungkit lagi..”,
ujarnya setengah menghindar. Terlihat ada setetes air menggenang di
pelupuk kedua matanya yang indah.
Sedetik kemudian ia sengaja memalingkan mukanya dari tatapanku,
mungkin ia tak ingin terlihat sedih di depanku. Kemudian ia berjalan ke
depan dan setengah berjongkok memunguti semua majalah yang masih
berserakan di atas karpet, spontan aku segera menyusul hendak
membantunya.
“Sini Ari bantu Tante..”, kataku pendek. Tanpa menoleh ke arahnya
aku langsung nimbrung mengumpulkan majalah yang masih tersisa.
“iih sudah Ar.., tidak usah.., kok kamu ikutan repot..”, sahutnya.
Kali ini wajahnya kulihat sudah cerah kembali. Bibirnya yang ranum
setengah terbuka menyunggingkan sebuah senyuman manis. Manis sekali.
Aku sempat terpana selama 2 detik.
” Tante tidak menikah lagi..?”, tanyaku padanya tanpa sadar. Sedikit
kaget juga aku dengan pertanyaanku, jangan-janga ia marah atau sedih
kembali. Namun ternyata tidak, sambil tetap tersenyum ia balik
bertanya.
“Siapa yang mau sama aku Ar..?”
“aah.., Ari kira banyak Tante..”
“Siapaa..?”
“Ari juga mau Tante..”, kataku cuek, karena maksudku memang
bercanda. Ia mendelik lalu sambil setengah ketawa tangannya mencubit
lenganku sekaligus mendorongku ke samping.
“Hik.., hik.., kamu ini ada-ada aja Ar.., jangan nyindir gitu dong
Ar, memangnya gampang cari laki-laki jaman sekarang..”, ujarnya. Lalu
kulihat ia terduduk diam seribu bahasa. Aku jadi heran sekaligus geli
melihatnya melamun sambil memegangi majalah.
“Kenapa Tante.. “, tanyaku padanya. Tante Vivi sedikit kaget
mendengar pertanyaanku. Namun sambil tersenyum kecut ia hanya menjawab
pendek.
“Sudahlah Ar.., jangan bicara masalah itu..”. Akupun tak mengubernya
walau sebenarnya masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dulu
dengan perceraiannya.
Singkat cerita, malam itu aku hanya menghabiskan waktu sekitar 20
menit untuk merakit komputer barunya. Untung saja Tante Vivi membeli
komputer jenis Build Up sehingga aku tak perlu untuk memeriksa 2 kali,
cuman periksa tegangan input, tinggal sambung kabel ke monitor dan CPU,
pasang external modem, pasang speaker aktifnya ke output soundcard,
sambung ke stavolt.., sudah beres.
“Sudah beres Tante.., mm.., mau sambung ke internet..?”, tanyaku
puas. Agak keringetan juga rasanya mukaku, walau cuman sekedar sambung
sana-sini.
“aah masa..?, secepat itu Ar..?”, tanya Tante Vivi yang sejak tadi
juga tak pernah beranjak dari sebelah kananku, asyik melihatku bekerja.
“Lha.., iya.., gampang khan..”, sahutku pendek. Kupandangi wajah cantiknya yang setengah melongo seolah tak yakin.
“Makanya dicoba dulu dong Tante.., biar tidak nanya-nanya lagi.., mana nih stop kontaknya”, tanyaku kemudian.
“iih.., hik.., hik.., gitu aja sewot.., jahat kamu Ar.., hik..,
hik.., ehem.., itu ada di belakang meja sebelah bawah Ar..”, jawabnya
sambil setengah tertawa kecil.
Aku melongok ke bawah meja.., astaga di bawah situ berarti mestinya aku harus merangkak di situ.., sejenak aku melongo.
“Kenapa Ar..?”
“Ooh tidak Papa Tante..”.
Akhirnya mau tak mau akhirnya aku harus merangkak masuk ke bawah
meja kerjanya yang cukup besar itu sambil tangan kananku menarik kabel
power CPU-nya ke bawah. Pengap juga di bawah situ karena memang agak
remang, maklum penerangan di kamar ini hanya cuma menggunakan sebuah
lampu bohlam sekitar 100 Watt, sinarnya kurang kuat di bawah sini.
Sedang lampu meja kerja terpaksa dimatikan untuk stroom komputer.
Setelah terpasang ke stop kontak, sambil setengah merangkak mundur aku
langsung membalikkan tubuh dan astaga.., aku terhenyak kaget karena
melihat Tante Vivi ikut juga melongok membungkuk ke bawah meja, tanpa
disengaja kedua mataku menyaksikan pemandangan vulgar yang luar biasa
indah.
Woow, Tante Vivi dengan posisi tubuh seperti itu membuat baju
kemejanya yang sedikit gombrong dan karena jenis kainnya yang sangat
lemas membuatnya jadi merosot ke bawah pas dibagian dada, apalagi
kancing kemejanya yang sedikit rendah, membuat kedua bulatan
payudaranya yang sangat besar dan berwarna putih terlihat menggantung
bak buah semangka, diantara keremangan aku masih dapat melihat dengan
sangat jelas betapa indah kedua bongkah susunya yang kelihatan begitu
sangat montok dan kencang. Samar kulihat kedua puting mungilnya yang
berwarna merah kecoklatan. “Yaa aammpuunn..”, bisikku lirih tanpa
sadar, “Ia tidak pake Behaa..”
Tante Vivi semula tak menyadari apa yang terjadi dan apa yang sedang
kupelototi, 5 detik saja.., bagiku itu sudah cukup lama, Tante Vivi
seolah baru menyadari ia menjerit lirih.
“iih..”, serunya lirih. Masih dalam posisi membungkuk, tangan
kanannya reflek menarik bajunya sampai ke atas leher, setengah pucat ia
memandangku lalu berdiri dan mundur 1 langkah. Sudah telanjur, percuma
kalau malu, akhirnya dengan cuek aku merangkak ke luar dan berdiri di
hadapannya, sambil senyam-senyum seolah tidak salah, akhirnya aku minta
maaf juga kepadanya.
“Maaf Tante.., sa.., Ari tidak sengaja..”, ujarku cuek. Tante Vivi
masih dengan sedikit pucat, akhirnya hanya bisa tersenyum kecil.
Wajahnya kelihatan memerah.
“Sudahlah.., Ar..”, sahutnya pendek. Dalam hati aku berbisik, lumayan dapat tontonan susu gede gratiss.
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 komentar