• Posted by : Jeni Ratna Sari 23 Jan 2013



    Diam, aku hanya bisa diam. Hanya diam yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa pasrah menanti keputusan apa nantinya yang manjadi kemufakatan mereka. Aku hanya bisa menunggu. Ya, menunggu, hanya itu yang bisa aku lakukan.

    Sedih, aku memang sedih. Getir, hidupku sudah terbiasa dengan kegetiran. Terlalu sering aku menelan kepahitan seperti ini, aku memang terlahir untuk sakit seperti ini. Terlalu sering aku tersakiti perlahan jiwaku mulai kebal. Perlahan hatiku mulai mengeras walau belum sampai membatu.
    Aku sering diancam
    juga teror mencekam
    Kerap ku disingkirkan
    sampai dimana kapan

    Ku bisa tenggelam di lautan
    Aku bisa diracun di udara
    Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
    tapi aku tak pernah mati
    Tak akan berhenti

    Aku sering diancam
    juga teror mencekam
    Ku bisa dibuat menderita
    Aku bisa dibuat tak bernyawa
    di kursi-listrikkan ataupun ditikam

    Tapi aku tak pernah mati
    Tak akan berhenti
    Tapi aku tak pernah mati
    Tak akan berhenti

    Aku masih di sini, masih dengan ragaku. Jiwaku juga masih bersemayam di dalam sana. Semangat ini juga masih panas membara belum sepenuhnya padam. Aku juga masih mengharap bahagia walau aku sadar tipis kemungkinan untuk ku bisa menggapainya.

    Rerembukan para priyayi Noyolesono ini masih belum juga menemukan kata mufakat. Tekanan dan nasehat yang datang bertubi tubi masih belum mampu menggoyahkan keteguhan hati Ndoro Kakung yang menolak dengan keras opsi menikahkan aku dengan Non Ega.

    Dalam hati kecil aku bahagia mendengar penolakan beliau yang sedemikian frontal itu. Penolakan beliau itu menjaga setitik cahaya lilin harapanku untuk tetap bersinar walau perlahan sudah mulai meredup. Tapi penolakan beliau itu juga menyisakan sebuah tanda tanya besar dalam hatiku. Ada apa ini sebenarnya? Tersirat dari setiap perkataan nya kalau beliau sedang menyembunyikan sesuatu di balik kekerasan hatinya.

    "Kamu ini sudah ndak waras Seto. Sudah terbukti secara sah dan meyakinkan kalau Pardi yang menghamili Ega, tapi kamu malah menentang keras untuk menikahkan mereka. Maksud kamu itu apa sebenarnya?" Eyang Kakung semakin frustasi dengan kekerasan hati anak bungsunya itu. Beliau tak habis fikir dengan jalan fikiran Ndoro Kakung yang sedemikian kerasnya.

    "Kalau Ega tidak segera di nikahkan, lama lama aib ini akan terbongkar juga To. Tak selamanya aib ini bisa di sembunyikan. Tolong kamu fikir itu. Nama baik dan kehormatan keluarga kita sedang di pertaruhkan Seto!" Ndoro Pakdhe tak kalah emosinya dengan Eyang Kakung. Beliau juga masih belum mengerti, apa sebenarnya maunya Ndoro Kakung.

    Tak mau kalah dan ketinggalan memberi nasehat, Eyang Putri juga berusaha ikut melunakkan kekerasan hati Ndoro Kakung dengan nasehat nasehat beliau. "Uwis to ngger, nikahkan saja mereka. Kita jangan malah mempersulit, ini adalah anugrah dari yang Kuasa ngger. Toh semuanya kan sudah terlanjur terjadi."

    "Sebenarnya alasan pasti kamu kenapa menolak menikahkan mereka itu apa?" Eyang Kakung kembali memberondong Ndoro Kakung dengan pertanyaan nya.

    Wajar saja kalau mereka belum bisa menerima penolakan Ndoro Kakung. Selama ini beliau belum memberikan alasan pasti dan meyakinkan kenapa bisa sampai sekeras itu menolak. Setiap alasan yang beliau kemukakan terkesan di paksakan, mengada ada, dan tak masuk akal.

    "Kan tadi saya sudah bilang. Pardi itu ndak pantes menikah dengan Ega karena Pardi hanyalah seorang abdi. Dia tidak sederajat dengan Ega yang seorang priyayi." Ndoro Kakung menatapku dengan tatapan tajam seakan hendak menelanku mentah mentah. Sorot matanya tajam penuh dengan amarah.

    "Heh..." Ndoro Pakdhe menyunggingkan senyum sinis mendengar alasan penolakan yang di kemukakan Ndoro Kakung. "Sudah Ndak waras kamu Seto."

    Berada di tengah tengah suasan tegang seperti ini, Non Ega seperti sama sekali tak perduli. Raut wajahnya begitu dingin, datar tanpa ekspresi sedikitpun. Dia berlagak bagaikan manusia yang suci tanpa dosa. Dia bersikap seolah sedang tidak terjadi apa apa.

    "Sudah sudah sudah! Pembahasan seperti ini ndak akan ada habisnya. Pokoknya mau ndak mau Ega harus di nikahkan dengan Pardi. Ini sudah menjadi keputusanku. T-i-t-i-k." Dengan mempertegas Kalimat titik, Eyang Kakung mengambil keputusan paksa untuk menikahkan kami. Setuju tidak setuju Ndoro Kakung harus menyetujui keputusan mutlak beliau itu. Eyang Kakung sudah jengah berdebat lagi dengan Ndoro Kakung.

    Mendengar keputusan paksa dari Ayahanda nya itu, sontak Ndoro Kakung langsung terdiam. Dalam diam terlihat dari raut wajahnya kalau sebenarnya beliau ingin menyampaikan sesuatu tapi bimbang untuk menyampaikannya. Sepertinya beliau sedang menimbang nimbang antara iya dan tidaknya untuk menyampaikan apa yang berada di dalam benaknya.

    Bukan hanya Ndoro Kakung saja yang terlihat bimbang dan cemas setelah mendengar keputusan paksa dari Eyang Kakung itu. Ndoro Putri yang sedari tadi hanya diam memperhatikan jalannya perdebetan ini sontak juga terlihat cemas. Raut wajah beliau mendadak berubah menjadi pucat pasih. "Gimana ini Pak?" Kata Ndoro putri sambil menggenggam lengan Ndoro Kakung.

    "Lebih baik kandungan Ega di gugurkan saja." Dengan suara lantang dan tegas Ndoro Kakung mengutarakan sebuah solusi sesat yang sangat bertentangan dengan norma agama.

    "Jgluaaaar...!!!" Bagai sambaran petir di siang bolong, perkataan itu begitu mengejutkan segenap keluarga yang berada disini. Aku juga tak pernah menyangka beliau akan mempunyai pemikiran sepicik itu. Pemikiran sesat manusia tak bertanggung jawab yang sama sekali tidak pantas meluncur dari mulut seorang manusia beragama dan seorang priyayi seperti beliau.

    Kemana perginya sosok Ndoro Kakung yang sangat arif bijaksana dan bertanggung jawab yang selama ini ku kenal?

    Suasana perdebatan yang tegang ini berubah semakin memanas karena perkataan Ndoro Kakung itu. "Jangan gila kamu Seto!!!" Sontak Eyang Kakung naik pitam dan menolak dengan keras usulan gila Ndoro Kakung itu. "Jbruaak...! praaang...!!! Dengan penuh emosi Eyang Kakung menggebrak meja sampai gelas yang berada di atasnya terpental dan jatuh kelantai pecah berkeping keping.

    "Oh my God, ben je gek seto? Apa kamu sudah gila?" Budhe Hana juga tak menyangka kalimat seperti itu akan terucap dari mulut Ndoro Kakung.

    Tanpa memperdulikan Eyang Kakung yang emosi sejadi jadinya, Ndoro Kakung kemudian bangkit dan beranjak meninggalkan ruangan dengan di iringi tatapan heran semua yang berada di sini. Beliau berjalan gontai menuju ke arah dapur. Seperti ada sesuatu yang sangat berat yang sedang membebani langkah kaki beliau.

    "Mau kemana Kang Mas?" Ndoro Putri ikut beranjak dan dengan setengah berlari menyusul Ndoro Kakung.

    "Mau kemana kalian?" Tanya Ndoro Pakdhe heran dengan keanehan yang di tunjukkan oleh adik dan adik iparnya itu.

    Tak ada satupun di antara Ndoro Kakung dan Ndoro Putri yang menjawab pertanyaan Ndoro Pakdhe. Beliau berdua terus saja berjalan meninggalkan kami menuju ke arah dapur dan menghilang di balik pintu. Sejenak suasana mendadak menjadi sunyi. Tak ada satupun di antara mereka para priyayi ini yang bersuara. Semua hanya saling bertatapan heran dengan tingkah aneh kedua Ndoroku itu.

    Tak berapa lama berselang, Ndoro Kakung dan Ndoro Putri sudah kembali lagi ke ruang keluarga. Di tangan kanannya Ndoro Kakung membawa sebuah lukisan yang pernah ku lihat di gudang waktu itu. Sebuah lukisan yang selalu menghantuiku setelah pertama kali aku melihatnya. Sebuah lukisan perempuan cantik yang amat sangat mirip dengan Non Ega yang membuat hidupku di bumbui dengan sedikit pengalam mistis karenanya.

    sekaranglah mungkin saatnya teka teki wanita dalam lukisan itu terkuak.

    Setelah meletakkan lukisan itu di meja, Ndoro Kakung dan Ndoro Putri kembali duduk di tempatnya semula. Ndoro Kakung kembali menyalakan sebatang rokok Dji sam soe dan menghisapnya dalam dalam. Di samping beliau, Ndoro Putri masih menunjukkan raut wajah cemas sambil merangkul Non Ega yang duduk diam tak bergeming bagai patung di samping kirinya.

    "Lukisan siapa ini Seto?" Eyang Kakung mengambil lukisan dan memperhatikan gambar perempuan cantik yang tergurat indah di kanvas itu dengan lekat.

    "Itu lukisan Sulasmi." Jawab Ndoro Kakung pendek sambil kembali mengisap rokok Dji sam soe nya dalam dalam.

    "Wie was Sulasmi?" Sambung Budhe Hana yang tak kalah penasarannya dengan sosok perempuan di dalam lukisan itu.

    Setelah puas memandangi lukisan itu, Eyang Kakung kemudian menyerahkan lukisan itu kepada Eyang Putri. Dengan mimik wajah bercampur aduk antara serius, penasaran, dan heran, Eyang Putri memandangi lukisan itu dengan seksama. Sesekali beliau melihat ke arah Non Ega dan kembali lagi ke lukisan itu berulang ulang. "Mirip Gayatri." Kata Eyang Putri lirih.

    "Eyang, coba Nora mau lihat dong." Cerocos Mbak Nora penasaran sambil merebut lukisan itu dari tangan Eyang Putri.

    "Nora, yang sopan!" Ndoro Pakdhe membentak Mbak Nora setelah melihat tingkah laku kurang sopan anak gadisnya itu.

    "Penasaran Yah." Jawab Mbak Nora tengil sambil memandangi lukisan itu dengan seksama inci demi inci. Bolak balik dia memandang ke arah Non Ega dan kembali lagi ke lukisan itu mencari kemiripannya. "Oh my God. Mirip banget sama kamu Ga. Mirip nggak ada cela sama sekali. Aneh." Kata Mbak Nora lagi sambil membalik dan menunjukkan lukisan itu ke arah Non Ega.

    Kali ini untuk pertama kalinya air muka Non Ega yang sedari tadi dingin seperti mayat hidup tanpa ekspresi sedikitpun mendadak berubah tegang tercengang. Seolah dia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dia merasa bagaikan berkaca dalam versi klasik dengan lukisan perempuan bernama Sulasmi itu.

    "Apa hubungan wanita ini dengan penolakan kamu Seto?" Tanya Eyang Kakung bernada serius dengan sorot mata melotot tajam. Dari raut wajah beliau masih terlihat kemarahan karena terpancing ucapan Ndoro Kakung tadi.

    Sebelum menjawab pertanyaan itu, Ndoro Kakung sejenak kembali menghisap rokoknya dalam dalam sebelum mematikannya di asbak. Di hembuskannya asap rokok itu dengan penuh penghayatan membumbung memenuhi seisi ruangan. "Wanita dalam lukisan itu Ibunya Pardi." Jawab Ndoro Kakung dengan nada berat.

    Kembali semua tersentak mendengar perkataan Ndoro Kakung itu. Semua mata melotot seakan tak percaya, begitu juga dengan ku. Satu kepingan misteri akhirnya terungkap. Baru aku mengetahui siapa dan bagaimana wujud Ibu ku, Ibu yang telah mengandung dan melahirkan aku ke dunia ini. Perasaanku tak menentu. Aku tak tau harus berbuat apa atau harus bagaimana mengekspresikan ini.

    "Iya... Terus hubungane dengan penolakan kamu itu apa le?" Sambung Eyang Putri yang semakin penasaran dibuatnya.

    Ndoro Kakung Perlahan mulai bercerita. Beliau menuturkan sebuah kisah klasik yang terjadi kira kira dua puluh tahun yang silam. Sebuah kisah di masa mudanya.

    Semua mendengarkan penuturan beliau itu dengan serius, khusuk dan hikmat, tak terkecuali juga dengan ku, karena ini menyangkut asal usul ku. Dari cerita beliau ini mungkin aku akan tau siapa aku dan kedua orangtua ku. Sudah saatnya siapa jati diriku sebenarnya terungkap.

    ==========LNBC==========


    Trenggalek, 15 April 20 tahun yang silam


    Rumah keluarga Noyolesono, 09:02 am


    Siang terasa sangat cerah. Lagit biru nan indah memayungi angkasa tanpa sedikitpun ternoda pekat sang mendung. Angin bertiup pelan sepoi sepoi seakan melenakan hati. Kicauan burung burung yang merdu semakin menyemarakkan hari indah nan cerah ini. Hari ini begitu indah. Hari yang sangat sempurna untuk berbahagia.

    Di saat hari begitu indah dan sempurna. Di saat semua orang mendadak merasakan ledakan bahagia, ada seorang pemuda yang malah merasa hari ini begitu kelam dan gelap. Dia merasa kalau hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Hari dimana akhir dari kebebasan dan hak memilihnya. Hari akhir dari petualangan nya.

    Hari ini adalah hari di mana dia harus memenuhi janji orang tuanya. Janji yang dulu pernah terucap dari mulut Ayahnya dan sang sahabat. Sebuah janji yang terucap bahkan dari saat dia belum lahir. Janji untuk menjodohkan anak anak mereka.

    Sekarang hari dimana yang di janjikan itu telah tiba. Hari ini dia harus mau menikah dengan gadis pilihan kedua orang tuanya sesuai janji yang dulu pernah di ucapkan. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk membantah ataupun sekedar menyampaikan pendapatnya.

    "Seto... Hari ini Romo sama Ibu mu mau kerumah Raden Soemitro. Kami akan membicarakan tentang perjodohanmu dengan Raden Ajeng Hartati." Kata Raden Mas Suroso Noyolesono dengan penuh wibawa kepada Raden Haryo Seto anak bungsunya.

    "Ta-tapi Romo..." Raden Seto berusaha membantah.

    "Hush... Uwis ngger... Kamu jangan membantah Romomu. Perjodohan ini sudah di tentukan dari jaman kamu belum lahir ngger. Uwis to, kamu nurut saja yo ngger." Kata sang Ibunda menasehati anaknya.

    "Kenapa harus aku Romo? Kenapa bukan Kangmas Sentanu?" Tanya Raden Seto meminta penjelasan kedua orangtuanya.

    Menurut logika Raden Seto, seharusnya Raden Sentanu yang menerima perjodohan ini. Seharusnya anak sulung yang memenuhi janji perjodohan orangtuanya, bukannya dia si anak bungsu yang harus menerimanya.

    Dengan penuh keanggunan dan wibawa, sambil menyalakan sebatang roko kretek, Raden Mas Suroso Noyolesono menjawab rasa penasaran anak bungsunya itu.

    "Ya karena Raden Ajeng Hartati itu seumuran kamu ngger. Lagi pula kalian kan sudah saling mengenal dan berteman baik. Jadi Romo rasa Raden Hartati lebih cocok menikah dengan kamu dari pada dengan Kangmas mu Sentanu. Lagi pula Sentanu kan sekarang masih berada di Belanda ngger." Jawab Raden Suroso Noyolesono yang sesekali di selingi dengan menghisap rokok kreteknya.

    Sebagai anak seorang priyayi yang memegang kuat toto kromo dan unggah ungguh, Raden Seto tak berani lagi membantah lebih jauh kehendak Ayahanda nya itu. Raden Seto hanya bisa mengangguk pelan tanda setuju walau dengan hati yang berat untuk bisa menerimanya dengan iklas.

    Mulai sekarang Raden Seto harus berusaha untuk bisa menerima perjodohan ini dengan iklas mau tidak mau. Dia juga harus melupakan tentang cita cita dan cintanya sendiri. Jalan hidup seorang Raden, seorang keturunan priyayi, seorang bangsawan tak sebebas dan seindah kelihatannya yang bergelimang kemewahan dan kehormatan. Untuk anak priyayi sepertinya, cinta hanyalah angan angan semu belaka. Jalan cerita hidupnya bukan dia yang menentukan. Dia hanyalah wayang yang jalan ceritanya di tentukan oleh Ayahanda nya selaku sang dalang kisah hidupnya.

    "Baiklah kalau begitu Romo, saya setuju dan menerima perjodohan ini."

    "Nah... Itu baru anakku." Kata Raden Suroso Noyolesono sambil menepuk bangga pundak anak nya itu.


    Rumah Raden Mas Soemitro 10:30 am.

    Di sebuah ruangan rumah mewah bergaya joglo, dua keluarga priyayi sedang berkumpul berunding untuk menentukan hari pernikahan anak mereka sebagaimana dulu mereka telah berjanji. Keluarga priyayi itu adalah Raden Suroso Noyolesono beserta Nyai Darsih istrinya dan keluarga Raden Suemitro.

    "Begini Dhimas Soemitro. kedatangan kami kesini untuk memenuhi janji kita dulu di masa revolusi itu Dhimas." Kata Raden Suroso Noyolesono dengan wibawa dan keanggunan seorang priyayi agung.

    "Sukurlah kalau begitu Kangmas. Terus, dengan siapa Hartati akan di nikahkan?" Tanya Raden Soemitro penasaran dengan hati yang berbahagia berbunga bunga.

    Raden Soemitro sangat bangga akhirnya bisa berbesanan dengan Raden Suroso Noyolesono. Raden Mas Suroso Noyolesono adalah seorang priyayi darah biru yang sangat beliau hormati. Seorang yang sangat nasionalis, orang yang menjadi rekan seperjuangannya dulu saat ikut memperjuangkan bangsa ini, sekarang orang itu akan menjadi mertua dari anak gadis satu satunya.

    Di lain sisi, Raden Suroso Noyolesono juga tak kalah senang dan bangganya bisa berbesanan dengan Raden Soemitro. Raden Soemitro adalah seorang Raden, pejuang, dan anak dari seorang pejuang kemerdekaan yang sangat beliau kagumi. Dari turun temurun keluarga raden Soemitro adalah keluarga yang paling keras menentang kolonialisme belanda dan sangat nasionalis.

    "Begini Dhimas Soemitro, sebelumnya saya menghaturkan maaf yang sebesar besarnya. Saya berencana menikahkan Raden Ajeng Hartati dengan Raden Mas Haryo Seto anak bungsu saya. Bagaimana menurut Dhimas Soemitro?" Jawab Raden Suroso Noyolesono mengutarakan maksud dan tujuannya datang kerumah Raden Soemitro ini.

    "Loh... kenapa tidak dengan Raden Sentanu, Kangmas?" Tanya Raden Soemitro sedikit penasaran.

    Awalnya Raden Soemitro menyangka bahwa Raden Suroso Noyolesono akan menikahkan anaknya dengan Raden Haryo Sentanu, bukan dengan Raden Haryo Seto anak bungsunya.

    "Ya kan, begini lo Dhimas. Seto sama Hartati itu kan sudah saling mengenal dan berteman baik. Jadi saya rasa lebih cocok kalau yang menikah dengan Raden Ajeng Hartati itu Seto, bukan Sentanu. Menurut Dhimas Soemitro bagaimana?" Jawab Raden Mas Suroso Noyolesono sekaligus menanyakan pendapat Raden Mas Soemitro.

    Raden Soemitro mengambil sebatang rokok kretek merek Cempaka, menyalakannya, dan menghisap serta meniupkan asapnya mengepul memenuhi udara ruang keluarganya. "saya setuju Kangmas, sangat setuju." Jawab Raden Soemitro yakin sambil tetap bermain dengan asap rokok nya.

    Saat kedua Priyayi agung itu sedang sibuk berembuk menentukan tanggal dan weton yang pas untuk pernikahan anak mereka, datanglah seorang gadis cantik membawa nampan berisi empat gelas kopi hitam. Gadis itu begitu cantik, wajahnya ayu dengan gaya anggun bak putri keraton. Dalam balutan kemeja batik dan rok polkadot selutut semakin menyempurnakan kesempurnaan gadis itu. Tak ada cela sedikitpun pada diri gadis itu. Gadis itu adalah Raden Ajeng Hartati Soemitro.

    "Monggo unjukanipun. (silahkan minumannya.)" Kata Raden Ajeng Hartati dengan senyuman manisnya sambil menyajikan minuman yang di bawanya itu di meja.

    Selesai menyajikan kopi dalam gelas keramik itu di meja, Raden Ajeng Hartati langsung menghaturkan sembah sungkem kepada Raden Mas Suroso Noyolesono dan istrinya. "Ngaturaken sembah sungkem Raden." Kata sembah sungkem Raden Ajeng Hartati.

    "Yo ndok cah ayu, tak tompo sembah sungkem mu ngger." Jawab Raden Suroso Noyolesono penuh wibawa sambil mengusap ubun ubun gadis itu.

    Selesai menghaturkan sembah sungkem sebagaimana tradisi jawa yang kental mereka pertahankan, Raden Ajeng Hartati kemudian bangkit dan mengambil duduk di tengah tengah di antara kedua orang tuanya. Gaya duduk Raden Ajeng Hartati sungguh anggun, berkelas, dan sempurna.

    "Ndok, ini Bapak sama Kangmas Noyolesono sedang membicarakan tentang pernikahan kamu ndok. Kamu akan kami nikahkan dengan Raden Seto. Menurut kamu gimana ndok?"

    "Saya nurut saja Pak. Bagaimana baiknya, ya terserah Bapak saja." Wajah Raden Hartati seketika bersemu merah malu malu setelah mengetahui dengan siapa dia akan di nikahkan. Raden Mas Haryo Seto Noyolesono, dengan pemuda itu dia akan di nikahkan.

    Raden Seto adalah pemuda yang selama ini diam diam telah menjerat hatinya. Raden Hartati tergila gila dengan ketampanan dan kegagahan pemuda itu yang seakan tiada tandingan di matanya. Gaya penampilan Raden Seto yang bergaya rock and roll lengkap dengan rambut ikal gondrong sepundak dan di padukan dengan jiwa kesatria, wibawa, dan toto kromo adat budayanya yang kuat sungguh sangat sempurna sebagai kriteria calon suami idamannya.

    "Bagaimana Dhimas, kapan sebaiknya kita menikahkan mereka berdua?"

    "Ya bagaimana baiknya menurut Kangmas saja. Kangmas saja yang mencari tanggal yang baik sesuai weton mereka."

    "Baiklah kalau begitu Dhimas, sesuai itungan saya, nanti Besar tanggal 25 adalah tanggal terbaik untuk menikahkan mereka."
    Besar adalah bulan ke 12 dalam penanggalan bulan jawa. Dalam bahasa sansakerta, Besar berasal dari Wujala yang berarti kosong.
    Alasan Raden Suroso Noyolesono memilih tanggal 25 sebagai tanggal penikahan anak mereka, karena tanggal 25 bulan Jawa dinamakan sumurup, orang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain kembali seperti bayi layaknya. Karena nantinya setelah menikah Raden Seto akan di urus hidupnya oleh Raden Ajeng Hartati selaku isterinya.

    "Iya, saya setuju Kangmas. Monggo unjukannya di minum Kangmas, mbakyu." Kata Raden Soemitro menyetujui tanggal dan bulan yang di usulkan Raden Mas Suroso Noyolesono itu.

    "Oh... Iya Dhimas. Terima kasih."

    "Wah... Akhirnya kita jadi besanan Mbakyu." Kata Nyonya Raden Soemitro bergembira sambil menggenggam jemari Nyi Darsih karena akhirnya akan berbesanan dengan keluarga mereka.

    "Iya Dhiayu. Saya juga bahagia akhirnya kita jadi keluarga." Jawab Nyai Darsih tak kalah bergembiranya.

    Tak kalah berbahagia seperti kedua orangtua dan calon mertua nya, Raden Ajeng Hartati juga sangat berbunga bunga hatinya. Akhirnya dia akan menjadi istri dari pemuda yang selama ini sangat di idam idamkan nya. Saking bahagianya, Raden Ajeng Hartati sampai sampai tak mampu lagi meluapkan rasa kegembiraannya. Kegembiraan yang dia rasakan terlalu besar hingga tak sanggup di ungkapkan dengan ekspresi seperti apapun.


    Rumah Bambang Sangaji, 10:40 am

    Sepeninggal kedua orangtua nya berangkat ke rumah Raden Mas Soemitro untuk membahas perjodohannya dengan Raden Ajeng Hartati, mengendarai motor Honda 80', Raden Seto langsung pergi ke rumah Bambang Sangaji anak Ki Jogoboyo sahabat karibnya. 

    Saat ini Raden Seto sedang merasa sedih, resah, gelisah, dan galau. Dia merasa membutuhkan seseorang yang bisa menjadi tempat untuk menceritakan segala keresahannya. Dan Bambang Sangaji sang sahabat kariblah orang yang cocok menjadi tempatnya mencurahkan segala isi hati dan kegalauannya.
    Jogoboyo adalah perangkat Desa yang mengurusi masalah keamanan. Jogoboyo kalau dalam struktur organisasi kenegaraan bisa di samakan dengan Menhan (menteri pertahanan).
    "Eh... Njanur gunung temen To siang siang kesini? Ono opo sobat, kok kelihatannya kamu sedang resah gelisah dan basah seperti itu.?"
    Njanur gunung atau janur gunung adalah pohon aren. Aren di sanepankan menjadi kadingaren yang beranti tumben dalam bahasa Indonesia.
    "Mbok ya di suruh masuk dulu to Mbang. Tamu ni..." Jawab raden Seto dengan sedikit candaan walau sedang gelisah hatinya.

    "Oh, maafkan hamba Raden. Mongo-monggo Raden, silahkan masuk."

    "Enggak usahlah Mbang. Di sini saja kayaknya lebih nyaman." Jawab Raden Seto sambil melangkah menuju ke sebuah balai bambu di bawah rindangnya pohon jambu di halaman depan rumah Bambang Sangaji.

    "Buuuk... tulong bikinin kopi dong Buk! Ada Kanjeng Raden Haryo semprul ni Buk." Bambang Sangaji berteriak sekeras kerasnya kepada ibunya yang sedang membatik di pendopo rumah joglo nya.

    "Cuangkeme lek ngomong buanter eram. (mulutnya kalau ngomong kenceng amat.)" Hardik Bu Darti memarahi kelakuan tak sopan anaknya itu.

    "Santai to Mbokne. Peace lah." Jawab Bambang cengengesan.

    Kehangatan dan canda tawa seperti inilah yang membuat Raden Seto iri dengan keluarga Bambang Sangaji. Kehangatan sebuah keluarga yang tidak pernah dia dapatkan di rumahnya sendiri. Kehidupan keluarganya yang berstatus priyayi penuh dengan formalitas dan protokoler yang sangat membosankan dan kaku. Karena inilah Raden Seto bisa betah berlama lama kalau berada di rumah Bambang.

    Mereka berdua kemudian duduk di balai bambu sambil berbincang bincang. Raden Seto mulai berkeluh kesah menceritakan tentang keputusan orangtuanya untuk menjodohkannya dengan Raden Hartati.

    "Aku bingung Mbang. Aku harus gimana ya?"

    "Bingung kenapa to yho. Masak iya rocker galau, jangan memperbesar kemaluan umat kawan."

    Sejenak Raden Seto menghirup nafas dalam dalam, pandangannya kosong menerawang. "Nduwe rokok ra Mbang? (Punya rokok nggak Mbang?)"

    "Haiyah... Priyayi kok kere. nih..." Bambang Sangaji mengeluarkan sebungkus rokok Dji sam soe dari saku celana jeans belelnya dan meletakkannya di balai bambu, di depan sahabat karibnya yang sedang galau gundah gulana itu.

    Tanpa banyak bicara, Raden Seto langsung mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Sejenak dia bermain main dengan batang rokok itu, menghisap dengan hisapan dalam kemudian meniupkan asapnya penuh dengan penghayatan ke udara. Pandangan matanya kosong menerawang mengisyaratkan betapa beratnya beban yang sedang di tanggungnya.

    Sambil ikut mengambil dan menyalakan sebatang rokok, Bambang Sangaji tak henti hentinya memandang wajah sahabat karibnya itu. Di sana Bambang dapat melihat kesedihan yang sangat mendalam dari raut wajah tampan sahabatnya itu.

    Sejenak suasana menjadi hening. Masing masing sibuk bermain dengan batang dan kepulan asap rokok masing masing tanpa ada satupun yang bersuara.

    "Aku di jodohkan dengan Hartati." Kata Raden Seto pelan dengan tatapan matanya yang masih menerawang.

    "Uhuk... uhuk... uhuk..." Bambang Sangaji langsung terkejut sampai terbatuk batuk tersedak asap rokok yang sedang di hisapnya begitu mendengar perkataan Raden Seto itu. Bambang Sangaji masih belum percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. "Opo To...? Nggak salah?"

    "Ora Mbang. Aku benar benar harus menikah dengan Hartati. Orang tua kami telah menjodohkan kami berdua."

    Bambang Sangaji menjatuhkan tubuhnya terlentang di balai bambu. Dia mengacak acak rambutnya sendiri yang juga panjang tergerai sebahu ala rocker dan masih belum percaya dengan penjelasan Raden Seto sahabatnya. "Terus nasibnya...." Kata kata itu terputus di tengah jalan tak di lanjutkan lagi.

    "Nah... itu dia yang merisaukan hatiku wahai sahabat."

    Percakapan dua sahabat itu sejenak harus terputus karena kedatangan Bu Darti / Ibunya Bambang Sangaji yang membawakan dua gelas kopi hitam untuk mereka. "Kopinya nak Seto."

    Raden Seto langsung menjabat dan mencium tangan Bu Darti. "Iya Buk, matur nuwun."

    "Panggah le ngroko wae! (ngrokok aja!)" Omel Bu Darti sambil memukul paha anaknya yang sedang tiduran terlentang di balai bambu. "Ibuk tinggal masuk ke dalam lagi ya nak Seto. Nanti jangan lupa makan dulu sebelum pulang, Ibuk tadi masak sayur tewel." Kata Bu Darti menawari makan kemudian beranjak kembali masuk ke pendopo rumah melanjutkan kembali kesibukannya membatik.
    Tewel adalah nangka muda. Sayur tewel berarti adakah sayur nangka.
    "Terus... Nasib Sulasmi gimana To?" Kata Bambang kembali melanjutkan pertanyaannya yang tadi belum selesai.

    "Embuh lah Mbang, bingung aku. (Taulah Mbang, bingung Aku)"

    "Hehehe... Rocker kok galau. Solusinya gampang to, kamu cinta kan sama Sulasmi?"

    "Kok yo sek takon to yho. ( Kok masih nanya to yho.)"

    "Gampang To, kawini aja dua duanya. Dua duanya sama sama cantik, trus wajah mereka kan mirip."

    "Matamu!" Umpat Raden Seto mendengar ide konyol sahabatnya itu.

    "yaah... Ni anak. Kan wajar kalau bangsawan kayak kalian itu beristri dua. Terus... masalahnya apa To?"

    "Dancok ane kowe ki. Yen ngomong sing bener ah. Ra cita cita aku poligami cok. (bangsat kamu ini. Kalau ngomong yang bener apa. Aku nggak cita cita poligami bangsat.)"

    "Sabar to yho... Jangan emosi dulu. Masih ada satu lagi solusi damai kalau kamu tidak mau berpoligami." Raden Seto mendengarkan perkataan Bambang Sangaji dengan seksama dan serius sambil menghisap hisapan terakhir rokoknya. "Kamu hamili saja Sulasmi."

    Raden Seto terbelalak seakan tak percaya dengan apa yang baru saja di katakan Sahabatnya itu. "Waah... Gemblung. Semprul kowe. Sudah sudah ah. Solusimu nggak ada yang bener."

    Bambang Sangaji bangkit dari tidurannya. Dengan mimik wajah serius dia melanjutkan kembali solusinya gilanya. "Gini loh To. Kalau kamu menghamili Sulasmi, mau nggak mau kan orangtua mu harus setuju kamu menikahi Sulasmi kan. Dan karena itu, mungkin orang tua kamu membatalkan perjodohanmu dengan Hartati, atau malah keluarga Hartati sendiri yang membatalkan perjodohan. Gitu loh maksud ku." Bambang kembali menyalakan sebatang rokok. "Memang sedikit beresiko sih To."

    "Matamu. Cocotmu itu kalau ngomong asal njeplak aja. Kalau begitu caranya, bisa hancur nama baik keluarga ku semprul.!"

    "Ya itu sih tinggal terserah kamu To, kan setiap perjuangan butuh pengorbanan kan? Jalan mana yang akan kamu pilih, mau mempertahankan Sulasmi, atau menuruti orang taumu menikahi Hartati. Siapa saja yang kamu pilih kamu nggak ada ruginya To. Dua duanya sama sama cantik trus agak mirip lagi."

    Raden Seto malah tak mendapatkan ketenangan maupun solusi dengan menceritakan masalah ini kepada Bambang sahabatnya. Solusi solusi gila, edan, bin koclok sekaligus nekat dari Bambang malah membuatnya semakin terombang ambing dalam kebimbangan.


    Rumah Ratri Kusmiran, 14:20 pm

    "tok tok tok..." Seorang gadis cantik sedang berdiri dan mengetuk pintu rumah keluarga Kusmiran. Gadis itu begitu anggun dan sempurna dalam balutan pakaian sederhana khas gadis desa. Rambutnya yang lembut tergerai hitam panjang sepunggung berkibaran tertiup semilir angin sepoi sepoi yang berhembus.

    "kulo nuwun... Tri... Ratri..."

    Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah sderhana itu. "iya sebentar." Suara gadis yang menjawab dari dalam rumah.

    "ckrieet..." Suara engsel pintu karatan yang di buka.

    Seorang gadis dengan rambut di kepang kuda yang tak kalah cantiknya dengan gadis si pengetuk pintu itu keluar dan membukakan pintu. Air wajahnya langsung berseri begitu membuka pintu dan mengetahui siapa yang datang. "Eh Lasmi... Ayo masuk."

    Gadis berambut panjang tergerai indah tertiup sepoi semilir angin yang mengetuk pintu itu adalah Sulasmi, dan gadis yang tak kalah cantiknya dengan rambut kepang kuda itu adalah Ratri.

    Mareka berdua kemudian masuk ke dalam rumah. "Silahkan duduk Mi, aku tak bikin minuman dulu." Ratri mempersilahkan Sulasmi duduk kemudian dia melangkah ke belakang, kedapur, membikin minuman buat Sulasmi sahabatnya.

    "Halah... ora usah repot repot Tri."

    Ratri hanya mengibaskan tangannya tanda tidak merasa di repotkan sambil terus melangkah kebelakang menuju ke dapur rumahnya. Tak beberapa lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil membawa dua gelas teh di atas nampan dan menyajikannya di meja. "Silahkan di minum."

    Selesai menyajikan minuman itu di atas meja, Ratri kemudian duduk di samping Sulasmi sahabatnya dengan masih memegang nampan dan menaruhnya di pangkuannya.

    "Iyo matur nuwun. Kok rumahmu sepi Tri, pada kemana?" Sulasmi basa basi menanyakan keadaan rumah Ratri yang sepi.

    "Bapak Ibuk ku lagi ke Ndawuhan, si Mbah ku sedang sakit. Ada apa Mi, kok kayaknya kamu sedang gelisah gitu?"
    Dawuhan adalah desa yang berada di kecamatan Trenggalek, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Indonesia.
    "Iya ni Tri. Aku kok punya firasat buruk ya Tri? Nggak tau deh, sudah tiga malam berturut turut ini aku mimpi buruk Tri, mimpi yang sama."

    "Kamu mimpi apa Lasmi?"

    "Sudah tiga hari ini aku bermimpi sedang ada banjir besar dan aku hanyut terseret banjir Tri. Saat terseret banjir itu tanganku di gigit seekor ular."

    Dengan serius Ratri mendengarkan cerita Sulasmi tentang mimpi buruk yang di alaminya. Ratri hanya bisa mendengarkan tanpa bisa memberi tanggapan sedikitpun karena dia awam sama sekali mengenai perihal tafsir mimpi seperti ini.

    ==========LNBC==========


    Sejenak Ndoro Kakung menghentikan ceritanya. Beliau kembali menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam dalam. Beliau sebentar menengok ke arah Ndoro Putri seperti sedang meminta persetujuan untuk melanjutkan ceritanya.

    Dengan anggukan kepala, Ndoro Putri memberikan isyarat persetujuan kepada Ndro Kakung untuk melanjutkan kembali cerita beliau. "Monggo Pak, silahkan di lanjutkan."

    Suasana hening dan semua orang menanti dengan penasaran lanjutan cerita dari Ndoro Kakung ini. Bahkan Non Ega yang selama ini bersikap seolah tak perduli bagai mayat hidup juga kelihatan penasaran ingin segera mengetahui kelanjutan cerita dari ayahanda nya ini.

    Sekali lagi Ndoro Kakung menghisap rokoknya dalam dalam. Rokok yang masih belum habis setengah batang itu beliau matikan di asbak yang berada di hadapannya. Beliau terlebih dahulu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. "Baiklah, cerita ini akan saya lanjutkan lagi. Saat itu ketika...."

    "Stop stop stop... Sudah... Tak perlu lagi kamu lanjutkan ceritamu." Belum selesai satu kalimat Ndoro Kakung bercerita, Eyang Kakung memotong menghentikan kelanjutan cerita itu. "Aku sudah bisa menebak arah dari ceritamu ini Seto. Berarti kalau begitu...?" Kata Eyang kakung menebak sambil melirik ke arahku yang duduk di sebelah kiri beliau.

    Kembali Ndoro Kakung menghela Nafas dalam dalam sebelum menjawab pertanyaan dari ayahandanya. Entah kenapa aku jadi deg degan menunggu jawaban dari beliau itu. Aku merasa sekaranglah akhir dari pencarianku. Akhir dari misteri ini akan segera terbuka.

    "iya, Pardi itu anak ku."

    "Jgluaaar...!!!" Untuk kesekian kalinya hari ini kata kata Ndoro Kakung terdengar begitu mengejutkan. Pengakuan itu bagaikan sebuah mimpi yang sulit untuk di percayai. Semua mata saling berpandangan masih belum percaya sepenuhnya dengan penuturan Ndoro Kakung.

    "Are you serius...? Budhe Hana tak mampu lagi menyembunyikan keterkejutannya.

    "Ternyata benar aku seorang Raden. Ternyata Ndoro Kakung adalah Ayahku." Entah bagaimana caranya aku harus menanggapi kenyataan ini. Haruskan aku meloncat kegirangan karena tenyata mimpi masa kecilku adalah nyata, ataukah aku harus bersedih karena selama ini sudah tidak di akui keberadaanku?

    Belum sempat semua orang berkomentar akan pengakuan mengejutkan ini, tiba tiba terdengar teriakan Ndoro Putri yang tak kalah mengejutkannya. "Ga... Ega... Kamu kenapa Ndok? Pak... Ini Ega kenapa Pak?" Dari hidung Non Ega menetes darah segar. Sepersekian detik tubuhnya mengejang sebelum jatuh di pelukan Ibunda nya tak sadarkan diri.

    "Ega... Kamu kenapa Ndok?" Kata Ndoro Kakung. Beliau menepuk nepuk pipi Non Ega berusaha menyadarkannya. Semua orang langsung berhambur mengerubuti Non Ega. Bergantian bahkan sampai berebut mereka berusaha menyadarkan Non Ega dengan berbagai macam cara dan upaya.

    "Ega Kenapa Hartati?" Dengan penuh kekhawatiran Eyang Putri mengambil minyak angin dari tas nya dan mengoleskan minyak angin itu di pelipis dan hidung Non Ega berusaha menyadarkannya.

    Tapi semua daya dan upaya mereka untuk menyadarkan Non Ega sia sia. Walau sudah dengan berbagai macam cara, Non Ega masih belum sadarkan diri juga. "Sudah, kita bawa saja Ega ke rumah sakit." Kata Ndoro Pakdhe sambil berusaha membopong tubuh Non Ega.

    Segera dengan tergopoh gopoh mereka membawa Non Ega ke rumah sakit dan semua orang ikut mengantarkannya. Sekarang di ruangan ini tinggal menyisakan aku dan Mbak Nora. "Kamu nggak ikut ke rumah sakit Di?" Tanya Mbak Nora sambil beranjak berdiri.

    "Iya Mbak, nanti saya nyusul." Mbak Nora kemudian beranjak pergi ikut menyusul ke rumah sakit. Sekarang hanya tinggal aku sendiri di sini. Aku menyandarkan kepalaku di sandaran kursi. Kepalaku tengadah dan pandanganku menerawang langit langit rumah. "Ndoro Kakung Ayahku." Perkataan itu berulang ribuan kali di kepalaku dan masih sulit untuk sepanuhnya ku percayai.

    Keping tiap kepingan misteri perlahan mulai tersingkap. Satu persatu rahasianya mulai terbuka. Titik terang mengenai jati diri sudah terkuak. Simpul benang kusutnya-pun telah terurai satu persatu.

    Semakin cerita ini mendekati akhir, semakin aku terombang ambing tak menentu. Semakin banyak rahasia terbuka, semakin sulit aku menalarnya. Segalanya semakin membingungkan untuk di fahami dengan akal sehat. Sekarang kembali lahir sebuah tanda tanya besar setelah rahasia besar itu terungkap.

    "Kenapa aku di ingkari?"





    =====BERSAMBUNG=====

    0 komentar

  • Online

    Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Forum Bersama Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan