- Home>
- Cerita Fantasi >
- Kisahku, Arti Nama dan Keberuntunganku Bab II
Posted by : Tanpa Nama
4 Jan 2013
BAB II
Senjata Rahasia Hanya Seharga 150 Ribu
#Chapter 1 : The Deal
"Tiin ... tiin ... tiin!" Suara klakson mobil Farah terdengar dari luar pakiran kampus di sebelah kantin.
"Woi, cepetan, keburu pada kabur istirahat makan siang ntar pegawai-pegawainya Kopma," teriak Nana dari jendela kursi belakang.
"Iya bentar, aku cuma gak mau ntar kalo mati jadi arwah penasaran hanya gara-gara aku punya utang segelas kopi," jawabku sedikit berteriak.
"Ni mas Lucky, kembaliannya 17 ribu"
"Oh iya bu 'Tien, makasih," tanpa aku hitung berapa jumlah uang kembalian itu, langsung saja aku masukkan ke saku celana jeansku sambil berjalan bergegas menuju mobil Farah.
Farah bergeser duduk ke sebelah kiri begitu aku membuka pintu depan dan duduk mengambil alih posisi supir.
"Jebh..." Ibu-ibu sekalian mau ke Jurug atau ke Lapangan Alun-Alun Selatan nih buat liat kerbau?" Tanyaku menggoda mereka sesaat setelah aku menutup pintu. Mobil All New Picanto putih milik Farah yang aku kemudikan mulai melaju pelan meninggalkan area parkir fakultas tekhnik.
"Ngapain jauh-jauh pak, disini malah ada yang lebih asik, bisa lihat siamang yang nyetir mobil nganterin bidadari-bidadari cantik," jawab Nana diiringi tawa Farah dan Vivi serta senyum nyengir kecut dari wajahku.
"Dasar Nonong! Vivi ma Farah kan pernah bilang kalau muka aku ma kamu hampir mirip."
"Enak aja lo!" sahut Nana diiringi lagi oleh tawa kami berempat.
"Vi ... kamu dari tadi selesai kuliah kox diem-diem aja? Lagi Sailor Moon apa?" godaku ke Vivi.
Nana dan Farah yang mendengar pertanyaanku ke Vivi hanya senyum-senyum cekikikan seperti menyembunyikan sesuatu.
"Ada apaan sih? Hoi Vi? Sakit gigi apa kamu?" tanyaku sambil melihat di spion tengah kearah Vivi yang hanya tersenyum tetapi terlihat berusaha untuk menutup rapat bibirnya.
"Iya nih, kayaknya ada yang aneh deh sama kamu Vi?" tanyaku lagi masih sambil melihat Vivi dari spion tengah dan diiringi cekikikan Farah dan Nana.
"Udah kamu nyetir liat depan aja Luck, gak usah merhatiin aku, kamu jatuh cinta ke aku malah repot ntar aku musti cari rumput tiap hari buat kamu," jawab Vivi saat aku perhatikan dia dari spion tengah dan juga didiringi tawa dari Nana dan Farah.
"Hwaaah? Sejak kapan gigi kamu ada kawatnya Vi? Dapet dari jemuran mana tuh?" tanyaku sambil sedikit tertawa saat melihat dari spion tengah behel gigi yang sepintas terlihat menghias giginya ketika Vivi berbicara meledekku tadi.
"Niiii!" Terlihat Vivi dari spion tengah meringis meledek memperlihatkan behel giginya sesaat setelah aku meledeknya tadi.
Silvi Alviana namanya, cewek dari Semarang yang masih ada keturunan Cina dari darah ayahnya, ibunya berasal dari Salatiga, sehingga dari kami berempat, hanya Farah dan Vivi yang kadang sering berbicara memakai bahasa Jawa saat kami berempat sedang berkumpul.
Rambutnya hampir sepanjang dagu, sedikit lebih panjang dari Nana. Berkulit putih khas keturunan Cina, bermata sedikit sipit, hidung mancung dan pipi yang sedikit chubby. Sekilas sih mukanya mirip kayak salah satu VJ MTV yang sekarang kabarnya pacaran sama salah satu anggota pionir boyband Indo. (yang beneran bikin eneg itu)
Mobil Farah yang aku kemudikan akhirnya sampai juga di area parkir kampus Sastra dan Seni Rupa.
"Nih kunci mobil kamu 'Rah, nanti aku baliknya ke kampus biar dianter temen aku aja, takut aku soalnya, ada yg kayaknya dah jadi makhluk android disini," ledekku sambil melihat Vivi dari spion.
"Duuuh," ucapku saat belakang kepalaku ditonyol Vivi dari belakang.
"Jebh ... Jebh ... Piip ... Piip!" Akupun segera mengeluarkan HP touchscreen android ku sesaat setelah kami semua keluar dari mobil.
"Oke deh aku nemuin temen aku di ruang teater Sastra dulu yak, sampai jumpa lagi nanti atau besok," ucapku ke mereka.
"Yawdah, kalau nanti kamu mau bareng lagi ya kasih kabar aja yah," jawab Farah.
"Okedeh 'Rah," dan akupun berjalan menuruni anak tangga, memasuki gedung Sastra dan naik menuju ke lantai dua gedung Sastra tempat aku sudah buat janji dengan teman aku anak teater Sastra dari jurusan Sejarah.
"Blurrrp ... Blurrp!" Suara nada dering sms HP ku berbunyi ketika langkahku baru saja hendak menuju ke ruang teater. Aku usap layar HP aku untuk membuka sms nya.
"Aku di kantin mbok Jum," isi tulisan yang ada di sms.
"Kampret ni anak, aku dah terlanjur jalan sampai sini lagi, tau gitu aku jalan sama cewek-cewek tadi sekalian turun," umpatku.
- - - - - - - - - - - -
"Aaaaaah .... kampret licik banget lu pake trik diving kayak gitu, gimana caranya tuh?" Umpat si Ardian sambil menjatuhkan stick analog PS2 ke karpet.
"Hihi ... Bodo amat, penting dapet Penalti ... Penalti," sahutku ketika layar monitor komputer mereplay kejadian pelanggaran di game PES 2011 yang ada dikomputerku.
"Satu jam saja, bertemu denganmu .... satu jam saja kubercumbu rayu ... satu jam saja ... !!" Terdengar suara ringtone HP Ardian ketika kami sudah berkonsentrasi menatap layar monitor komputer yang ada di ruang tengah rumah kontrakan kami.
"Busyeeeet!!!" umpatku seketika saat posisi pemainku sudah hendak menendang bola, tombol pause dipencet oleh Ardian.
"Sori Luck ... Sori Luck, bentar yah .... Hallooo ..." sahut Ardian sembari menjawab panggilan telepon sambil berpaling keluar menuju teras rumah kontrakan kami. Akupun merebahkan diri di sofa panjang yang berada dibelakangku, kira-kira 1,5 meter didepan layar monitor komputer.
Aku, Ardian, dan 4 orang cowok lain mengontrak sebuah rumah di jalan guntur di daerah belakang universitas. Seno, Farhan, Itok dan Robert keempat orang itu. Hanya Aku dan Farhan yang masih satu jurusan Arsitektur di Fakultas Tekhnik, yang lain merupakan mahasiswa-mahasiswa dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Ardian dan Itok dari jurusan sejarah fakultas Sastra, Seno dari jurusan desain interior, dan Robert dari jurusan Diskomvis Seni Rupa.
Aku mulai pindah kontrakan bersama mereka sejak semester ke-2, hampir 2 tahun yang lalu, yang sebelumnya aku menempati kos di daerah depan kampus, Farhan yang menawari aku untuk bergabung dengan dia dalam satu kontrakan, karena saat itu kurang satu orang untuk melengkapi kuota nominal uang setoran setahun yang harus dibayarkan.
Akhir pekan ini hanya aku dan Ardian yang masih ada di kontrakan, yang lain sudah pada pulang sejak hari jumat sore kemarin ke kota asal mereka masing-masing. Itok pulang ke Pekalongan, Farhan ke Klaten, Seno dan Robert sama-sama dari Pacitan, Ardian sendiri juga satu kota sebenarnya dengan Seno dan Robert, hanya saja karena katanya lagi ada acara hari ini nanti ia mengurungkan diri untuk pulang bersama Seno dan Robert. Aku pun enggan pulang karena memang pada dasarnya aku jarang sekali balik ke Jakarta, dua bulan sekali paling sering, lagipula tugas mata kuliah Studio Perancangan Arsitektur semester ini dalam masa-masa yang harus kejar tayang, jadi ya hanya ada aku ditemani bedebah satu ini.
Sedikit bosan menunggu Ardian yang masih teleponan di luar, aku bangun dan berjalan menuju ke ruang belakang yang kami jadikan dapur darurat apa adanya, rasa hausku membimbingku untuk membuka lemari es mini yang ada disana.
"Wueh ... asik nih," kulihat ada sebotol minuman bersoda berukuran 1 liter di dalam lemari es, satu-satunya isi lemari es yang bukan air putih dingin.
"Ar ... punya siapa ni di lemari es?"
"Jangan dihabisin c*ca c*la nya, punya ku tuh, buat temenku ntar yang mo kesini," teriaknya dari luar.
Selesai menuang kedalam gelas kira-kira hampir satu gelas penuh, aku kembalikan botol itu kedalam lemari es dan aku membawa gelas itu ke ruang tengah dan menaruhnya di meja kecil samping sofa.
"Oke ... Aku tunggu yaa ... yuuuk," suara Ardian yang berjalan masuk sembari memasukkan telepon kesakunya dan duduk kembali sambil mengambil analog stick PS2.
"Ulangin lagi deh ... dah gak asik ni dapet penalti dua kali elu," protesnya ketika hendak memencet kembali tombol pause.
"Aaaah ... orang kalah selalu kebanyakan protes!" Jawabku.
"Misiiiiii ...." Suara seorang cewek menyapa di luar pintu rumah ketika kami hendak memulai kembali permainan PES.
"Weeeh ... kok tau-tau dah sampai sini sih? Sini masuk ... masuk" sahut Ardian.
Ketika aku menoleh ke belakang, terlihat dua orang cewek yang satu berperawakan langsing dengan memakai kaos lumayan ketat lengan pendek warna biru dan satunya lagi sembari melepas helm dan jaket berjalan menyusul dibelakangnya.
"Luck, kenalin nih temen aku di kelas teater, Santi ama Dina," kata Ardian memperkenalkan dua cewek tadi.
"Lucky" - "Santi"
"Lucky" - "Dina"
Sapa kami masing-masing sambil berjabat tangan.
"Silahkan duduk mbak-mbak nya sekalian, maaf ya kayak gini kalau lagi ada Ardian, keadaan rumahnya jadi berantakan," basa-basi ku ke mereka yang disambut tawa kedua cewek itu dan tampang jelek Ardian.
"Oiya, aku ambilin minum yak, berhubung cuma masih ada c*ca c*la terpaksa itu aja yak minumya, itu aja mending belum dihabisin ma begundal satu ini," balas Ardian meledekku sambil menawari mereka minum sembari berjalan menuju ruang belakang.
"Dari jurusan apa mas Lucky?" tanya Dina memulai percakapan.
"Aku Arsitektur mbak, mbak Santi dan mbak Dina satu jurusan sama Ardian?"
"Saya yang satu jurusan mas, Dina dari Sastra Inggris," jawab Santi.
Santi yang berkulit kuning langsat ini walaupun wajahnya ada beberapa jerawat-jerawat kecil disekitar pipinya tetap saja terlihat manis, dengan rambut panjang lurus melebihi bahu yang ia biarkan tergerai dipunggungnya semakin membuat figurnya terlihat mempesona.
"Kok gak mudik mas Lucky?" tanya Dina mengalihkan perhatianku dari Santi ketika kami bercakap.
"Wah, aku emang jarang mudik mbak"
"Asli mana sih mas Lucky?" sahutnya.
"Aku asli Indonesia mbak, bukan peranakan campuran terigu ama telur," jawabku sambil nyengir, diringi senyum simpul dari mereka berdua.
"Asli Jakarta aku mbak, kalau mbak Santi sama mbak Dina asli dari Solo?" lanjutku bertanya pada mereka.
"Iyah mas," jawab Sinta dibarengi dengan anggukan dari Dina sambil tersenyum.
"Tanya-tanya asal-usul kayak petugas sensus aja lu," sahut Ardian sambil membawa dua buah gelas yang sudah berisi c*ca c*la dan diberikan kepada Santi dan Dina.
"Langsung diminum habis aja daripada disruput ma tu curut," sambung Ardian meledekku saat Santi dan Dina menerima gelas dari Ardian.
Dina yang berambut pendek sedagu, berhidung mancung, berkulit sawo matang dengan wajah khas orang Jawa yang begitu kental dan mempunyai bodi cukup aduhai dengan ukuran dada cukup menonjol dibalik kaos hitam bertuliskan 'babe' segera meneguk minuman digelasnya hampir habis. Sepintas wajahnya hampir menyerupai artis Kinaryosih yang sama-sama berkulit sawo matang, sedangkan Santi hanya meneguk hampir separuh dari gelasnya.
"Yawdah, aku mau mandi dulu ya mbak-mbaknya sekalian, tolong nanti Ardian diawasi, suka banget tuh kalau ngintip cowok-cowok ganteng mandi," ejekku ke arah Ardian sambil dibarengi dengan tawa lepas dari dua cewek ini.
"Kampret lu!" balas Ardian sambil nyengir.
Aku pun berjalan masuk ke kamarku mengambil kaos dari lemari pakain lalu berjalan kebelakang menuju kamar mandi yang terletak disamping ruang dapur. Kran air aku nyalakan untuk menyamarkan suara (maaf) pup yang mungkin nanti akan dihasilkan dari posisiku berjongkok saat ini didalam kamar mandi sembari mengepulkan asap rokok dari dalam mulutku.
Hampir kurang lebih 20 menit akumulasi waktu yang aku habiskan untuk pup dan mandi, setelah selesai mengeringkan tubuh dengan handuk, aku langsung memakai kaos dan celana kolor selutut tanpa memakai underwear, aku lupa mengambil gantinya tadi sewaktu mengambil kaos di kamarku.
Dengan PeDe nya aku keluar dari kamar mandi dan menuju keruang tengah selepas menjemur handuk dan melempar kaos dan underwear kotorku ke ember cucian.
Ketika masuk ke ruang tengah, begitu tercengangnya mataku mendapati peristiwa serta pemandangan yang aku lihat sedang terjadi di atas sofa.
#Chapter 2 : Approaching The Sin(another part)
“Apa yang terjadi? Apa yang telah aku lewatkan selama 20 menit tadi di kamar mandi?” ungkapan batinku yang masih seolah belum mempercayai dengan kejadian yang saat ini aku lihat.
Duduk berpangkuan, kedua tangan Ardian tampak memijat lembut perlahan dan meremas-remas kedua buah bongkahan payudara Dina didalam kaos warna hitamnya yang sudah tersingkap keatas karena keberadaan tangan Ardian, memamerkan pusar dan kulit perutnya yang terlihat lebih putih dari kulit tangannya dan terlihat sangat langsing dengan sesekali bra warna putih yang menutup payudaranya sedikit tersingkap ketika diremas-remas oleh tangan Ardian.
Raut wajah Dina terlihat sangat menikmati gerakan-gerakan tangan Ardian sambil sesekali terdengar desahan-desahan lembut dari mulutnya, dan sesekali gigi atas Dina menggigit lembut bagian bibir bawahnya disertai erangan yang seolah tertahan ketika Ardian menciumi lehernya saat kepalanya mendongak keatas, menggeliat merasakan sensasi kenikmatan yang tengah ia rasakan.
Kehadiranku yang muncul dari ruang belakang seolah tidak dihiraukan oleh mereka berdua yang tengah asik melakukan adegan erotis yang spontan membuat gejolak cepat dalam sel-sel tubuhku. Detak jantungku terstimulus berdegup lebih kencang dan aliran darah seolah mengalir lebih kencang kearah penisku yang secara perlahan menegang menuju ereksi tingkat maksimalnya.
Pandanganku teralihkan ke Santi disudut sofa yang lain. Terkaget melihat kemunculanku dari ruang belakang, gerakan tangannya yang semula sempat aku lihat tangan kanannya mengelus payudara dibagian luar kaosnya dan tangan kirinya mengelus-elus bagian dalam pahanya terlihat terpaksa ia hentikan dan mencoba ia samarkan dengan seolah sedang menggaruk-garuk lutut dan pahanya.
Entah apa yang sudah terjadi dalam durasi menit saat aku berada didalam kamar mandi tadi, wajah kedua cewek ini terlihat memerah, bagian pipi masing-masing cewek ini yang paling terlihat sangat berona merah, bahkan di pipi Dina yang berkulit sawo matang.
Dalam pose canggung yang diperlihatkan Santi karena melihat kemunculanku, bisa terlihat jelas bahwa gelora gairah sedang merasuki dirinya, jantungnya yang berdegup kencang dengan nafas yang terengah terlihat jelas dari rongga dada Santi dan payudaranya yang seolah mengembang dan mengempis seiring dengan hembusan nafasnya.
Wajah Santi yang melihat pose mematungku yang masih belum bisa membayankan apa yang baru saja terjadi, terlihat sempat menahan senyum dan memalingkan mukanya kearah lain seolah berusaha untuk menghindari apa yang baru saja ia lihat dariku.
“Kampret!” Batinku dalam hati baru menyadari bahwa celana kolorku sangat jelas terlihat mencuat karena ereksi yang terjadi karena aku lupa kalau memang belum sempat memakai underwear.
“Psstt ... Pstt ...” terdengar suara dari Ardian yang masih saja meremas-remas bongkahan payudara Dina dan ternyata sedang berusaha memanggilku ditengah reaksiku yang masih terpaku akan kecamuk batin karena stimulus birahi yang ada di benakku.
Ia menaikkan kedua alis matanya kearahku dan kemudian setengah menolehkan mukanya ke arah Santi, seolah memberikan kode kepadaku untuk menghampiri dan mengambil langkah tindakan kepada Santi.
Santi yang juga melihat gerakan Ardian tersebut hanya melihat Ardian dan berganti melihat kearahku tanpa ekspresi dan reaksi apapun, masih dengan gerakan kedua tangan yang meremas-remas lutut dan sangat terlihat ia tahan, agar tangannya tidak melakukan gerakan lain yang ia tidak bisa kontrol, sembari dadanya masih terlihat kembang-kempis dengan nafas yang berat dan bibirnya sedikit terbuka seolah memudahkannya untuk menghembuskan nafas.
Hal yang terjadi berikutnya pun seolah diluar nalarku. Dengan penisku yang sangat terlihat sekali dalam keadaan ereksi maksimal dibalik celana kolorku, aku berjalan menghampiri Santi yang terlihat sedikit gugup dengan jarak diantara kami yang semakin dekat. Seringai senyum Ardian sempat terlihat olehku saat aku berjalan mendekati Santi, sebelum akhirnya bibirnya kembali mencium leher Dina dengan tangan kirinya yang sekarang sudah bergerak perlahan kebawah berputar-putar sambil mengelus perut dan mencoba menelusup kedalam celana jeans Dina.
Berada tepat didepan Santi yang tengah duduk dalam posisi yang sedikit membungkuk, ia terlihat sangat gugup dengan tangan masih memegang kedua lututnya dalam posisi kaki yang tertutup.
Aku menekuk kakiku dan berdiri berlutut tepat didepan Santi sambil kedua tanganku memegang lembut kedua tangannya yang berada diatas lututnya, sehingga kini posisi kedua wajah kami berada cukup dekat sekali satu sama lain.
Hembusan nafasnya yang semakin terasa semakin terengah dengan aroma cologne khas cewek yang begitu tercium dihidungku secara spontan semakin membuat detak jantung dan rasa tegang dibagian penisku.
“Hai, namaku Lucky,” sapaku dengan lembut tepat didepan wajahnya diiringi dengan senyum simpul yang terlihat begitu manis dengan rona warna merah di kedua pipinya yang terlihat menyamarkan beberapa jerawat-jerawat kecil yang berada disana.
Tanpa komando dari otakku, tubuhku seolah melakukan gerakan motorik sesuai keinginannya sendiri saat ini. Dengan senyum yang masih belum sempat hilang di wajah manisnya, aku mengecup lembut bibir tipis Santi, sekali, dua kali, tiga kali tanpa respon apapun darinya, hingga mungkin pada hitungan kecupan bibirku yang keempat, secara tiba-tiba tangan Santi melepas dekapan tanganku dan melingkarkan kedua tangannya dileherku disertai dengan balasan ciuman dan kuluman yang kurasakan bergantian dibibir atas dan bawahku.
Begitu agresif aku rasakan kuluman dibibirku yang sesekali aku rasakan gigitan-gigitan lembut dimasing-masing bagian bibirku itu secara bergantian, tangankupun aku lingkarkan di pinggangnya dan sesekali aku usap lembut punggungnya, bahkan beberapa saat kemudian, Santi pulalah yang mengambil inisiatif mengeksplorasi bagian dalam mulutku dengan lidahnya, yang secara spontan juga aku balas dengan kuluman dibibir dan permainan lidahku yang akhirnya sesekali lidah kami beradu bergantian baik didalam mulutku ataupun mulutnya.
Adegan apa yang terjadi diantara Ardian dan Dina yang berada tepat disamping kami sama sekali sudah tak kami hiraukan. Ciuman, kuluman dan permainan lidah Santi semakin ganas dengan sesekali tangannya mengusap-usap lembut pipi dan rambutku.
Tanganku yang semula hanya berada dipinggang dan mengusap-usap punggung diluar kaosnya kini aku beranikan untuk menyingkapnya agar terlepas. Tanpa aku duga, Santi tidak keberatan dengan merespons mengangkat kedua tangannya lurus keatas sehingga memudahkanku melepaskan kaos biru itu dari tubuhnya.
Apa yang aku lihat didepanku jelas semakin membuat tegang batang penisku. Tubuh mulus Santi dengan kulit putih dan beraroma cologne yang sudah bercampur dengan keringat membuat birahi yang ada didalam benakku begitu terasa ingin segera aku salurkan. Bra yang berukuran sedang dengan ukuran berkisar 34B aku remas secara lembut dan perlahan dengan kedua tanganku di kedua belah bongkahan payudaranya.
“Ufhh ... Hhhh,” terdengar desahan lembut yang tertahan dibibirnya saat kedua tanganku memijat lembut kedua payudaranya sembari bibir kami masih bercumbu.
“Aaah ...” desahnya sedikit keras dengan kepala mendongak keatas memperlihatkan jenjang lehernya saat kedua jari telunjuk dan ibu jariku memilin-milin lembut kedua putingnya dari luar bra yang masih dipakainya dan kemudian bibirnya kembali mengulum bibirku melanjutkan kembali percumbuan yang kami lakukan dengan desah nafas dari mulut dan hidung kami yang saling bertukar bergantian berhembus terasa menerpa di kulit wajah kami.
Dengan lutut kakiku yang terasa sudah mulai agak pegal, akupun menarik lembut tubuh Santi dan aku rebahkan dikarpet bawah depan sofa dengan kepalanya aku alaskan bantal lembut yang aku ambil dari atas sofa dengan posisi kakinya aku buka dan tubuhku lalu sedikit menindihnya.
“Bolehkah San?” Tanyaku kepada Santi meminta ijin untuk melepaskan celana jeans biru bermodel pensilnya.
Dengan bibir tertutup rapat dan tangan merentang lurus keatas memperlihatkan kedua ketiaknya yang terlihat sangat putih bersih dan terlihat basah, ia menutup mata dan mengangguk diiringi senyum yang tersipu.
Gerakan pinggulnya mengangkat sedikit pantatnya dari karpet menyertai gerakan tanganku yang membuka kancing dan resleting celana jeansya menunjukkan respon bahwa ia tidak keberatan dengan apa yang aku lakukan.
Sepintas aku sempat melihat disamping depanku, Ardian yang masih memakai kaosnya sudah melakukan gerakan memaju-mundurkan pinggangnya memompa masuk dan keluar penisnya didalam vagina Dina yang sudah hampir telanjang bulat hanya bersisa kaos hitam yang masih tersingkap tertahan didada, diatas bongkahan payudaranya yang terlihat olehku benar-benar berukuran mantap, dengan posisi Dina terlentang diatas sofa dengan kaki yang diangkat mengangkang sedikit keatas oleh Ardian yang berdiri bergerak memompa dengan tumpuan kedua lututnya. Bongkahan payudara Dina terlihat bergerak berputar sentrivugal kadang tak beraturan mengikuti gerakan persertubuhan mereka.
Tanpa aku sadari, saat sepintas aku melihat adegan itu, celana dalam Santi ternyata ikut tertarik dengan jeans yang aku lepaskan dari pinggang dan kaki Santi, hingga benar-benar aku pelorotkan lepas dari ujung jari kakinya.
Dihadapanku kini terpampang pemandangan seorang cewek berkulit putih, dengan keringat yang sudah mulai membasahi, hanya masih bersisakan bra yang masih menutupi bongkahan mulus payudaranya, dengan kaki yang ia silangkan rapat, namun tetap saja tidak mampu menutupi bulu-bulu kemaluannya yang tumbuh cukup lebat namun tertata rapi dbagian atas area vaginanya.
Kedua jari-jari tangannya terbuka didepan wajahnya, menutup hampir keseluruhan wajah manisnya, seolah berusaha menahan aku agar tidak melihat raut wajah itu yang tengah tersipu malu diselimuti dengan nafsu yang memburu, namun disela-sela jari itu masih bisa aku lihat kedua belah bola matanya yang melihat ke arahku.
Aku buka kaos yang masih menempel ditubuhku, aroma sabun mandi cair keluarga bermerk terkenal masih tercium kuat ketika aku melepasnya. Seketika tanganku dengan lembut berusaha untuk meraih tangan Santi yang menutupi wajahnya dan aku luruskan keatas seperti posisi sedang mengeliat. Kembali bibir kami bercumbu dengan tanganku mengelus mesra kedua tangannya yang terangkat keatas mulai dari ujung jari mulai merambat pelan turun menyusuri lengan, bahu dan terhenti di area dadanya tepat dibongkahan payudaranya. Kumainkan kedua ujung jari telunjukku berputar-putar di area lingkar payudara ya yang masih memakai bra. Aku remas lembut perlahan keduanya dan kedua tanganku berusaha menelusup kepunggungnya. Tanpa aku beri instruksi, Santi mengangkat pelan punggungnya memberikan kesempatan tanganku untuk melepas kait bra yang dengan hitungan detik sudah berhasil aku lepaskan.
Dengan bra yang masih menempel diatas bongkahan dadanya, secara perlahan tanganku menelusup masuk dibawah kain bra tersebut menelusuri kulit mulus payudara Santi. Perlahan aku angkat bra tersebut dengan punggung tanganku dan aku lemparkan pelan kedepan CPU computer.
Bulatan payudara Santi yang putih mulus begitu indah membulat kencang dengan puting dada berlingkar kecil berwarna coklat muda kemerahan begitu terlihat menggemaskan menggoda bibirku untuk segera mengulumnya. Dengan gerakan kepalaku yang perlahan mendekati, sambil lidah sedikit terjulur aku jilati lingkar luar puting Santi dengan kedua tanganku meremas pelan kedua bongkahan payudaranya, dan memainkan lidahku bergantian di kiri serta kanan puting payudaranya dengan sesekali kukulum lembut serta kupilin-pilin dengan ujung jari telunjuk dan ibu jariku.
“Ufhh ... Ahhh ... Ssshhhh ... Lucky,” terdengar desahan Santi mengiringi perlakuan tangan serta lidahku di payudaranya. Sapaan kata ‘mas’ yang diawal perkenalan dia selalu menyebut namaku tadi tidak kudengar dikala ia mendesah sambil menyebutkannya.
“Kenapa mbak Santi?” tanyaku menggoda kepadanya. Tanpa jawaban, ia hanya tersenyum manja sambil memukul-mukul mesra dadaku yang mulai berkeringat dan memang terlihat atletis, efek dari push up minimal 50 kali tiap pagi. Wajah dan fisik memang aku sedikit lumayan, dengan kulit putih keturunan dari darah Palembang ibuku, berat badan dan tinggi yang proporsional menunjang postur penampilanku. Bisa digambarkan aku sedikit mirip dengan seorang aktor kekasihnya si bintang Lux, Atiqah Hashiholan, hanya saja, kumisku belum setebal dia. Apalagi dalam keadaan telanjang dada seperti ini, perut sixpack dan dada bidang yang memang hobiku untuk berolahraga kadang kala memang jadi daya tarik tersendiri bagi beberapa tipe cewek.
“Ughh .... Sshhh ... Emmfhh...” Suara desahan yang berasal dari bibir Santi menikmati perlakuan tangan dan bibirku yang asik mengulum payudara dan putingnya semakin terdengar lebih cepat manakala tanganku mulai bergerak turun menyusuri lekuk langsing kulit mulus perutnya, ku usap-usap perlahan disekitar pusarnya kemudian turun mengelus bulu kemaluan bagian atas vagina Santi, menarik-nariknya lembut dengan kuapit di kedua jari telunjuk dan tengahku sebentar, lalu turun kembali menyusuri bagian paha dalamnya yang secara refleks kakinya bergerak semakin terbuka dengan elusan tangan kananku disana.
“Emfhhh ... Lucky ... “ Terdengar desah Santi hendak mengatakan sesuatu manakala tanganku mulai mengusap gundukan lipatan berbulu lembut dipangkal pahanya dan mulut serta tangan kiriku masih memberikan kenikmatan di payudara dan putingnya secara bergantian, kiri dan kanan.
“Ya San, ada apakah?” tanyaku lembut kepadanya yang hanya dijawab dengan gelengan kepala manja sambil bibirnya menutup rapat sambil menahan senyum dalam sensasi kenikmatan ketika tanganku masih saja mengusap-usap lembut lipatan berbulu halus tersebut yang sudah sangat basah oleh cairan yang keluar dari tengah lipatan vaginanya.
“Ouuuuuuugh ... Luckyyyyy,” terdengar erangannya cukup panjang disertai geliat tubuh yang begitu erotis serta kepalanya menoleh kekiri dengan mata tertutup rapat ketika jariku menyentuh dan mengusap-usap gundukan kecil dibagian atas lipatan vaginanya yang lumayan lebat ditumbuhi rambut kemaluan. Seketika itu juga jari tangan kananku yang lain yang berada dilipatan depan liang vaginanya terasa lebih basah manakala jari telunjukku semakin gencar memainkan gundukan kecil itu.
“Aaaaaaauuufh...” Erangan panjang tedengar beberapa menit setelahnya dari bibir Santi, disertai dengan gerakan erotis kedua payudaranya menjulang keatas dikala punggungnya terangkat menikmati sensasi orgasme yang mungkin tengah ia rasakan saat ini. Gerakan jemari, lidah dan kulumanku masih saja aku lanjutkan tatkala Santi mulai melanjutkan kembali dengan rintihan dan desahan erotisnya.
Santi menoleh ke arahku tatkala ia merasakan gerakan jariku di bagian vaginanya beserta perlakuan mulut serta tangan kiriku di payudaranya terhenti.
Ia memperhatikanku manakala aku hendak melepaskan celana kolorku yang tanpa memakai underwear, sesaat setelah melihat batang penisku yang sudah ereksi maksimal disertai dengan adanya cairan bening yang sudah keluar diunjung lubang penisku. Terlihat pipinya semakin merona merah dan ia lalu menolehkan kepalanya ke samping seolah malu menyaksikan apa yang ada di hadapannya.
“Santi ... kamu bersedia gak kalau mem forplay aku?” tanyaku lembut sambil membungkuk dan mendekatkan wajahku ke depan wajahnya.
“Gak tau caranya,” jawabnya sambil tersipu malu-malu.
Dengan lembut aku dekap punggungnya dan aku berdirikan dia hingga kami berdua sama-sama dalam posisi duduk berhadapan dengan kedua kaki kami yang sama-sama terbuka.
Dengan tangan kananku aku pegang pergelangan tangan kirinya dan aku tuntun kearah penisku. Secara naluriah jemari tangannya memegang batang penisku yang kemudian ia gerakkan naik turun secara perlahan.
Tangan kananku pun tak tinggal diam, secara perlahan pula jemariku mengusap-usap lembut lipatan liang vaginanya dengan kadang sambil aku tekan-tekan lembut kedalam, dan tangan kiriku meraih bagian belakang kepalanya aku dekatkan kewajahku yang kemudian aku kecup-kecup lembut, mata, hidung, pipi, leher dan kemudian kukulum bibir Santi yang ia balas pula dengan kuluman dan permainan lidahnya sembari tangan kirinya mengusap-usap bergantian punggung serta bagian dadaku.
Desahan dan erangan kami yang tertahan karena kuluman yang mulai agresif dibibir kami seolah keluar bergantian bahkan kadang bersamaan disela pergumulan bibir, lidah dan gerakan tangan yang berada di alat kelamin kami.
Hasrat didadaku seolah sudah tidak tertahankan, perlahan aku rebahkan Santi saat tangan kanannya masih mengenggam batang penisku.
“Kamu sudah siap San?” tanyaku yang hanya dibalas dengan kernyitan mata dan bibir yang tertutup rapat dari Santi yang entah itu sebagai sebuah pertanda jawaban ya atau tidak aku kurang mengetahui. Namun dari gerakan kakinya yang terasa tidak ada beban ketika aku buka lebar dan terlihat cukup jelas liang vagina Santi yang sudah sangat basah, menunjukkan bahwa ia tidak menandakan penolakan.
Dengan posisi paha kaki Santi yang aku buka lebar dan tangannya melingkar di leherku, aku memulai penetrasi penisku yang sudah basah karena cairan bening dari ujung lubang penisku yang sudah mulai keluar daritadi ke arah liang vaginanya. Aku usap-usap perlahan kepala penisku diluar liang vagina Santi yang diiringi dengan desahan-desahan erotis dari mulutnya.
“Emfhh ... Emfhhh ... Luck ... “ Terdengar rintihan Santi yang seolah seperti sedang mengejan saat ujung penisku aku coba tekan untuk masuk kedalam liang vaginanya.
Basahnya vagina Santi memang membantu kepala penisku untuk mudah masuk kedalam vaginanya, dengan disertai ekspresi wajah santi yang menahan bibirnya untuk tetap tertutup dengan matanya yang mengernyit sipit menatap wajahku.
Vagina Santi terasa begitu rapat menjepit kepala penisku walau keadaan vaginanya sudah sangat basah, dengan ujung penis yang sudah hampir masuk semuanya aku tarik kembali hampir keluar dan aku coba tekan untuk masuk lebih dalam lagi pelan-pelan dengan disertai erangan dan rintihan-rintihan lembut Santi.
Badan Santi tiba-tiba tersentak seolah tersengat sesuatu manakala sepertiga batang penisku sudah memasuki liang vaginanya, tangan Santi mencengkeram erat pundakku dengan disertai dengan rintihan panjang yang tertahan karena ia menutup rapat bibirnya serta ekspresi muka seolah sedang menahan rasa sakit.
Melihat hal itu akupun hendak menarik pelan batang penisku dari dalam liang vaginanya, namun ia memintaku agar menahan penisku agar diam sementara di vaginanya.
“San ... jangan-jangan kamu masiih? ... Mmfffh ... ” aku belum selesai mengucap pertanyaanku ketika Santi tiba-tiba menarik belakang leherku kedepan membuatku semakin menindihnya dan ia mengulum bibirku dengan permulaan yang lembut dan lambat laun berubah sedikit agresif dimana sepertiga batang penisku masih menancap di liang vaginanya.
“Kamu gerakin aja Luck ... gak papa kok, tapi pelan-pelan dulu aja yah” ucap Santi sambil tersenyum sendu saat ia menghentikan ciumannya dan sepintas aku lihat ada air menetes dari kedua sudut matanya, ia pun kembali melanjutkan mencium dan mengulum bibirku yang segera kubalas dengan kuluman dan permainan lidahku sembari pinggulku aku coba gerakkan perlahan menekan maju sedikit demi sedikit kedalam vaginanya.
“Mmmmmffhhhh ...” Tedengar rintihan panjang Santi tertahan diantara cumbuan bibir kami saat aku rasakan batang penisku sudah berhasil masuk seluruhnya didalam liang vagina Santi. Sensasi rasa basah namun begitu hangat liang vagina Santi begitu terasa di permukaan kulit penisku disertai dengan pijatan-pijatan lembut dari dinding dalam liang vagina Santi.
Santi terasa semakin agresif saat aku pertahankan posisi penisku didalam vaginanya beberapa saat, hingga kemudian dengan tangannya masih merangkul leherku, aku mundurkan pelan penisku hampir seluruhnya dan kemudian aku masukan lagi pelan-pelan, berulang, hingga terdengar rintihan dan desahan Santi semakin terdengar keras seiring gerakan maju mundur penisku memompa vaginanya, walaupun ritme gerakanku masih dalam frekuensi yang sama.
Tanpa diberi komando dari Santi, aku mencoba mengambil inisiatif untuk mempercepat gerakanku memompa vaginanya yang tentu saja diiringi rintihan dan desahan Santi yang semakin tak terkontrol.
Dalam gerakan penisku yang semakin cepat memompa vaginanya, tiba-tiba kaki Santi dilingkarkannya kebagian belakang pinggulku dengan tangannya juga masih melingkar di leherku. Desahannya yang lama-lama terdengar semakin keras membuatku harus mengulum bibir Santi untuk meredam desahan nikmat senggama tersebut.
Kadangkala pula aku menarik pelan batang penisku, dengan hanya kepala penisku yang masih tertancap didalam liang vagina Santi, secara tiba-tiba aku sodokkan cepat penisku kedalam vaginanya hingga menekan bagian rahimnya. Seolah tersentak kaget dengan sensasi gerakanku tersebut, pelukan dan cengkeraman tangan serta kaki Santi di leher serta pinggulku terasa semakin kencang saat aku menyodokkan penisku dengan gerakan tersebut.
"Huugggh ... heeeuft ... heeuuft," desahan suara Santi yang tersenggal seiring gerakan penis menyodok cepat dan dalam itu begitu membuatku semakin bersemangat untuk kembali mempercapat gerakanku, memaju mundurkan penisku didalam liang vaginanya yang benar-benar sudah terasa begitu basah.
“Emfhh ... Emfhh ... Emfhh ... Aaaaaaaghhhh...” Desah Santi memanjang sambil kepalanya mendongak keatas melepaskan kulumannya dari bibirku dengan disertai cengkeraman kaki dan pelukan tangan yang begitu terasa di leher dan pinggulku. Gerakan penisku di vaginanya pun aku hentikan sementara saat tubuh Santi terlihat mengejang kaku sesaat, disertai sensasi jepitan yang erat kurasakan di batang penisku yang masih tertancap diliang vaginanya.
Tubuh Santipun terlihat melemas dengan tangan dan kaki terkulai melepas jepitannya dari leher dan pinggulku. Hembusan nafasnya terlihat begitu tersenggal cepat dengan mata tertutup seolah malu melihatku dan senyum simpul dan ekspresi kenikmatan tergambar diwajahnya.
Perlahan aku membangkitkan tubuhku dengan posisi tegak bertumpu pada lutut. Darisana terlihat jelaslah cairan kental sedikit berbuih-buih lembut berwarna putih kemerahan membasahi hampir seluruh batang penisku yang ujungnya masih tertancap diliang vagina Santi.
“San ... kamu memang masih perawan sebelumnya?” tanyaku sedikit ada rasa kaget kepadanya yang hanya dijawab dengan anggukan kecil dagunya dengan senyum simpul yang menunjukkan ekspresi kelelahan.
Akupun segera mengeluarkan ujung penisku dari dalam vaginanya dan merebahkan tubuhku disamping Santi sambil mengecup lembut keningnya disaat matanya masih saja tertutup dengan nafas Santi yang sudah mulai terlihat normal kembali.
“Aku minta maaf ya San atas semua ini,” ucapku sambil mengusap lembut rambut dan pipinya.
“Aku hanyalah seorang laki-laki yang baru saja kamu kenal, namun aku sudah kelewat batas seperti ini mengambil sesuatu yang sudah sekitar 20 tahun kamu jaga untuk seseorang yang lebih pantas dan ingin hal ini kau berikan kepadanya kelak, padahal kita tidak mempunyai ikatan hubungan apapun,” sambungku berusaha menenangkannya yang secara tidak langsung berusaha untuk menenangkan hati dan pikiranku sendiri.
“Gak apa-apa kok, kamu pantas menerimanya Luck,” jawab Santi sambil membuka matanya dan tersenyum dihadapan wajahku.
Wajahnya begitu terlihat manis dengan keringat terlihat sedikit membasahi bagian dahi dan rambutnya serta rona pipi yang masih terlihat merah diwajahnya.
“Setelah ini mungkin kita akan menganggapnya seolah tidak pernah terjadi apa-apa, atau mungkin akan terjadi hal-hal baru yang luar biasa, atau mungkin juga ... Hmmmh ...“ Aku belum menyelesaikan perkataanku dan merebahkan tubuhku terlentang disamping Santi sambil melihat langit-langit ruang tengah kontrakan, seolah tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk melanjutkan.
“Beneran ... gak apa-apa kok Luck ... aku menikmati dan merelakan apa yang baru saja terjadi ... Kita sama-sama hanya mengikuti alur dari kejadian yang aku sendiri juga gak sadar bagaimana ini semua bisa terjadi tadi .... yang penting, semoga kamu gak lupa sama aku aja,” jawab Santi lembut dengan posisi tubuhnya yang ia miringkan menghadapku sambil telunjuk jari tangan kanannya berputar-putar di area dada bidangku dan tangan kirinya menopang kepalanya.
“Aku jelas tidak akan pernah melupakan kamu San,” jawabku sambil menoleh kearah wajahnya mendengar jawaban yang begitu terdengar bijak olehku.
Santi kemudian merebahkan kepalanya di atas dadaku, keringat yang tadi membasahi tubuh kami sekarang sudah kering seiring dengan hembusan angin dari lubang jendela yang terasa tidak terlalu dingin karena keadaan tubuh kami yang langsung bersentuhan kulit.
“Kamu gak apa-apa Luck kalau belum tuntas?”
“Hmmm? ... Apanya San?”
“Nih ...,” jawab Santi sambil mencolek-colek penisku yang sudah mulai tertidur dengan ujung jari telunjuknya.
“Hmmm ... gak masalah kok San,”
“Onani nggak ntar kamu gara-gara tadi belum keluar?”
“Mmmm ... Kasih tau enggak ya?” jawabku menggodanya.
Tangan Santi pun seketika menggengam penisku yang masih setengah tertidur. Dengan gerakan lembutnya menggenggam dan mengocok batang penisku membuatnya tak seberapa lama akhirnya kembalilah penisku ke fase ereksi seperti beberapa menit tadi yang baru saja berlalu. Badannya pun merangkak sedikit naik dimana payudaranya sedikit menindih bagian bawah perutku.
Dalam posisi ini kepala penisku mulai dijilatinya, dari ujung, bergerak melingkar sampai bagian bawah kepala penis, kemudian mengulum perlahan ujung penisku didalam mulutnya. Aku benar-benar merasakan sensasi kenikmatan dari kuluman Santi penisku.
“Hoohg Hhaahhiingg hhhaahg..?” terdengar suara Santi sangat tidak jelas mengucapkan apa saat penisku masih dikulumnya.
“Hmmm? ... apa San?”
“Slurpp ... kok asin yah?” jawabnya tersenyum menoleh kearahku sambil berusaha membersihkan ludahnya yang hampir menetes.
“Waah ... nggak tau juga aku San harus jawab apa, belum pernah mengoral penis soalnya seumur hidupku ini,” jawabku sekenanya.
“Auwww ...” teriakku pelan kala Santi menggigit lembut batas kepala penisku dengan batangnya gara-gara jawaban konyolku tadi.
Dari tempat yang tak begitu jauh aku dengar suara cekikikan yang seperti ditahan, dan sumber suara itu tentu saja dari Ardian yang duduk bersandar di pinggir sofa dengan tubuh Dina yang masih telanjang terlihat terlelap rebahan bersandarkan pada dada Ardian.
Ia nyengir dan tangan kirinya terangkat mengacungkan jempol keatas menyaksikan adegan Santi mengoral penisku, atau mungkin hanya melihat tubuh telanjang Santi dari belakang dalam posisi semi nungging, yang pastinya dari sudut pandang Ardian terlihat jelas bagaimana seksinya bongkahan kedua pantat serta vagina Santi yang sedang mengoralku.
“Ehhhhmmmhh ...” desahku perlahan terlepas tanpa sadar sembari menikmati sensasi kenikmatan lidah Santi yang bermain-main menjilat serta mengulum penisku begitu luar biasa aku rasakan, kocokan lembutnya yang bervariasi dari lambat ke cepat semakin membuatku melayang dalam kenikmatan sensasional ini.
“San, ... ehhhmmm .... aku dah berasa hampir keluar,” ucapku beberapa saat kemudian.
“He ... efhh,” jawab Santi dengan mulutnya masih menggulum penisku.
“Gak apa-apa memangnya kalau aku keluar di mulut kamu San?” sambungku.
“Hagh Fhaafhaa hogh,”jawab Santi.
“Uuuuuaaaagh .... aku keluar San!” erangku ketika kurasakan cairan spermaku mengalir didalam batang penisku dan berusaha menyembur keluar. Tanpa sadar tanganku menjambak ringan rambut Santi ketika kepalaku mendongak keatas.
Beberapa saat kepala dan bibir Santi masih saja dalam keadaan menunduk dengan penisku masih berada didalamnya, yang kemudian Santi mendongakkan kepalanya keatas melepas penisku dari kulumannya sambil tangan kirinya berusaha mencegah dan menahan cairan yang hampir keluar dari sudut bibirnya.
Terlihat jelas gerakan naik turun tenggorokan leher Santi seolah sedang menelan sesuatu, dan sesaat setelahnya, ia membuka lebar kedua mulutnya sembari menjulurkan lidahnya keluar, berusaha menunjukkan bahwa tak ada yang tersisa di dalam mulutnya. Ia pun kembali mengulum, menjilati batang hingga ujung penisku dan kemudian tersenyum setelah melakukan hal tersebut lalu merebahkan kepalanya mencium lembut bibirku.
“Berasa sperma kamu sendiri nggak Luck di bibir aku?” tanyanya menggoda sambil tersenyum melihat kedua mataku.
“Hmmm ... masih sedikit berasa amis yah, coba kalau digoreng atau direbus dulu ma sedikit dikasih garam tadi,” jawabku sekenanya sambil tersenyum kearah wajahnya yang masih saja terlihat merona merah dikedua pipinya.
“Auuuw...,”cubitan gemas Santi mendarat di puting dadaku sebelah kiri, disambut dengan kecupan lembutnya di tempat yang sama lalu merebahkan kembali kepalanya di atas dada bidangku.
“Aku numpang kamar mandinya yax buat bersih-bersih,” sambung Santi sembari mengecup bibirku dan kemudian berdiri setelah mengambil pakaiannya yang berserakan di karpet.
Aku hanya tersenyum melihat Santi dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benangpun berlari pelan berjingkat sambil menenteng pakaian menutupi dadanya menuju ruang belakang.
Saat aku menoleh kesamping, terlihat gerakan kepala Ardian yang berpaling muka menoleh dan pura-pura tertidur sambil bibirnya masih tersenyum nyengir.
“Dasar begundal,” batinku dalam hati sambil tersenyum melihat kelakuannya.
Sesaat kemudian setelah aku berpakaian dan Santi sudah keluar dari ruang belakang lalu duduk disampingku yang sedang duduk bersandarkan bibir sofa, melihat Dina yang hanya memakai kaus hitam serta celana dalam berlari pelan masuk keruang belakang dengan menjinjing bra dan celana jeans nya sembari tersenyum tersipu melihat kami yang memperhatikannya.
Ardian yang sudah memakai celana pendek serta masih bertelanjang dada terlihat meluruskan kedua kakinya diatas sofa dengan punggung merebah bersandarkan samping sofa sembari menghembuskan asap rokok dari dalam mulutnya yang baru saja ia sulut, benar-benar terlihat gaya khas seorang begundal yang habis meniduri seorang wanita layaknya di film-film.
Sesaat setelah Dina keluar dari ruang belakang, Ardian bangkit dari sofa sambil memakai kasonya dan berjalan kepintu depan, membuka lebar pintu tersebut yang tadi terkunci.
Setelah Dian dan Santi berbenah merapikan make up diri mereka masing-masing, aku dan Ardian pun menemani mereka berjalan keluar menuju motor mereka yang diparkir dihalaman luar rumah kontrakan kami yang memang lumayan luas dengan dua sampai tiga mobil mungkin cukup bila di parkir di tempat tesebut.
- - - - - - - - - - - -
# Chapter 3 : I Have To
Sesaat setelah saling berpamitan dan motor yang dipakai berboncengan kedua cewek tadi berlalu dari hadapan kami, aku masuk kedalam rumah menuju sofa, sembari tanganku mengambil sebuah gelas yang masih berisi minuman bersoda dimeja kecil samping sofa, satu-satunya gelas yang tidak dalam keadaan kosong di meja tersebut dan merebahkan punggungku di sofa.
Aku menenggak pelan minuman tersebut sambil pikiranku masih belum bisa menghilangkan bayangan-bayangan kejadian yang baru saja terjadi di ruang ini sampai air minum digelasku habis.
Sesaat kemudian Ardian pun masuk dan duduk berseberangan disudut sofa yang lain.
Seketika aku menanyakan bagaimana permulaan dari kejadian-kejadian yang aku lihat saat aku keluar dari kamar mandi tadi, dan cerita yang Ardian jelaskan kepadaku secara detail benar-benar membuatku terheran dengan ekspresi tersenyum serta kepalaku hanya bisa tergeleng-geleng seolah sulit mempercayai penjelasan yang Ardian berikan.
“Jadi kamu memasukkan sesuatu kedalam minuman bersoda kedua cewek tadi Ar?”
“Yuup ... Gua sih enggak nyangka kalau ternyata si Santi ikut, jadi kebagian rejeki kan elo gara-gara gua gak mudik ke Pacitan, padahal gua Cuma berencana ma Dina aja tadi,” jawab Ardian sambil tersenyum menggodaku dan menghembuskan asap rokok dari kedua lubang hidungnya.
"Gua aja tadi sempat loh punya pikiran buat switch partner ma lo, gantian gua ma Santi semisalnya aja lo tadi gak sok alim," sambungnya sambil nyengir meledek.
"Sok alim congor kamu itu!" jawabku mengumpat sekenanya sambil benar-benar gak habis pikir dengan pikiran mesum dari begundal satu ini.
Dalam keadaan setengah melamun kedua mataku hanya bisa menatap gelas kosong yang berada di genggaman tangan kananku sedangkan bibirku hanya bisa tersenyum mendengar gagasan yang sempat Ardian ucapkan tersebut sambil otak didalam kepalaku masih saja terbayang kejadian yang baru saja terjadi. Seketika itu satu hal membuatku tersadar ...
“Tunggu sebentar ... kamu masukin cairan itu ke dalam gelas mereka kan? Gak didalam botol minuman itu langsung? dan kamu gak memasukkan apa-apa kan di gelas minuman aku selama aku mandi tadi” tanyaku seketika itu juga menatap wajah Ardian dengan serius manakala aku sadari minuman bersoda dari gelasku tadi sudah aku minum habis.
“Yaa enggaklah ... mubazir amat!! ngapain juga gua masukin ke minuman lo?!” jawab Ardian senewen.
“Sumpah?!! Siapa tau aja lo rada-rada aneh berniat yang enggak-enggak ma aku manakala tau kalau kita Cuma sendirian.” jawabku refleks aja sembari tertawa lepas.
“Bluuugh!!” seketika sebuah bantal sempat aku tangkis dengan tangan kiriku manakala Ardian melemparnya kearah mukaku.
“Tapi ngomong-ngomong untung aja yah, gaya lo yang sok alim yang seolah gak mau ngelanjutin eksekusi tadi gak jadi kentang,” sambung Ardian.
“Maksud kamu?” tanyaku kemudian.
“Yaaa ... apa gak kentang lo tadi, untung aja si Santi bersedia ngeblowjob lo buat penyelesaiannya, kalau gak kan bakalan dalam keadaan siaga satu pantat gua ntar malem, gara-gara lo kentang sok alim tadi,” sambung Ardian sambil ketawa lebar setelahnya.
Seketika saja aku melempar bola kasti milik Farhan yang ditaruh dimeja samping sofa yang diletakkan disitu sebagai hiasan, untung saja bukan gelas yang aku lemparkan tadi ke arah mukanya.
“DASAR LAKI MUKA MEKI LOO!!!”
Yup ... dari umpatan yang aku dengar dari mulut Ardian ketika aku berlari ke arah ruang belakang sesaat setelah aku melemparnya dengan bola kasti tadi, sepertinya walau bukan gelas, tapi saya yakin rasanya sama sakitnya.
“Sori banget ya Ar ...” Tawaku dalam hati.
- - - - - - - - - - - -
Malam hari setelah kejadian yang berlangsung sore hari tadi masih saja teringat dalam benakku. Walupun bukan sekali ini aku berhubungan seks dengan seorang cewek yang ternyata masih perawan, namun dalam batinku masih saja berkecamuk antara rasa bersalah dan kepuasan.
Memang tidak munafik aku hanyalah seorang laki-laki yang “RAIBMAKAN” alias Rajin Ibadah, Maksiat pun tetep Jalan. Walau tidak munafik saat ibadah gereja sebagai seorang penganut katholik sepertiku, ada saat dimana pengakuan penebusan dosa, aku masih belum bisa mengungkapkan kepada pastur tentang hal-hal tertentu yang senantiasa masih saja aku lakukan dan belum bisa aku hentikan.
Yaa ... hal tersebut adalah Seks ... Sebuah kebutuhan biologis umum seorang manusia normal.
Dikala keadaan pikiran penat seperti saat-saat ini, di masa tugas-tugas kuliah dalam keadaan kejar tayang menjelang semesteran kuliah, hal-hal konyol sering terlintas di pikiranku, hanya untuk berusaha menenangkan batin dan pikiran dengan hal-hal ataupun aktivitas-aktivitas yang mampu untuk mengesampingkan dan mengatasi beban pikiran tersebut.
Hal yang baru saja terjadi dalam akhir pekanku disertai dengan penjelasan dari Ardian beberapa waktu yang berlalu memberi sebuah gagasan konyol yang bila kembali terlintas selalu saja masih menimbulkan senyum nakal di bibirku yang tanpa aku sadari.
Hari minggu pun aku lalui dengan aktivitas malas sama seperti biasanya di hari-hari libur kuliah. Hingga malam hari sebagai pertanda bahwa akhir pekan hampir berlalu pun telah menjelang.
- - - - - - - - - - - -
Vibrasi HP ku bergetar keras menghasilkan suara nyaring hasil getarannya dengan kayu meja disamping tempat tidurku. Seketika aku raih HP ku yang berada diatas meja dari posisi rebahku di tempat tidur dan kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi di layar HP ku.
Seketika aku lihat ada sms masuk dilayar dan aku usap layar touchscreenya serta aku baca sms tesebut.
“Ntar kira-kira jam habis kuliah siang temuin gue di ruang teater lantai 2 di kampus Sastra, udah dapet gua barangnya,” tulisan sms dari Ardian yang terpampang dilayarnya.
Keadaan biologis sebagai laki-laki normal ketika bangun tidur disertai pikiran-pikiran konyolku yang terlintas sesaat setelah membaca sms masuk dari Ardian tadi membuat bagian bawah ditengah-tengah celana kolorku menjulang bebas terangkat keatas seolah mengucap selamat pagi dan juga turut merasakan sensasi yang bakal terjadi nanti.
#Chapter 4 : I'm In
“Potenzh*l Liquid, 25 ml, made in Germany,” tulisan di kardus botol balok berwarna dominan oranye, berukuran tak lebih dari ukuran pack kartu domino itu aku baca tulisan-tulisannya pelan sesaat setelah Ardian memberikannya kepadaku di kantin bawah gedung Sastra.
“Gak ada efek samping Luck, selain sange ama horny aj sih buat cewek yang lo jadiin tumbal ntar,” ucap Ardian sambil menyeruput segelas es coffee mix dan menghembuskan asap rokok yang ia hisap.
"Lo cukup tetesin aja 5 - 10 tetes kedalam minuman, ya kira-kira buat 200ml-300ml lah,"
"Terus?"
"Lo tunggu aja 5-10 menit, bakal langsung elo liat efeknya dari target lo, trus terserah lo deh."
"Oke bro, makasih ya buat bantuan kamu, nih duitnya, pas kan segitu?"
"Ajiiiib deh, jangan lupa stamina lo tingkatin dulu, biar kagak kewalahan ntar lo ... hahaha, Oh iya .... ngomong-ngomong yang mana sih sebenernya target lo itu sob?"
"Whooii ... pada ngapain ni kalian dua cowok duduk deket-deketan sambil kayak habis pegangan tangan gitu?"
"E .. Eh ... Enggak ... Apaan sih kamu Na?" Secepatnya barang diatas meja pemberian Ardian langsung aku masukkan dalam tas seiring dengan kedatangan Nana, Farah dan Vivi yang tidak aku sadari.
“Hai Na,” sapa Ardian dari sisi jauh meja kantin ke arah Nana yang mulai duduk disampingku diikuti Vivid an Farah yang menyusul duduk diseberang bangku, berhadapan dengan bangku tempat Nana, aku dan Ardian.
Nana memang sudah kenal dengan Ardian dan cowok-cowok lain penghuni rumah kontrakan, karena selain ada aku dan Farhan yang masih sama satu jurusan dengan dia, selama ini juga Nana yang sering mampir hanya sekedar untuk main atau mengerjakan tugas, kadang hingga sedikit larut malam, karena memang status rumah yang kami berlima tinggali merupakan kontrakan, bukan kos yang kadang ada batasan-batasan untuk tamu yang berkunjung apalagi berlainan jenis kelamin.
Ardian kemudian mencolek paha kiriku dan memberikan kode untuk mengenalkanku kepada dua orang cewek lain yang duduk di hadapannya.
“Ngapain colek-colek, kenalan sendiri donk, tu Juminten, trus itu Paiyem,” ucapku menggoda Ardian sambil menunjuk Farah dan Vivi sesaat setelah Ardian memberikan kode kepadaku dan disambut senyum simpul dari kedua cewek itu.
“Hai ... Yang Mulia Raden Mas Tumenggung Ardian Putranto ... tapi panggil aja saya sayang ato say aja cukup kok, gak perlu panjang-panjang” sapa Ardian dengan tampang sok paling ganteng sedunia sambil menjulurkan tangannya bersalaman dengan Farah dan Vivi.
“Juminten,” jawab Farah sambil berjabat tangan dengan Ardian.
“Painem ... Eh Paiyem ... eh , sopo mau jenengku Luck?” Tanya Vivi tersenyum sambil berjabat tangan dengan Ardian dan memperlihatkan senyum manis dengan behel menghias di giginya yang tanpa behel pun sudah terlihat rapi.
“Hemmh ... apaan?” jawabku ke Vivi sambil diiringi tawa cekikikan mereka berempat sesaat setelah berkenalan.
“Moso’ toh mbak ayu-ayu putih-putih ngono iku jenenge Juminten ma Paiyem?” lanjut Ardian bertanya.
“Lah daripada kamu muka pas-pasan mendekati ancur gitu namanya sok cakep banget,” jawabku merespon pertanyaan Ardian dengan meminum segelas es N*tri sari diiringi gelak tawa dari mereka berempat, gelas berisi minuman beraroma jeruk tersebut segera disambar oleh Nana sesaat setelah aku menaruhnya kembali diatas meja.
“Kamu demen banget sih Na nyerobot gelas minuman aku? Beneran penasaran ya pasti ama rasa bibir aku selama ini?” jawabku menggoda Nana yang hanya dijawab dengan meminum isi gelas minumanku dengan kepalan tangan kirinya yang mentoleng pelan rahang pipi kananku hingga membuat kepalaku tertoleh paksa ke arah kiri.
“Niih rasain!” Jawab Nana sambil menyeka bibir mungilnya ketika meletakkan kembali gelas minumanku yang sudah kosong ke atas meja sambil tertawa puas seolah berhasil membalas ledekanku.
Melihat Nana meminum habis minuman rasa jeruk di gelasku tadi sempat membuatku berkhayal andai saja tadi aku sempat memasukkan larutan dibotol yang diberikan oleh Ardian didalam minuman itu, dan seolah mengetahui tentang apa yang sempat ada di benakku, Ardian hanya tersenyum sambil menatap kearah gelas kosong itu lalu kearahku, kemudian menundukkan kepalanya seakan berusaha menahan senyuman itu.
“Oiya ... ntar lu baliknya bareng ama kita aja yah Luck, soalnya habis ni Farah ma Vivi mo langsung balik habis dari kampus, guwa mo minta tolong lo buat nganterin guwa ke jalan Surya 3, buat lihat rumah kos yang temen guwa rekomendasiin. Bo-Nyok guwa dah kasih ijin buat guwa ngekos, biar gak terlalu lama nebeng ke tempat Om ma Tante,” kata Nana.
“Kok gak ajak gua aja Na?” sahut Ardian.
“Ntar kalo guwa dah pindah kos trus guwa butuh buat bersihin kamar mandi ma kloset pasti deh guwa bakal ajak lo Ar,” jawab Nana sambil tersenyum sok manis ke arah Ardian yang memang sudah akrab satu sama lain.
“Yaa asal elu lagi ada disana sedang pipis gua sih nggak bakal keberatan kok Na,” sambung Ardian menggoda Nana.
“Yeee ... ogah pake Be-Ge-Te,” jawab Nana dengan ekspresi ala-ala gaya lebay.
Farah dan Vivi yang baru bertemu dengan Ardian pertama kali ini hanya tertawa ringan mendengar bercandaan Ardian dan Nana yang sedikit menjurus ke hal-hal yang sedikit mesum. Farah dan Vivi kadang hanya asik bermain dengan HP Bl*ckberry mereka dengan sesekali mereka berdua mengobrol sendiri dengan bahasa Jawa yang masih sedikit-sedikit aku mengerti akan artinya dari pembicaraan mereka yang sekilas aku dengar.
“Yawdah yuk kita balik ke kampus, ntar biar minuman lo Ardian aj yang bayarin,” ucap Nana sembari berdiri sambil menjulurkan ujung lidahnya meledek ke arah Ardian.
“Hehe ... ide bagus Na, sama ini sekalian yak,” sahutku dengan beranjak dari bangku sambil mengambil dua bungkus plastik makanan usus goreng diatas meja, yang segera diikuti oleh Farah dan Vivi yang beranjak dari tempat duduk.
“Monggo Mas Raden ...” pamit Farah sambil tersenyum kearah Ardian.
“Dibilangin panggil saya tu sayang ato say aja kok mbak,” sahut Ardian menggoda Farah dan Vivi.
Sesaat setelah sampai diparkiran kampus Sastra dan memasuki mobil All New P*canto milik Farah, kami berempat pun segera berlalu pergi menuju kampus Tekhnik dimana Farah men-drop aku dan Nana di depan pintu parkir kampus kami tersebut. Mobil hatchback putih itu pun segera berlalu dari hadapan kami berdua.
“Kamu tunggu diatas pohon itu sebentar yak selagi aku ngambil motor didalam,” godaku kepada Nana yang hanya dijawab dengan muka nyinyir dan tendangan pelan kearah lututku.
Motor Y*maha Vixion hitam pun segera ku nyalakan mesinnya dan kukendarai pelan keluar dari tempat parkir menuju ke tempat Nana yang sedang berdiri menunggu.
Sesaat setelah berada di hadapan Nana aku rasakan getaran dan bunyi nada dering sms dari dalam tas punggung yang memang biasa aku kenakan didepan untuk menutupi bagian depan dadaku dari terpaan angin ketika hendak mengendarai motor.
Nana pun segera naik membonceng di belakang yang bagian payudaranya segera saja seolah menekan lembut punggungku. Nana memang sudah terbiasa membonceng motorku dengan posisi seperti itu yang benar-benar bagian dadanya menempel punggungku dan pinggulnya seolah sedikit menungging, karena memang shockbreaker teleskopik bagian depan motorku aku modifikasi menjadi lebih pendek dari setting awalnya.
“Bentar ya Na aku buka sms dulu,” ucapku kepada Nana yang sudah memposisikan dirinya nyaman membonceng dibelakangku dengan tangannya yang semula sempat melingkar didepan tas punggungku.
“Beneran lucky lo emang, Nana aja yang tiap kali lo ajak maen ke markas sering bikin gua iri ama lo, ternyata masih ada dua lagi yang beneran tambah bikin deg-degan konti ... (gambar emot ketawa)
Gua sumpahin konak gak bisa turun2 lo kalo eksekusi sampe gak ajak2 ... (gambar emot ketawa lagi)
btw, nama dua orang cewek tadi siapa nYet?”
Isi tulisan sms yang cukup panjang namun sama sekali gak penting serta terlihat berotak mesum dari Ardian yang aku baca di layar HP ku aku balas sambil tersenyum simpul.
“Dari siapa Luck?”
“Monyet mesum!” jawabku singkat kepada Nana sambil motor mulai melaju pelan meninggalkan kampus Tekhnik.
Tak seberapa jauh di kampus Sastra sana, Ardian yang masih berada di kantin bawah membuka HP dan membaca balasan sms yang tadi aku kirimkan ...
“Juminten ma Paiyem! (gambar emot ketawa 5x)”
Bersambung
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 komentar