• Posted by : Tanpa Nama 4 Jan 2013

    BAB III

    My Past, My Experience and My References




    Hal yang terjadi bagaikan sebuah dejavu di otakku, seolah membangkitkan kenanganku akan masa lalu. Tubuh berlekuk indah dengan kulit putih mulus yang terlihat mengkilap karena basah itu terekspos dengan jelas dalam penglihatanku, sengaja ia perlihatkan, jauh lebih indah dari fantasi yang sering terlintas di otakku, berdiri bersandar pada sebuah pintu yang terbuka lebar didalam kamar mandi. Detak jantungku merespon, menstimulus aliran darahku untuk mengalir cepat, terpusat, disatu bagian alat reproduksi didalam anatomi tubuhku. Bidadari ini seolah menanti detik demi detik berganti, sengaja, menantikan seseorang melihatnya, dengan pose dan keadaan polos seperti sekarang ini ... 


    - - - - - - - - - - - -



    #Chapter 1 : First Chance of Sins


    Motor Vixion yang kami kendarai melaju cepat menuju markasku, berhenti sejenak disana mengambil helm demi keamanan seorang cewek yang membonceng dibelakangku. Tangannya terasa lembut mendekap pinggangku, berpegangan erat pada kait tas punggung yang aku kenakan menutup bagian depan dadaku. Bagian dadanya begitu erat menempel dibelakang tubuhku. Payudaranya yang berukuran sedang begitu terasa lembut menekan punggungku, namun sama sekali tak mengganggu konsentrasiku, karena hal ini sudah terbiasa dalam keseharianku. 



    Langit mendung terlihat mulai menyelimuti langit Solo siang ini. Hujan semoga baru berkenan turun ketika kami sudah selesai dengan aktivitas kami, tiba di markas dan merebahkan diriku dalam kehangatan kamar tidurku, kuilku, tempat dimana segala lelah, penat, imajinasi dan mimpi-mimpiku sementara aku curahkan disana.



    Dari gang Guntur daerah samping Gedung ISI, motorku melaju ke daerah belakang kampus menuju jalan Surya. melewati gapura megah gedung ISI, pintu belakang kampus Hukum UNS, berbelok ke utara dijalan samping Gedung Kecamatan Jerbes, melaju pelan menuju alamat yang sempat diberitahu oleh Nana sebelum kami berkendara. 



    Melaju pelan melewati beberapa rumah, akhirnya motor yang kami kendarai berhenti didepan sebuah rumah bercat warna dominan biru muda berlantai dua. Nana turun dari jok belakang sementara aku mematikan mesin, masih duduk di atas jok motorku. Dengan helm yang masih ia kenakan, ia melihat ke arah plat akrilik hitam bertuliskan angka berwarna emas. Sekali lagi Nana melihat kearah kertas yang ia pegang, berusaha untuk memastikan bahwa rumah itu benar sebagai alamat yang kami tuju.



    “Bener ini kayaknya Luck, Surya 4 Rt. 02 No. 18,” ucapnya kepadaku sambil melepas dan menaruh helm di kaca spion kanan motorku.



    “Temeni masuk yuk Luck,” pintanya kepadaku sambil sesaat merapikan rambut dan baju yang ia kenakan.



    Setelah 2 kali memencet bel yang ada didepan pintu pagar sliding dari besi setinggi hampir 2 meter yang tertutup, seorang wanita paruh baya berumur berkisar 35-40 tahun terlihat keluar dari pintu dalam rumah dan berjalan keluar kearah pintu pagar.



    Sesaat setelah Nana menanyakan perihal mengapa kami datang, wanita tersebut mempersilakan kami masuk untuk berbincang-bincang didalam. 



    Setelah beberapa menit berbincang tentang prosedur dan ketentuan-ketentuan wajar yang berlaku bagi yang hendak kos dirumah tersebut, Nana pun dipersilakan untuk melihat-lihat kondisi ruangan di kos tersebut dengan ditemani oleh sang wanita pemilik rumah, aku hanya duduk menunggu di ruang tamu dengan sesekali mengalihkan rasa bosanku dengan mengutak-atik HP touchsreen milikku.



    Kurang lebih 20 menit lamanya aku menunggu ditempat itu dan terlihat Nana dengan wanita pemilik rumah berjalan turun dari tangga yang menuju lantai diatasnya. Sesaat setelah berpamitan, sang wanita pemilik rumah mengantarkan kami sampai kedepan pintu pagar. 



    Langit mendung yang terlihat semakin pekat menghitam terlihat semakin menyelimuti langit kota Solo siang ini. Baru berkisar pukul 1 siang seolah terlihat bagai sore telah menjelang. 



    Baru beberapa menit melaju dari rumah yang baru saja kami tuju, tanpa pemberitahuan, awan mendung yang mungkin tak mampu lagi menampung air yang dibawanya mulai jatuh dengan rapat dan cepat mengiringi perjalanan kami pulang. Hujan yang datang tiba-tiba tersebut sontak membuat tangan kananku memutar handle gas lebih kencang, agar kami semakin cepat tiba di tempat yang bisa kami pakai buat berteduh, karena aku sama sekali tidak membawa jas hujan dalam tasku.



    Hiruk pikuk orang-orang yang berada dijalan dengan kedatangan hujan yang tiba-tiba turun dengan deras tidak menghilangkan kosentrasiku dalam mengendarai motor agar tetap melaju.



    “Ke kontrakan kamu aja Luck!” ucap Nana sambil sedikit berteriak dari belakang punggungku. Air hujan yang turun begitu terasa keras menyentil permukaan kulit tangan dan bagian belakang leherku.



    Dengan keadaan celana dan baju kami yang sudah mulai basah kuyub, setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya tibalah kami dipintu pagar markasku, dengan cepat Nana turun dan membukanya agar motorku bisa cepat melaju masuk ke area halaman yang tertutup oleh atap dari asbestos. 



    Sepatu, celana jeans, sebagian besar baju dan tasku bayah kuyub, tak jauh beda dengan keadaan Nana sekarang. Selesai memarkir motor dan melepas helm, aku membuka kunci pintu rumah dan menaruh sepatuku di rak yang sudah disediakan dari awal kami menempati rumah ini.



    Markasku dalam keadaan kosong dan pintu terkunci tadi begitu kami masuk, menunjukkan bahwa tidak ada penghuni yang lain yang sedang ada di dalam. Masing-masing dari kami memang membawa duplikat kunci agar kita tak saling bergantung atau meninggalkan kunci ditempat tertentu di luar rumah karena memang itu yang diamanahkan oleh pemilik rumah ini, agar lebih aman alasannya.



    “Aaaah ... busyet deh, basah semua ni badan, untung aja tas guwa sempat guwa taruh tadi didepan biar gak basah,” umpat Nana melihat keadaannya yang basah kuyub manakala memasuki markasku.



    “Yawdah gih dilepas aja biar kamu gak masuk angin,” ucapku menggoda sambil menggulung celana dan berusaha mengamankan dan mengeluarkan barang-barang yang ada dalam tas punggungku yang sudah mulai basah tanpa memperhatikan dan melihat keadaan Nana.



    “Lo ada baju atau kaos yang muat buat aku enggak Luck? sementara buat ganti aja biar gak terlalu berasa dingin nih,” Tanya Nana kepadaku.



    “Bentar ya habis ini aku cariin didalam, tapi kayaknya kalau ukuran kaosku terlalu besar deh kalau ntar kamu pakai, yaa mungkin Cuma bagian depan atas sih yang gak terlalu beda,” godaku ke Nana, sambil aku berjingkat masuk kedalam kamar sambil mencari handuk ataupun kaos serta celana pendek yang muat buat Nana yang sedang berdiri sambil berlari-lari kecil tepat didepan pintu rumah berusaha untuk menyingkirkan rasa dinginnya.



    “Nih handuk, kaos ma celana boxer aku, bersih dan wangi tuh, semuanya total 200ribu,” godaku ke Nana sambil memberikan handuk, kaos warna merah klub sepakbola liga Inggris dari kota Manchester dan sebuah boxer putih bergambar pistol. 



    “Awas lo kalau sampe ngintip guwa,” jawab Nana sambil menerima pemberianku dengan ekspresinya yang seperti biasa, menjulurkan lidah sambil berlari pelan menuju ruang belakang tempat kamar mandi berada.



    “Yee ... berharap banget sih kamu,” jawabku seolah-olah senewen sambil menutup pintu rumah dan mengeringkan bercak air hujan yang sedikit menggenangi lantai ruang tengah dengan kain bekas.



    Selesai menaruh kembali lap dari kain bekas di rak dekat ruang belakang, entah kenapa tiba-tiba terbesit pikiran konyol dari otakku manakala aku berpikir hendak membuat minuman hangat sembari Nana selesai memakai kamar mandi dan melihat beberapa gelas kosong yang mulai dikerubuti semut sisa dari minuman bersoda yang masih tergeletak dimeja samping sofa.

    #Chapter 2 : Do I Have To?


    Terasa seperti ada gejolak batin dalam jiwaku. Pertempuran sengit antara nurani dan sifat purba manusia yang terwariskan dalam ragaku. Suara air hujan yang menghujam atap rumah dan gemuruh guntur bagaikan suara latar pukulan snare drum yang dialunkan bertubi didalam gendang telingaku. Bunyi detak jantung dalam dadaku terdengar keras, seolah melebihi decibel bass drum yang dihentak dalam ruangan kedap suara. Irama guyuran air dari dalam kamar mandi mengalihkan kebekuan otakku, menstimulus pikiranku untuk mengesampingkan nurani dalam jiwaku. Nafsu birahi memenangkan pertempuran batinku.

    Raga dengan jantung yang berdegup kencang melebihi kecepatan normalnya kini seolah bergerak cepat meraih sebuah tas punggung yang setengah basah, dengan tergesa, memeriksa dan berusaha mencari suatu benda yang menjadi salah satu muatannya. Sebuah kardus balok berukuran kecil, dengan nuansa warna oranye yang menyelimuti, dan jemari tangan itu kini telah menggenggamnya, menaruh kembali tas punggung yang masih tebuka dan dengan cepat menyobek serta mengeluarkan isi yang terdapat dalam kardus kecil tersebut. Sebuah botol kecil yang masih terselimuti oleh lapisan bening plastik tipis, yang sekarang sudah berpindah tempat, tersimpan aman masuk didalam sebuah lubang kantong celana jeans yang terlihat basah.

    Raga tersebut kini berbalik arah, melangkah cepat ke arah meja kaca kecil disamping sebuah sofa merah. Dengan cekatan gagang dari tiga buah gelas diambil dengan satu gerakan tangan, melanjutkan langkah menuju ke arah ruang belakang. Gerakan panik semut-semut di gelas yang terkagetkan dan mulai merayap menuju ke jemari tangan seolah terhiraukan. 

    Raga itu seolah terbius, bergerak pasti seakan suatu mantra tengah menguasai, merasuki, memberikannya komando untuk melakukan suatu hal yang dikehendaki. Namun bagaikan tersengat aliran listrik bertegangan tinggi, langkah kaki dari raga itu terhenti, terlihat tersentak, bagaikan menghilangkan mantra yang tengah merasuki. Kesadaran dari sang pemilik raga itu seolah kembali.

    Rasa takut sempat menghinggap dalam benakku, mendapati sesuatu hal yang berada pada penglihatanku, terkaget, bagaikan adegan sebuah film horror dimana tiba-tiba muncul sebuah sosok berada tak jauh dimana kakiku berdiri sekarang. Gelas yang hampir lepas dari genggaman membuatku mengumpulkan kesadaran, menyadari bahwa yang terjadi di hadapanku adalah kenyataan. Bagaikan gerakan motorik tanpa perintah, tanganku menaruh gelas-gelas tersebut pada sebuah tempat dimana indra penglihatanku tidak memperhatikan, namun otakku memberi isyarat bahwa gelas-gelas tersebut aman, dan kakiku perlahan melangkah, ke arah dimana indra penglihatanku tertuju.

    Aku sadari hal yang terjadi bagaikan sebuah dejavu di otakku, seolah membangkitkan kenanganku akan masa lalu. Tubuh berlekuk indah dengan kulit putih mulus yang terlihat mengkilap karena basah itu terekspos dengan jelas dalam penglihatanku, sengaja ia perlihatkan, jauh lebih indah dari fantasi yang sering terlintas di otakku, berdiri bersandar pada sebuah pintu yang terbuka lebar didalam kamar mandi. Detak jantungku merespon, menstimulus aliran darahku untuk mengalir cepat, terpusat, disatu bagian alat reproduksi didalam anatomi tubuhku. Bidadari ini seolah menanti detik demi detik berganti, sengaja, menantikan seseorang melihatnya, dengan pose dan keadaan polos seperti sekarang ini, menantikan langkahku untuk menghampiri, dimana ia berada saat ini. 


    Degup jantungku tak berubah, terasa begitu cepat berdetak, mulutku setengah terbuka berusaha menstabilkan nafas yang dihasilkannya, kelopak mataku serasa enggan berkedip, menikmati pemandangan yang tervisualisasikan jelas bagaikan sebuah efek 3 dimensi. Semakin memperkeras bagian tubuhku yang kini sedang dalam fase ereksi.

    Kedua pasang mata kami kini tertuju, langkahku secara perlahan melaju, jemari-jemari tanganku masing-masing bergerak pelan membersihkan semut-semut yang seolah menggerayangi lenganku, pandangan mataku sama sekali tak teralihkan dimana ia sekarang tertuju. 

    Langkahku berhenti diposisinya sekarang berdiri, tepat berada diluar pintu kamar mandi yang terbuka lebar, dimana makhluk manis ini bersandar berdiri. Jarak hanya selebar kaki memisahkan posisi tubuhku dengan dirinya berdiri saat ini. 

    Sebuah pertanyaan seolah ingin diutarakan oleh nurani dalam jiwaku, sebuah kalimat tanya, yang hanya terdiri dari dua kata ...

    "Haruskah aku?"

    #Chapter 3 : Goddes! Are You Teasing Me?


    Kecamuk dalam hati seolah terjadi kembali dalam batinku, nuraniku seolah memberikan lengannya untuk menarik mundur segala keinginan dari dalam hasratku, hasrat untuk melepaskan sifat liar yang memang diselipkan pada penciptaan manusia, sifat alamiah yang memungkinkan manusia menghasilkan keturunan mereka, mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk ciptaanNya yang paling berkuasa.

    Namun segala pertahanan yang hendak terbangun tersebut dengan segera sirna ... nafsu birahiku berkuasa, ragaku menjadi boneka dari segala keinginannya, hanya dengan sebuah pertanyaan yang terucap dari bibir mungilnya.

    “Kamu kok lama banget sih? guwa hampir menggigil tau’ mempertahankan posisi kayak gini?” ucap Nana lembut dari bibir mungil yang sedikit tersenyum ketika ragaku seolah mematung, menatap heran wajahnya dengan tanpa ekspresi, namun bagian anatomi reproduksiku benar-benar menunjukkan bahwa libidoku sekarang dalam keadaan tinggi.

    Bila dalam keadaan sadarku, responku pasti akan menjawabnya dengan jawaban konyol yang membuat sebuah pukulan mendarat di lenganku. Namun masih dalam keadaan wajahku kaku tanpa ekspresi, tubuh polos itu mendekati, menggerakkan kedua telapak tangannya kearah wajahku, menempelkannya pelan di kedua pipiku. 

    Raut wajah manis yang begitu familiar itu kini mendekat, dengan bongkahan payudara berukuran sedang begitu terasa hangat menekan lembut bagian dadaku. Dengan gerakan yang lembut, tangan itu menundukkan kepalaku, membiarkan bibirku menerima sebuah kecupan lembut dari seseorang yang sering kali muncul dalam fantasi-fantasi liarku. 

    “Guwa gak tau apa yang guwa rasakan ini ama lo ... maaf bilamana hal ini mengubah penilaian lo .. merusak hubungan kita selama ini, dan menjadikan rikuh keseharian kita nantinya ... guwa hanya ingin lo ta ... heEmbh ... ,” kalimat dari bibir Nana terhenti kala lengan kiriku melingkar dipunggungnya, menarik maju tubuhnya dalam dekapku dan tangan kananku memegang bagian belakang rambutnya, kudekatkan wajahnya, bibirku mengulum lembut bibirnya, menghentikan kalimat yang hendak diselesaikannya.


    Ekspresi wajahnya terhenyak saat menerima sergapanku, sebelum akhirnya perlakuanku dibalasnya dengan pelukan erat yang melingkar di punggung dan tengkuk leherku, tangannya bergerak bergantian seolah mengusap bagian belakang tubuhku. Hawa dingin yang kami rasakan seolah teralihkan dengan buaian nafsu yang kini membelenggu, berselimutkan hangat nafas kami yang begitu menggebu.

    Usapan lembut dibagian belakang tubuhku kini berpindah dengan gerakan cekatan jemarinya untuk melepaskan kancing-kancing kemeja yang masih membungkus ragaku, hanya dalam hitungan sekian detik, ia berhasil melepasnya, berusaha mengenyahkannya jauh dari tubuhku.

    Raga kami kian terasa hangat ketika lengannya kembali melingkar dileherku, kohesi kulit kami seolah menghasilkan energi panas yang semakin mengangkat tinggi libido kami. Usapan tanganku dipunggungnya kini bergerak turun ke arah pantatnya, meremas pelan bongkahan kenyal itu dan sesekali mengusap lembut, menelusup masuk dibelahannya.

    “MmmhHhh ...” lenguhan yang seolah tertahan dibibirnya mengalirkan lembut hembusan udara dari lubang hidungnya, menerpa pelan, hangat menjalar disekitar kulit wajahku.

    “Ssssss ... oOoohhh ...” bibirnya terlepas dari mulutku, mengeluarkan rintihan erotis dengan matanya menatap sayu ke arahku. Jemari kananku menelusup, mengusap pelan labianya dari belakang, yang terasa basah namun hangat oleh cairan kenikmatan yang mulai melumasinya.

    Hal yang terjadi berikutnya seolah mencabut keluar roh yang berada dalam ragaku. Kedua tangannya tiba-tiba mendorong mundur tubuhku, melepaskan belaian kedua tanganku dari tubuhnya. Sambil tersenyum menggoda ia berjalan mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berpaling, berjalan pelan menuju bagian belakang pintu kamar mandi, mengambil baju serta handuk dari gantungan baju yang ada disana.


    Otakku seolah belum bisa mencerna apa yang dilakukannya, tubuhku masih terpaku, dengan posisi yang masih sama ketika Nana mendorongku, hanya kedua bola mataku yang terasa bebas bergerak memperhatikan apa yang dilakukannya. Birahi yang ada dalam diriku seolah teredam ketika ia mengenakan kaos merah kostum sepakbola yang aku sempat berikan kepadanya, menutupi seluruh bagian atas tubuhnya hingga separuh pahanya, berjalan pelan menghampiriku, pinggul dan tangannnya melenggang indah bagaikan seekor cheetah sedang melangkah, melingkarkan handuk biru di leherku, melenggok manja berlalu dihadapanku, menjauh dari tempatku berdiri terpaku.

    “Goddes ... are you teasing me?” Batinku seolah mengumpat akan apa yang baru saja terjadi.

    #Chapter 3.2 : Goddes! Are You Teasing Me? (continued)

    Hanya bagian kepala dan leherku yang seolah melumer dari keseluruhan ragaku yang terpaku, bergerak mengikuti lenggokan manja Nana yang melangkah pelan hendak keluar dari ruang belakang. Langkahnya berhenti di ambang pintu, dengan gerakan manjanya ia menoleh ke arahku, mengangkat pelan jari telunjuknya yang ia tujukan ke arah celana jeansku dan kemudian menggerakkan pelan jari telunjuknya kebawah, yang seolah memberikan instruksi kepadaku untuk melepas celana itu turun dari kakiku, sesaat berikutnya, jemari tangannya terbuka, diliukkannya keempat jarinya seperti gaya khas Bruce Lee hendak menantang musuhnya, namun dalam gerak yang pelan dan terlihat manja. Nana pun melangkah keluar dari ruang belakang, menghilang dari pandangan.



    Tubuhku yang terpaku kini seolah terbebas dari mantra yang mengurungnya, dengan sigap gerakan motorik tanganku melepas ikatan gesper yang melilit pinggangku, membuka kait dan menurunkan underwear serta celana jeans yang terasa lebih berat ketika kuangkat dan kutaruh di tempat cucian karena basah oleh resapan air hujan. Handuk yang melingkar di leher aku rentang dan lingkarkan untuk menutupi bagian bawah tubuhku, kucoba ikuti langkah Nana, ke arah mana ia menuju.



    Kakiku melangkah cepat keluar dari ruang belakang, menatap segala arah di ruang tengah, pintu depan masih tertutup rapat, hujan yang turun masih terlihat cukup lebat dari jendela kaca, namun tak kudapati sosok yang aku cari. Kepalaku menoleh ke samping kanan, mendapati pintu kamarku yang kini terbuka setengah, senyum diwajahku seolah menyeringai, bagai seekor predator yang mendapatkan kembali jejak mangsa yang ia kehendaki.



    Langkahku memasuki kamarku perlahan, mendapatkan sosok yang aku cari sedang berdiri bersandarkan pada samping lemari yang ada didalam ruang keramatku ini, senyuman yang menghias wajah manis itu seolah memanggilku untuk mendekati, memancing kembali hasrat biologisku kembali ke tingkat tertinggi. 



    Tubuh kami sekarang berhadapan, berjarak mungkin hanya satu jengkal jari tangan, tubuh telanjang dadaku seolah tak bisa menyembunyikan detak jantung yg berdegup kencang didalamnya. Tak ada kalimat yang terucap dari kami, hanya gerakan mata dan senyum dibibir yang saling berinteraksi. Aku mengambil inisiatif untuk segera memulai suatu aktivitas yang kami kehendaki, kedua tanganku melingkar di pinggang belakangnya, menariknya lembut ke dalam dekapanku. Ciumanku segera menyerbu, area lehernya menjadi tujuan pertama seranganku, desahan nafasnya mengiringi gerakan bibir dan lidahku yang menjelajahi permukaan kulit lehernya.


    Kedua tangannya yang semula bersandar di dadaku kini mulai menggerayangi pinggang dan bagian belakang tubuhku. Kepalanya yang berputar pelan mengeliat seiring cumbuanku di bagian lehernya, secara spontan terhenti, jatuh bersandar pada pundakku ketika tanganku tiba-tiba mencengkeram keras kedua bongkahan pantatnya, mengangkat sebatas pinggang kostum sepakbola yang dikenakannya, dengan jemari tangan kiriku masih menahan gerakan tersebut, telunjuk dan jari tengah kananku mulai menelusup, bergerak lembut mengusap kedua lubang sensitif itu yang saling berdekatan letaknya. 



    Desahan erotis dari bibir Nana semakin menstimulus birahiku, gigitan kecilnya di bagian leherku aku rasakan sebagai suatu sensasi tersendiri ketika jemari tanganku kini merasakan kehangatan dari lendir yang mulai terasa membasahi vaginanya, tatapan sayu dengan lenguhan dari bibir bawah yang digigitnya semakin memacu tinggi birahiku. Aku lingkarkan erat kedua tanganku memeluk pinggangnya, aku dekap dan kubawa beberapa langkah hingga kami terjatuh di atas permukaan empuk kasurku dengan posisiku kini terlentang berada dibawah tubuhnya. 



    Masih tak ada kalimat yang terucap dari kita berdua, dalam keadaan terlentangku, Nana memposisikan tubuhnya terduduk mengangkang di atas pahaku, menindih di penisku yang sudah dalam keadaan ereksi dan masih tertutup handuk, tubuhnya sedikit menunduk, kedua jemari tangannya menekan permukaan dada bidangku, wajahnya mendekatiku, senyuman nakalnya menggodaku, benar-benar seringai termanis yang pernah kulihat dalam hidupku. 



    Wajahnya perlahan ia dekatkan ke wajahku, begitu dekat hingga bibirku memposisikan untuk segera menciumnya, namun mendadak Nana memposisikan tegak punggungnya, menjauhkan bibirnya dari wajahku, meninggalkan ekspresi lucu yang mungkin terlihat olehnya, senyum nakalnya kembali terbuka, seolah puas dengan apa yang telah diperbuatnya.



    Dengan gigitan lembut dibibir bawahnya, ekspresi wajahnya begitu terlihat nakal di mataku, senyumannya yang menggoda semakin terlihat ketika kedua tangannya saling bersilang menggenggam ujung bawah kostum sepakbola yang masih menutupi tubuh atasnya, dengan tubuhnya yang meliuk-liuk manja, ditariknya keatas kostum sepakbola itu perlahan, lingkar bagian bawah kedua payudara dan sebagian putingnya mulai terlihat, namun tiba-tiba ia melepaskan genggaman jarinya dari kaos itu, kembali membuatnya terjatuh menutup bagian atas tubuhnya yang tadi sempat terbuka. Sambil tertawa Nana kembali merebahkan tubuhnya kedadaku, tangannya mengusap rambut dan pipiku, mencumbu lembut bibirku dengan getaran tubuhnya yang menggigil menahan tawa jelas terlihat olehku.


    Rasa gemasku akan perbuatannya benar-benar menimbulkan sensasi tersendiri dari percumbuan yang tengah kami lakukan, sungguh terasa jauh berbeda dari pengalaman-pengalaman selama ini ketika bercumbu dengan beberapa wanita yang pernah aku taklukkan.



    “Aina Aulia! Hentikan kekejamanmu terhadapku atau akan aku berikan tindakan tegas!” sambil tertawa kalimat tersebut terucap lembut olehku ketika aku lihat, sambil tersenyum menggoda Nana menggesek-gesekkan ujung hidungnya di hidungku yang kemudian dengan tawa tertahannya yang masih terlihat, Nana mengulum lembut bibirku dengan kedua jemari tangannya meremas pelan kedua permukaan dadaku. 



    “Dasar Nonong ... kamu benar-benar kejam!” batinku memuji dalam hati menikmati perlakuan Nana akan ragaku kini. 

    #Chapter 3.3 : Goddes! Are You Teasing Me? (Continued onces more)


    Seketika kedua tanganku yang semula memeluk punggung Nana aku cengkeramkan lembut pada kedua bahunya, dengan sedikit tenagaku kudorong pelan tubuhnya, membalikkan badannya sehingga kini posisi tubuhnya berganti berada dibawahku. Gerakan berputarku yang tergesa membuat ikatan handuk yang melingkar dibagian bawah tubuhku terlepas, terjatuh pelan dari pinggangku terurai diatas permukaan kasur. Penisku yang daritadi tersembunyi, kini terlihat begitu bebas menggelantung, seolah mengacung dalam fase ereksi yang tengah dialami.

    Dengan gerakan mata yang terlihat sempat melihat ke arah penisku, ekspresi wajah Nana sekilas terkagum sebelum kemudian menggodaku dengan senyumannya yang berakting seolah ketakutan, menyilangkan kedua tangan menutupi bagian dadanya, pinggangya meliuk-liuk seperti adegan di film-film yang memperlihatkan seorang gadis berusaha berontak ketika hendak diperkosa, sebelum akhirnya tawa lepasnya tertahan dengan kedua jemari tangan menutupi wajahnya.

    Gemas dengan tingkah lakunya, aku posisikan tubuhku menindihnya, kedua jemari tanganku segera berusaha mengangkat kaos M.U itu lepas dari tubuhnya, kedua tangannya diangkatnya lurus diatas kepala, seiring dengan kain kaos yang mulai terangkat melewati kepala dan terlepas dari ujung tangannya.

    Tubuh polos terlentang dengan tangan lurus ke atas tersebut begitu mempesonaku, tangannya yang sempat bergerak pelan menyilang menutupi bongkahan payudaranya aku buka perlahan, kembali kuposisikan terangkat seperti sedia kala. Bibirnya mulai kucumbu, bergerak pelan menyusuri area wajah, telinga dan dilehernya. Desahan-desahannya kembali terdengar tatkala kedua tanganku mulai meremas lembut payudaranya, ibu jari dan telunjukku memilin dan menarik-narik putingnya, kuluman bibirku menggantikannya, kedua tanganku mulai bergerak turun dari pinggang ke paha luarnya.

    Desahan dari bibirnya seolah keluar bebas, tanpa bibirku yang menahan menciuminya, bibirku bergerak turun, kucium dan kujilat-jilat sesaat perut dan pusarnya, gerakan mengeliat dari pinggang Nana seolah tak bisa menahan sensasi yang dirasakannya, ciumanku semakin turun, rambut tipis dari kemaluannya memperlihatkan bahwa Nana rajin untuk mencukur dan merawatnya. Ciumanku terhenti sesaat, detak jantungku berdetak cepat tatkala untuk pertama kalinya, di kedua matakau, vagina Nana yang basah, terlihat begitu merah mengembung, dengan bulu-bulu tipis nan terbentuk rapi yang seolah hanya berada di atas bagian vaginanya.

    Mataku sempat melihat Ekspresi Nana dari belahan gundukan diantara payudaranya, tersipu saat menatapku sedang dalam posisi badan sedikit membungkuk, dengan kepala tepat berada di atas selangakangannya yang terbuka. Nafasnya yang tersengal terlihat dari payudaranya yang naik turun seiring dengan mengembang dan mengempis rongga dadanya.

    “Eeehhmmmm ...” desahannya seolah ia tahan dengan bibirnya yang tertutup rapat saat lidahku mulai menjilat lipatan basah gundukan labianya, ibu jari tangan kananku memainkan bulatan kecil klitorisnya, pinggangnya menggeliat mengiringi setiap gerakan lidahku, jemari tangan kiriku masih meremas lembut dan memainkan puting payudaranya.

    Selang beberapa menit setelahnya, kedua tangannya meraih kedua sisi pipiku, seolah berusaha menarik kepalaku untuk bergerak keatas, tubuhku seolah terhipnotis mengikuti instruksi Nana, dengan tangan kananku yang masih bermain dilipatan basah vaginanya, bibirku membalas ciuman mesra darinya.


    Nana kemudian mendorong tubuhku, berbalik hingga kini posisiku ada dibawahnya, tanganku terlentang di kedua sisi ketika ciumannya dari leher merambat pelan, turun ke area dada, beberapa lama bergantian mengulum kedua putingku disana, bermain-main dengan lidahnya, hingga akhirnya sampai di area selangkanganku yang terbuka.

    Dengan sedikit mengangkat punggungku, aku bersandar pada kedua siku tanganku, kulihat segala gerakan yang dilakukan Nana, sambil tersenyum melihatku, dipegangnya batang penisku yang sudah menegang sedemikian rupa dengan jemari kanannya, jemari kirinya membenahi helai poni rambut yang terurai jatuh menutupi pipi wajahnya, ia selipkan di atas ujung telinga kirinya. 

    “Haloo ... Namamu ciapaa? ... Elo lucyuu bangeett ciiiih ... tau aja kalo lagi didepannya cewek cakep, sampai ngiler-ngiler gitu iiih bibirnyaa ... uluuh .... uluuuh, gak kalah ganteng en macho deh ternyata ama yang punya,” ucap Nana yang spontan membuat kepalaku rebah kembali diatas bantal dengan tawa yang tercipta dari mulutku, ketika dengan gaya bicara kekanakannya ia memegang penisku dan mengelus-elus ujungnya dengan telunjuk jari Nana.

    “Diem aja yaa ... gak boleh nakal lhoo ,ntar ... kalo nurut ntar gak guwa sentil ... ok!?” sambungnya kembali dengan gaya seolah sedang menasehati anak kecil.

    “Aaaghhh ... “ bibirku secara refleks mengekspresikan sensasi yang dirasakan di penisku, terasa hangat di ujungnya, dengan usapan-usapan lembut dari jilatan lidah Nana didalam rongga mulutnya, jemari tangannya mulai mengocok pelan batang penisku, hingga beberapa saat, kulumannya bergerak semakin bawah seolah ingin menelan keseluruhan penisku hingga ke dasar batangnya.

    Jemari kirinya memijat pelan kedua zakarku, dengan kuluman serta jilatan selalu menyertai batang serta ujungnya. Nana sempat seolah tersedak manakala ia mencoba untuk memasukkan penuh keseluruhan batang penisku. Dengan sempat mengatur kembali nafasnya, ia kembali mengulumnya.

    Birahi yang aku rasakan semakin menggelora, aku mengangkat kembali punggungku, bersandar dengan kedua tanganku lurus menopang, sambil menahan tawa aku angkat kedua betis kakiku, melingkarkanya dibelakang tubuh Nana, menekannya maju hingga tubuh Nana tersungkur jatuh kedepan, benar-benar menempel di selangkanganku. Cubitan kecil dan cengkeraman keras di batang penisku menjadi ganjaran tindakan yang aku lakukan.

    Birahi yang aku rasakan semakin tak tertahankan, dengan lembut tanganku meraih kedua ujung lengan tepat di kedua ketiaknya, sempat memberontak perlahan karena geli, Nana aku tarik pelan keatas dan aku balikkan posisinya hingga kembali kini ia terlentang dibawah tubuhku, kedua kakinya aku buka lebar, betis kanannya aku angkat dan ku sandarkan di bahu kananku. Tangan kiriku memegang batang penisku, mendekatkan ujungnya ke labia vagina Nana yang sudah benar-benar basah. Aku gesekkan pelan, sebelum akhirnya kutekan lembut ditengah-tengah lipatannya.

    Kulihat nafas Nana begitu menggebu, bibir bawah yang digigitnya menahan setiap suara desahannya yang sudah dilanda nafsu, tatapan sayu matanya tertuju kearah wajahku, kedua tangannya meremas lembut sendiri kedua bongkah payudaranya, seolah siap menantikan gerakanku selanjutnya.

    #Chapter 4 : The Intercourse


    Tak ada kalimat terucap ketika aku hendak memulainya, pelan tapi pasti aku mulai mendorong ujung penisku, millimeter demi millimeter semakin bertambah maju di dalam liang vaginanya. Terasa licin dan hangat, walau aku rasakan penisku bergerak lancar semakin dalam, namun dinding-dinding dalamnya menghimpit begitu rapat. Hingga akhirnya aku mendorong punggungku sedikit kuat, dan seluruh bagian penisku masuk seluruhnya hingga membentur dinding rahim Nana. Sama sekali tak kurasakan selaput dara yang terkoyak oleh penisku. Dari bebrapa pengalamanku berhubungan seks, alam bawah sadarku mengatakan, bahwa Nana telah kehilangan keperawanannya sebelumnya. 

    Pikiranku tak menghiraukan hal itu, bagiku, masa lalu seseorang yang menjadi pasangan kita adalah bagian dari kehidupan mereka, aku tidak akan bersikap sok suci, seperti sebagian laki-laki yang menganggap seorang wanita menjadi hina bilamana memang ia telah kehilangan mahkotanya sebelum berhubungan badan dengan kita, karena tanpa munafik, bilamana kita juga memiliki ciri tertentu apabila kita telah kehilangan keperjakaan, sebagian kaum wanita pasti juga akan memiliki pemikiran yang sama seperti kita, menganggap kita hina.

    “UuuUUuugh ... ” gerakan Nana menggigit ujung jari telunjuknya tetap tak bisa menahan suara rintihan yang keluar dari mulutnya. Liukan tubuhnya mengiringi penisku yang mulai kutarik dan kudorong pelan, bibir vaginanya yang menggembung dan mengempis turut menyertai setiap gerakan maju-mundur penisku yang keluar masuk memompa vaginanya. Sesekali variasi sodokan keras penisku yang menghujam dalam hingga dinding rahimnya membuatnya mengerang dalam sensasi kenikmatan. Sesaat kemudian tubuh Nana seolah tersengat, mulutnya mendesah panjang, badannya menegang dengan kedua tangannya terangkat keatas menarik dan mengacak-acak sendiri rambutnya, dinding vaginanya terasa menjepit erat penisku, dengan cairan hangat yang begitu terasa mengalir menyelimutinya. 

    Aku membiarkan penisku terdiam sebentar didalam vaginanya, memberikan Nana waktu untuk kembali mengatur nafasnya, keringat mulai membasahi kulit tubuh kami berdua, dengan hujan yang sudah mulai reda.

    Sesaat setelah memulai kembali gerakan maju mundur penisku memompa keluar masuk vaginanya, posisi kami kini berganti dengan tubuh Nana diatas tubuhku, duduk mengangkang dengan bergerak naik-turun mengocok penisku didalam vaginanya, sesekali membenamkan seluruh batang penisku, meliuk-liukan pinggangnya memberi sensasi luar biasa. Desahan dan rintihannya memenuhi penjuru kamarku kala tanganku bergerak, meremas lembut sesekali mencengkeram kedua bongkahan payudaranya.

    Hingga untuk kedua kalinya tubuh Nana terkaku, menegang dengan dada dibusungkan semakin menekan bongkahan payudaranya di kedua cengkeraman telapak tanganku. Tubuhnya terkulai lemas merebah diatas dadaku. Dengan penisku masih menancap di dalam liang vaginanya, bibirku mencium mesra kening dan rambutnya yang mulai basah oleh keringat. Tanganku mengusap lembut rambut dikepalanya, sebelum kemudian mencengkeram erat kedua bongkahan pantatnya dan menggerakkan cepat penisku maju mundur memompa vaginanya.

    Desahan dan rintihan Nana yang cepat mengiringi gerakan penisku, kepalanya hanya terkulai lemas dengan wajahnya menempel menekan bagian pipiku, suara rintihan dari mulutnya terdengar sangat jelas ditelingaku, hingga akhirnya aku mendorongnya, mencabut penisku dari dalam vaginanya, memposisikan tubuhnya yang tengkurap dan menarik pinggangnya keatas hingga menungging. 

    Dari bagian belakang tubuh Nana yang sudah cukup basah oleh keringat, aku melihat sebuah tato dibagian bawah punggungnya, sebuah bentuk barcode dengan deret angka inisial suatu tanggal tergambar di kulitnya. Dengan kepala Nana yang terkulai lemas bersandarkan pada bantal, aku mengusap permukaan kulit bergambar tato kecil berukuran kira-kira 5 x 3 cm itu, merasakan bahwa tato yang menghias kulitnya itu permanen, tercetak disana selamanya. Nana hanya melirik ke arahku, dengan tatapan mata sayu kelelahan yang sedikit tertutup rambut acak-ackan, bibirnya tersenyum merasakan gerakan usapan tanganku. 

    Setelah beberapa menit memompa penisku didalam vaginanya dari belakang, aku mulai merasa diambang batas bahwa cairan semen didalam penisku ingin segera dikeluarkan, aku memberitahukan kepada Nana bahwa aku merasa akan segera keluar.

    “UuUhhh ... keluarinhh ... didahlaam ajaah Luckhh ... aaahhh... guwa lagiih amaan kok ... uUuuh ... aaAaahh,” ucap Nana tersengal diantara desahan yang keluar dari mulutnya.

    Akhirnya penisku pun tak kuasa membendung muatan cairan yang ingin segera dikeluarkan, hentakan keras punggungku menghujam dalam vaginanya, tanganku mencengkeram keras kedua bongkahan pantat Nana, penisku menyemprotkan berjuta sel kehidupan didalam dinding rahim vagina Nana. Teriakan Nana yang tertahan dengan giginya yang menggigit kain bantal tempat kepalanya bersandar sedikit meredam kerasnya suara yang dihasilkan. Beberapa kali tubuhku mengejan dengan menuntaskan semprotan spremaku didalam vagina Nana dari belakang hingga tuntas. Tubuhkupun membungkuk, kepalaku menciumi punggung atas Nana yang basah, nafas kami berdua sama-sama terengah. Sebelum akhirnya kedua badan kami merebah, dengan posisiku memeluk tubuh Nana dari belakang. Bagian tengkuk dan basah rambut bagian belakangnya aku kecup lembut, dengan tanganku mendekap erat payudaranya diikuti dengan kedua tangan Nana yang mendekap erat kedua tanganku. Penisku yang semula masih menancap di dalam vaginanya kini mulai terlepas ketika penisku mulai terkulai lemas. Vaginanya mulai terlihat mengeluarkan beberapa cairan spermaku yang tak mampu ditampung didalamnya. Mengalir menuruni pantat dan jatuh diatas kain sprei kasurku. Kami berdua hanya terdiam, mengatur kembali nafas, dengan senyuman yang sama-sama menghias wajah kami.

    #Chapter 5 : Electrified


    Dengan tubuh polos Nana berada erat didalam dekapanku, suatu hal berbeda mulai aku rasakan dari dalam lubuk hatiku. Suatu perasaan yang hangat, menyeruak hingga seolah membuat ragaku ingin selalu mendekap sosok didepanku ini kian erat. Bukan sekedar perasan simpatik, terasa lebih unik, membuatku selalu ingin melindungi sosok yang berada dalam dekapanku saat ini. Bibirku hanya bisa tersenyum, kemudian kembali mengecup lembut tengkuk lehernya, membenamkan wajahku disela-sela helai rambutnya. Begitu nyaman perasaan yang kini aku rasa.

    “Na ... Aku baru tahu kalau ternyata kamu punya tato,” ucapku pelan dengan hidung dan mulutku masih berada di belakang tengkuk lehernya.
    “Oiya? ... Guwa juga baru tau Luck ternyata kalo lagi ereksi penis kamu rada bengkok ke kiri ...” jawab Nana dengan punggungnya yang terasa bergetar pertanda bahwa ia sedang tertawa. 

    Aku hanya tersenyum dan mencium tengkuk lehernya mendengar jawaban yang terucap darinya, Nana kemudian berbalik kearahku, wajahnya berhadap-hadapan sangat dekat denganku, ia memposisikan lenganku menjadi sandaran kepalanya, dan jemari tangannya mengusap-usap lembut permukaan dadaku.

    “Kumis lo tu berasa geli tauk?!” gayanya manja seolah protes terhadapku.

    “Jujur ... berapa cewek yang pernah elo tidurin Luck sebelum guwa?” Tanya Nana dengan jemarinya masih mengelus-elus dadaku.

    “Ada pilihan jawabannya enggak nih pertanyaannya?” jawabku asal dengan ganjaran cubitan kecil di puting kiriku.

    “Mau aku cubit lagi?”

    “Tiga ... tiga ... tiga cewek,” jawabku dengan tangan kiriku mengusap puting dadaku.

    “Guwa kenal kagak?”

    “Enggak ...”

    “Owh ... Yawdah ... “ sambung Nana dengan sesaat kulihat matanya menatap gerakan tangannya yang sedang mengelus dadaku, namun pandangannya menerawang kosong seolah sedang melamun.”

    “Na ... “

    “Yaa? ...”jawabnya seolah menyadarkan ia dari lamunannya.

    “Kalau kamu gak keberatan, boleh aku tau arti tato di punggungmu nggak?”

    Keadaan hening sejenak, hanya sempat kulihat senyum simpul dari bibir Nana. Matanya terlihat sayu, seolah pikirannya sedang mengingat masa lalu.

    “Kagak ada pilihan jawaban A, B, C, D nya ya Luck?” jawabnya bercanda, dengan diikuti gerakan tangannya bergerak cepat menutupi kedua payudaranya, dan tawa menggoda terlihat dari bibirnya.

    “Dasar Nonong!” ucapku sambil mencubit mesra ujung hidungnya.

    “Itu tato yang guwa buat dengan pacar guwa kira-kira 3 tahun yang lalu, dia juga membuat tato yang sama di punggungnya, angka yang ada dibawahnya itu adalah tanggal dimana guwa kehilangan keperawanan gua ama dia, juga merupakan pengalaman yang pertama kali bagi dia,” ucap Nana dengan pandangan mata yang kembali kosong, hingga akhirnya senyum manis terlihat muncul di bibirnya setelah menjelaskannya.

    “Sebuah pengalaman yang benar-benar jauh berbeda dengan apa yang guwa alami barusan ama elo Luck pastinya,” sambungnya.

    Aku hanya bisa tersenyum dengan mengusap lembut rambut samping diatas telinganya, menghargai apa yang baru saja kami lakukan, dengan tatapan simpatik akan kejujuran yang ia utarakan, jauh berbeda dariku, yang tidak mampu untuk mengatakan kepadanya bahwa aku baru saja memperawani seorang cewek hanya berselang dua hari yang lalu.


    “Guwa punya rencana, kayaknya guwa bakal bikin tato lagi yang sama di bagian bawah puser guwa. Pokoknya sejajar lurus dengan tato yang ada sebelumnya, dengan tanggal sekarang ini ntar tatonya.” 

    “Hah? ... Kenapa kamu ingin buat tato lagi Na?” tanyaku penasaran dengan apa yang diutarakannya.

    “Karena ntar tato itu sebagai prasasti bagi guwa, kalo pada tanggal ini ... ” kalimat Nana terhenti sejenak, ia bangun dari posisi rebahnya, dan duduk dengan menyilangkan kedua kakinya seperti sedang bersila, bibirnya tersenyum dengan tertutup rapat, seolah kalimat berikutnya enggan ia lanjutkan. 

    “... guwa pertama kalinya melakukan seks dengan seorang cowok,” sambung Nana melanjutkan penjelasannya dengan disertai sebuah senyuman dan tatapan serius ke arah mataku, yang tak bisa aku artikan makna ekspresi wajahnya itu.

    “Ini pertama kalinya Nana melakukan seks dengan cowok?! .... “ Otakku berusaha mencerna perkataan dan mencari kesimpulan dari pernyataan yang baru saja Nana buat. Mataku memicing ketika jawaban dari pernyataanya terkuak di otakku. 

    “Pacar guwa yang dulu namanya Karin, temen cewek guwa dari jaman guwa waktu masih SMA di Jakarta...”

    Sebuah pernyataan dari Nana yang benar-benar bagaikan gelombang suara beraliran decibel rendah namun begitu menyengat seolah mengandung aliran listrik yang membekukan dan menghentikan sel-sel otak didalam kepalaku.


    Aroma wangi tubuhnya yang semakin tercium di hidungku akhirnya seolah memberi instruksi ke otakku untuk memberanikan diri menggerakkan tangan kiriku yang sedari tadi hanya terdiam dibagian bawah tubuh polosnya, terkulai bebas diantara kedua lutut kakinya yang sedang dalam posisi sedikit menungging menciumi dada bidangku. Aku angkat tanganku keatas disela-sela selangkangan pahanya, jemari tanganku pun mencengkeram bongkahan pantat kanannya, desahan lirih yang terucap dari bibirnya mengiringi ketika aku mempererat cengkeraman jariku. Saat kedua tangannya masih meraba bagian dada dan dan leherku, kedua tangan lain yang daritadi mengocok batang penis dan memijit lembut buah zakarku tiba-tiba terhenti, kedua gadis ini seolah memberikan kode tertentu satu sama lain, senyuman simpul kemudian terlihat dari kedua wajah cantik mereka, sebuah seringai manis yang menimbulkan tanda tanya di benakku.

    Bersambung

    0 komentar

  • Online

    Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Forum Bersama Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan