- Home>
- Cerita Fantasi >
- LORO BRONTO NANDANG CIDRO PART XII
Posted by : Jeni Ratna Sari
5 Jan 2013
Chapter XII
KUBANGAN BIMBANG
KUBANGAN BIMBANG
>>Baca Kisah Sebelumnya>>
Siluet merah senja mengantarkan sang surya terbenam tenggelam di selimut malam. Rasa hati resah gelisah tak menentu penuh keluh kesah tanpa arah. Kesedihanku semakin dalam, luka hatiku semakin menganga lebar terpuruk dalam. Kebimbangan akan hati dan cinta semakin memperdalam luka parah.
Apa yang harus aku lakukan
Adakah jalan menuju terang bulan
Ke manakah aku harus berlabuh
Ataukah selamanya harus terombang ambing dalam keluh
Aku terjebak di antara cinta dan logika
Terpuruk dalam ilusi dan nyata
Terbenani jiwa raga menderita
sukma menjerit hati merana
Adakah jalan menuju terang bulan
Ke manakah aku harus berlabuh
Ataukah selamanya harus terombang ambing dalam keluh
Aku terjebak di antara cinta dan logika
Terpuruk dalam ilusi dan nyata
Terbenani jiwa raga menderita
sukma menjerit hati merana
Kebimbangan hati ini semakin tak mampu aku kuasai. Tak ada tempat bagiku untuk mengadu sekedar berkeluh kesah. Hanya mereka para sahabat karib lah satu satunya tempatku untuk mengungkapkan duka lara dan bimbang hatiku.
"huuff... selamat sore mamen mabrada and masista..."
"apa kabar kalian sore ini...." Sapaku ramah kepada mereka saat akan memberi mereka pakan.
"mbeeeek...." Balas salam sang kambing dengan ramahnya.
"moooah...." Sambung sang sapi yang juga tak kalah ramahnya.
Mereka merekalah dia makhluk terjujur di dunia ini. Jalan hidup mereka begitu suci tanpa kepalsuan. Kejujuran mereka tulus tanpa perlu permainan peran watak.
"mbing... pi... Pardi lagi galau ni kawan..."
"baiknya Pardi harus gimana ya...?" Kataku mencoba berkomunikasi dengan mereka. Siapa tau mereka bisa memberikan jawaban paling jujur dan terbaik atas masalah hati yang sedang aku alami ini.
"mbeeek.... moooah..." Sura riuh mereka seakan menjawab pertanyaanku itu. Aku tersenyum mendengar respon ramah dari mereka itu.
Tenyata perkiraanku salah. Ternyata mereka riuh bukan menjawab atau memberikan solusi akan permasalahanku. Ternyata sepasang di antara mereka sedang sibuk mengayuh biduk birahi dengan di iringi riuh ramai teman temannya yang sepertinya juga meminta jatah.
"jebraaagh...!" Ku gebarak pintu kandang mereka karena kesal melihat mereka malah berbuat mesum di atas penderitaanku.
"hwasyu... dancok ane..." Umpatku kesal sambil pergi meninggalkan mereka yang sedang sibuk buah membuahi.
Aku berjalan menuju ke kamarku. Sebentar aku mengambil handuk dan pakaian ganti, kemudian langsung keluar kembali menuju ke kamar mandi untuk mandi sore.
"Pardi...." Panggil Ndoro Putri saat aku melintas di dapur hendak menuju ke kamar mandi.
"enggih Ndoro... wonten nopo...?"
("iya Ndoro... ada apa...?") Jawabku sopan dengan menundukkan wajah dan menghadap beliau.
"mengko bar maghrib wakilono Ndoromu slametan neng mae mbah Gito..."
("nanti selepas maghrib kamu wakilin Ndoromu selamatan di rumah mah Gito...") Perintah Ndoro Putri sambil beranjak masuk ke ruang tengah sambil membawa segelas air minum.
"enggih Ndoro..." Jawabku pelan kemudian kembali melangkah menuju ke kamar mandi.
Nasib sial sepertinya masih betah bercengkrama denganku. Di depan kamar mandi aku berpapasan dengan Non Ega yang baru keluar dari dalam kamar mandi. Kembali tersungging senyum khas ala anak setan yang membuatku selalu merinding setiap kali melihatnya.
"haiyah.... duancok ane..." Umpatku dalam hati karena harus bertemu Non Ega dan tak sempat lagi untuk menghindar.
"heh kampret... jangan lupa...."
"batas terakhir besok siang... ingat itu..." Kata Non Ega sambil menarik handuk yang aku kalungkan di leherku. Gayanya persis seperti preman pasar yang sedang memalak para pedagang.
Tak ku jawab kata katanya itu. Ku kibaskan tangannya yang menarik handukku dan aku langsung masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi aku kembali sejenak merenung. Masih renungan tentang pilihan di antara hati dan logika yang sesak memenuhi ruang renunganku.
Selepas maghrib aku pergi ke rumah mbak Gito untuk menghadiri selamatan sebagaimana perintah Ndoro Putri. Ternyata mbah Gito mengadakan selamatan metri anaknya yang sedang merantau ke Malaysia.
("nak... harganya diri dari jiwa, bukan dari rupa ataupun busanan...") Kata mbah warso tiba tiba saat membagikan berkat kenduri kepadaku.
Mendengar perkataan mbah Warso itu aku hanya tersenyum simpul. Walaupun singkat dan tak jelas arah tujuan dari perkataan itu, tapi aku dapat menangkap sebersit makna mendalam dari situ.
Mungkin maksud dari mbah Warso itu bahwa manjadi manusia jangan hanya mengejar dunia yang beliu lambangkan sebagai rupo lan busono. Sesibuk atau serumit apapun hidup kita, jangan pernah kita lupa berserah kepadaNya yang maha kuasa, yang beliau lambangkan sebagai jiwo.
Ini adalah sentilan buat kita semua
Hidup ini tak hanya masalah dunia semata
Paribasane menungso neng ndonyo iki mung mampir ngumbe
(Peribahasanya manusia di dunia ini cuma mampir minum)
Mungkin benar kita kurang berserah kepadaNya
Bukankah semesta ini adalah kuasaNya
Maka hanya kepadaNya lah aku meminta
Seyogyanya lah kita bersujud bersimpuh di hadapanNya
Memohon ampunan atas dosa dosa kita
Sejati hanya Dia lah pemilik hidup para umatnya
Di kuasaNya lah segala keajaiban rahasiaNya
Tak ada cobaan yang melampaui batas kemampuan kita
Tak ada rahasiaNya tanpa hikmah terkandung di dalamnya
*Rugi ndonyo ora dadi opo
Rugi akhirat bakal ciloko
Hidup ini tak hanya masalah dunia semata
Paribasane menungso neng ndonyo iki mung mampir ngumbe
(Peribahasanya manusia di dunia ini cuma mampir minum)
Mungkin benar kita kurang berserah kepadaNya
Bukankah semesta ini adalah kuasaNya
Maka hanya kepadaNya lah aku meminta
Seyogyanya lah kita bersujud bersimpuh di hadapanNya
Memohon ampunan atas dosa dosa kita
Sejati hanya Dia lah pemilik hidup para umatnya
Di kuasaNya lah segala keajaiban rahasiaNya
Tak ada cobaan yang melampaui batas kemampuan kita
Tak ada rahasiaNya tanpa hikmah terkandung di dalamnya
*Rugi ndonyo ora dadi opo
Rugi akhirat bakal ciloko
Semalam suntuk aku berusaha untuk tak memejamkan mataku. Dalam kegelapan kamar, segala rapalan japa mantera dan doa doa aku panjatkan kepadanya, berharap datangnya setitik pencerahan dariNya wahai sang Maha pencipta.
Pencarian wangsit sang pengelana hina ini sampai pada satu titik ketetapan hati dan kebulatan tekad yang belum pasti.
Triana adalah nyata, Gayatri hanyalah ilusi
=========================
Keesokan paginya di sekolah.
Hari ini aku bisa datang lebih awal karena semalam aku tidak tidur dan bisa menyelesaikan tugas tugasku di rumah dengan cepat. Belum genap jam setengah tujuh pagi aku sudah sampai di sekolahan.
Sesampaianya di sekolahan, seperti biasa aku menyempatkan waktu berduaan dengan Ana yang ternyata juga sudah datang. Sambil menunggu di mulainya jam pelajaran, kami menghabiskan waktu berduaan di kelasku.
Aku merasa berduaan di dalam kelas sedikit lebih aman dan nyaman daribpada di kantin. Selain karena suasananya yang masih sepi, kamipun tidak harus bertemu dengan Non Ega yang sekarang semakin rutin mondar mandir ke kantin.
"kamu kok cemberut aja sih An...?"
"kamu masih kesal sama kejadian kemarin ya...?" Tanyaku melihat raut wajah cantik kekasihku itu yang bermuram durja.
"yailah aku kesal... kesal banget malah..."
"gangguan kemarin datang di saat yang amat sangat tidak tepat..."
"jian mentolo tak kruwes tenan kok suwe suwe kae Gayatri..."
("Beneran pengen tak kruwes lama lama itu si Gayatri...") Jawab Ana mengungkapkan kekesalannya sambil meremas buku pelajaranku sampai kusut.
"tapi ya jangan buku ku yang di jadiin sasaran dong cinta..." Sambungku mengingatkannya dengan kata sok romantis.
"pokoknya aku nggak mau tau..."
"yang kemarin harus sayang ganti hari ini...."
"trus gimana caranya dong An...?"
"ya gimana kek... jadi cowok inisiatif dikit kenapa sih yang..."
"banyak jalan kok kalau sayangnya mau..." Jawab Ana dengan mimik serius menggurui.
"susah An nyari waktunya..." Sambungku bernada pasrah menyerah.
"iiih... untung sayang tu ganteng, kalau nggak bisa tak kruwes juga ni lama lama saking telmi nya..."
"sekarang kita bolos... gak ada tapi tapian...." Katanya memaksakan kehendak.
"bolos sih bolos... tapi kita mau kemana...?"
"ya sayang mikir dong mau kemana kemananya..."
"pokoknya tempat yang aman dan nyaman buat..." Jawab Ana sambil membuat isyarat memasukkan jempol tangannya di sela sela jari tengah dan telunjuk.
Sejenak aku berfikir keras mencari tempat yang pas menurut kriteria Ana itu. Di saat aku bingung mencari tempat yang cocok, tiba tiba solusi itu datang dengan sendirinya menghampiriku.
"hoey yang lagi asik pacaran..." Sapa Rudi yang baru masuk ke kelas sambil menggandeng Siti pacarnya.
"eh... mbak Ana..." Sapa ramah Siti sambil memanggutkan kepalanya.
"Di... kita bolos yuk...?"
"katanya Pak Bambang lagi nggak masuk tu..."
"kita ke rumah Siti aja... di sana lagi sepi nggak ada orang..." Ajak Rudi sekaligus memberikan solusi kepadaku.
"ya udah... tunggu apa lagi...?"
"tapi beneran ni Ti... gak apa apa kami main ke rumahmu...?"
"hoalah... yo nggak opo opo to mbak..."
"Siti malah seneng kok kalau mbak Ana mau main ke rumahku..." Jawab Siti penuh santun.
Mumpung keadaan sekolahan masih sepi, kami berempat segera kabur melarikan diri dari sekolahan. Dengan bersepeda jengky, aku dan Ana terlebih dahulu mampir ke rumahnya untuk mengambil motor, sementara Rudi dan Siti menunggu kami di POM bensin depan terminal Trenggalek.
"loh... kok ra sido sekolah ndok...?"
("loh... kok nggak jadi sekolah nak...?") Tanya pak Bambang ayah Ana begitu melihat kedatangan kami.
Pak Bambang sudah berdandan rapi bersiap berangkat bekerja.
("selamat pagi Pak...") Salamku sambil menjabat dan mencium tangan beliau.
"Gurunya lagi rapat pak..." Bohong Ana dengan enteng sambil berlalu masuk ke dalam rumah.
"oh.. iyo ngger..."
("oh... iya nak...")
"Emange arep nang ndi to ngger, kok koyone kesusu...?"
("memangnya mau kemana sih, kok kayaknya terburu buru...?") Tanya Pak Bambang kepadaku sambil menerima jabat dan cium tanganku.
Belum sampat aku menjawab, tiba tiba muncul Bu Ratri dari dalam sambil membawa tas kerja Pak Bambang.
"eh... ada nak Pardi toh...?"
"kok nggak masuk...? ayo masuk nak..." Sapa ramah bu Ratri sambil mempersilahkan masuk.
"iya terima kasih Buk..."
"kami buru buru kok..." Jawabku penuh sopan santun sambil tak lupa juga menjabat dan mencium tangan beliau.
Belum sempat aku berbasa basi lebih lanjut dengan Pak Bambang dan Bu Ratri, Ana sudah keluar dari dalam rumah sambil berlarian kecil lincah menghampiriku.
Dia sudah berganti pakaian mengenakan kaos putih bergambar hello kitty dengan bawahan masih mengenakan rok abu abu seragam sekolahnya.
"ayo yang kita let's go..." Ajak Ana riang sambil menarik lenganku menuju ke garasi rumahnya.
"Pak... Buk... Pardi nyuwun pamit... monggo..." Pamitku sambil berlalu mengikuti tarikan Ana.
"yo ngger... ngati ati..." Jawab mereka bersamaan sambil mengelengkan kepala.
"ni sayang yang bawa..." Kata Ana sesampainya di garasi sambil melemparkan kunci motor kepadaku.
Kami berdua langsung meluncur di atas dua roda Honda Supra X kelir warna hitam menuju ke arah POM bensin di depan terminal Trenggalek menemui Rudi dan diajengnya ndok ayu Siti Marfuah yang sudah menunggu kami di sana.
Dari terminal, kami berempat bermotor beriringan menuju rumah Siti yang terletak di Desa Gembleb, Kecamatan Pogalan. Tak terlalu membutuhkan banyak waktu, akhirnya kami sampai juga di lokasi, di rumah Siti yang terletak di sebelah selatan dari balai Desa Gembleb.
Rumah sederhana keluarga Siti terlihat asri dengan pohon rambutan yang memperteduh halaman dan hamparan sawah di depannya sebagai panoramanya. Di halaman rumah Siti juga terdapat bermacam macam bunga berwarna warni yang mempercantik halaman rumahnya.
"oya mas Pardi, mbak Ana... silahkan masuk..." Kata Siti mempersilahkan kami masuk.
"oh iya... terimakasih..." Jawab Ana dengan senyuman manisnya.
Keadaan rumah dan lingkungan sekitar rumah Siti kelihatan sepi. Sangat pas dan cocok sesuai kriteria sebagai tempat untuk memadu asmara.
Di dalam rumah kami bertiga duduk lesehan di atas tikar pandan ,di ruang tengah, di depan tivi. Sementara Siti pergi ke dapur membuatkan minuman untuk kami.
Ku pandang sekeliling keadaan rumah ini. Rumah ini terlihat begitu sederhana namun terasa nyaman. Tak terlihat satupun barang barang mewah di rumah ini, bahkan lantai rumah inipun hanya di plur dengan semen. Sungguh jauh berbeda dengan rumah Ana dan Non Ega yang penuh dengan kemewahan.
"monggo silahkan..."
"maaf adanya cuma beginian tok..." Kata Siti sambil meletakkan nampan dengan empat buah gelas berisikan teh manis.
"halah... nggak usah repot repot Ti..." Jawab Ana.
"ndak kok mbak... ndak repot kok..." Balas Siti sambil mengambil duduk di samping Rudi.
Hampir setengah jam kami duduk sambil ngobrol ngalor ngidul sambil menikmati teh manis buatan Siti, sampai tiba tiba rudi mendekat ke arahku dan membisikkan sesuatu di kupingku.
"aku mau kencan di kamar adiknya Siti..."
"kamu kalau mau bisa pakai kamar Siti...." Bisik Rudi sambil matanya melirik menunjukkan letak kamar Siti.
Tanpa banyak kata lagi, Rudi langsung menarik Siti kekasihnya masuk ke kamar. Dengan adanya kami di sini, Siti merasa agak canggung menuruti ajakan Rudi itu. Dengan lemah setengah hati dia mencoba menolak ajakan itu.
"opo sih Rud ah...?"
"ih... malu tau ada mbak Ana di sini..." Kata Siti berusaha menolak.
Tak perduli dengan tolakan Siti yang hanya setengah hati itu, Rudi terus saja menarik lengan Siti memaksanya untuk masuk ke kamar.
Melihat kejadian dan tingkah mereka yang terlihat lucu, aku dan Ana hanya tersenyum. Ana membalas tatapan sungkan dan malu Siti dengan sedikit menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang mereka lakukan.
Sepeninggal Siti dan Rudi masuk ke dalam kamar, seperti tak mau menyia-nyia kan kesempatan, Ana langsung melompat naik ke pangkuanku, mendekapku, dan mendaratkan pagutan penuh nafsu di bibirku.
"cpok... slruup..."
Kami langsung terlibat dalam pagutan penuh dengan nafsu birahi.
Sementara mulutku sibuk beradu pagutan, berlilitan lidah, bertukaran ludah, saling menjilat dan mengecapi, benakku melayang keluar dari ragaku. Fikiran ku mengambang memikirkan apa yang harus aku lakukan.
Aku kembali terjebak dalam ragu ku sendiri. Aku kembali bergelut dengan kebimbangan hati. Terlalu rumit untuk memutuskan jalan mana yang harus ku pilih.
Sementara aku sibuk bergelut dengan benakku, Ana yang tak menyadari itu masih saja mencumbuku dengan penuh nafsu, bahkan semakin bertambah nafsu.
Tangan kanannya naik ke kepala dan mengacak acak rambut ku, tangan kirinya memeluk sambil mengusap usap punggungku, bahkan kadang naik sampai ke leherku.
"eeeemh..." Dengus nafasnya berat penuh dengan nafsu birahi.
Walau setengah hati, perlahan aku mulai mengimbangi keganasan gadis yang berstatus kekasihku itu. Ku peluk tubuh mungilnya nan indah mempesona dengan erat. Jemariku mulai nakal menyusuri setiam mili punggungnya, merambat turun kebawah sampai di bokongnya.
Ku singkapkan rok seragam sekolah abu abu yang di kenakannya, dan jemariku meremas lembut bokong montok kekasihku itu.
Sejanak Ana menghentikan perpagutan kami. Sambil tersenyum manis dia menyingkap naik kaos putih bergambar hello kitty yang di kenakannya sekalian dengan bh putih berenda nya sebatas leher.
Faham dengan maksud dan keinginannya, langsung ku daratkan mulutku di sepasang payudara montok sebesar kepalan tanganku itu, dan aku langsung mengulum, mengecap, dan menjilatinya.
Persisi seperti bayi yang sedang menetek di ibunya, aku mengulum dan menyedoti sepasang payudara itu bergantian. Selaras dengan mulutku, jemari kanan kiri juga ikut beraksi bergantian.
Saat kulumanku berada di payudara sebelah kiri, jemari kananku beraksi meremas remas, mencubit lirih, dan memelintir lembut puting payudara sebelah kanan. Begitu juga sebaliknya. Saat kulumanku pindah ke payudara sebelah kanan, jemari kiriku ganti yang beraksi meremas remas, mencubit lirih, dan memelintir lembut payudara sebelah kanan.
Mendapat serangan bertubi tubi di sepasang payudaranya, Ana semakin di kuasai birahi. Desahan yang keluar dari mulutnya semakin erotis walau sedikit di tahan.
"ooouch... eeemh... yaang...."
"aaaauh... oooouch..." Desahan erotis Ana.
Sejauh ini aku belum bisa berkonsentrasi sepenuhnya mencumbuinya. Walau tubuhku penuh nafsu mencumbu, namun benakku masih melayang belum terbebas dari kungkungan bimbang.
Sementara kami sibuk bercumbu di ruang keluarga, di atas tikar pandan, suara suara erotis penuh nafsu birahi juga tak kalah riuhnya terdengar dari dalam kamar.
"oooouh... Rud... aaaayh..."
"enak sayang.... eeeemh... yaaah..."
"yang... yang... yang.... iiaaah... jangan keras..."
"aaaauh .. jang... jangan ker.. keras keras yang..."
"eeeeemh...."
"plok... plok... plok... plok...
"cekrit... cekrit... cekrit...."
Riuh terdengar suara desahan, lengguhan, dan jeritan penuh birahi mereka dari dalam kamar, di iringi dengan suara keceplak pertumbukan selangkangan dan gemrecit ranjang yang bergoyang.
Seperti tak mau kalah dengan sepasang muda mudi mesum di dalam kamar, Ana menghentikan aksi kulum mengulum kami. Dia kemudian membuka gesper yang ku kenakan beserta dengan kancing celananya dan juga memelorotkan celana yang aku kenakan beserta celana dalamku itu sampai sebatas lutut.
Dia sejenak memandangku dan tersenyum dengan manisnya. Sebuah senyuman yang semakin menenggelamkan ku terpuruk dalam bimbang dan ragu.
haruskah aku menghancurkan hati dan cinta gadis secantik ini...
haruskan aku mempertahankan nya dan berusaha tulus sepenuh hati mencintainya...
ataukah aku menuruti ancaman si anak iblis untuk menghancurkan hatinya...
anak iblis dengan sorot mata sayu yang sejati menawan hatiku sampai detik ini...
Sejenak aku melamun dalam percumbuan ini. Sasaat ada momen yang terlewatkan dari percumbuan kami. Sampai aku tersadar dari lamunanku saat aku merasakan sesuatu yang hangat dan basah menjalar di batang kemaluanku.
Ana dengan penuh nafsu, cinta, kasih dan sayang bermain main dengan batang kemaluanku. Mulut mungilnya mencaplok batang kemaluanku yang kemarin katanya kecil itu, mengulumnya naik turun sambil memainkan lidahnya berputar putar menjilati kepala kemaluanku.
Di perlakukan seperti itu aku mendelik menahan nikmat. Tulang belulangku serasa rapuh dan ikut tersedot keluar saat dia menyedot lubang kencingku dengan kuat penuh nafsu.
"aaaaauh..." Hanya lengguhan itu yang bisa keluar dari mulutku. Selebihnya aku hanya bisa pasrah menikmati deraan kenikmatan dunia ini.
Puas bermain main dengan rudal balistik senjata andalanku, dengan berjongkok dia melepaskan celana dalam putih bersih berenda yang di kenakannya dan membuangnya entah kemana. Setelah lolos celana dalam itu dari kakinya, dia menyingkap rok abu abu yang di kenakannya sebatas pinggang. Dengan sedikit kasar, Ana mendorong tubuhku untuk tidur terlentang beralaskan tikar pandan, dan langsung naik menduduki selangkanganku.
Di gesek gesekkan bibir kemaluannya yang berada tepat menduduki kemaluanku maju mundur. Bibir kemaluannya yang sudah basah cairan kawin itu semakin bertambah basah, tanda siap menerima agresi militer sang rudal balistik.
Sambil menghirup nafas, Ana memposisikan batang kemaluanku tepat di bibir kemaluannya. Saat dia hendak menghentakkan pinggulnya turun kebawah, membenamkan kemaluanku di dalam lubang kemaluannya, tanganku mencengkeram pinggulnya. Maksud awal dari cengkeramanku itu adalah untuk menghentikan aksinya.
Sempat terlintas dalam benakku dalam beberapa sepersekian detik, Sempat aku berada pada ketetapan hati untuk mengakhiri semua ini. Hampir saja keluar kata putus dari mulutku.
Tapi untung saja logika segera secepat kilat mengambil peranan. Mungkin juga ini jawaban akan doa dan japa mantra yang aku panjatkan semalam. Hingga kurang dari seperseribu detik, ketetapan yang sempat menguasaiku itu berbalik seratus delapan puluh derajat.
Aku terbebas dari ragu dan bimbang. keyakinanku sudah oval, bahwa Ana lah dia yang berhak atas cintaku, atas hatiku, atas ragaku, dan atas masa depanku. Hatiku mantap dan penuh yakin untuk melawan iblis mati matian sampai darah penghabisan.
tak ada kata menyerah melawan iblis durjana
Setelah tersadar dari ragu dan bimbang, tanganku yang memegang pinggulnya reflek ikut menekan turun, ikut membenamkan kemaluanku melesak masuk menembus kedalam gua syahwatnya.
"sleeeebh..." Batang kemaluanku menyeruak masuk menusuk lubang kemaluannya dengan gagah, perkasa, pelan, dan pasti.
"oooumhh...." Desah kami bersamaan mengekspresikan kenikmatan.
Setelah batang kemaluanku terbenam seluruhnya di dalam kemaluan Ana, perlahan dia mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, mengurut, memelintir, dan mengocok mengeluar masukkan batang kejantananku di lubang kemaluannya yang berdenyut menjepit kuat.
"An... kita pelan pelan aja ya..."
"gak usah buru buru... alon alon asal kelakon..." Kataku mengajak Ana bercinta dalam ritme pelan namun mengesankan.
"ooouh... mana tahan yang..."
"udah deh... eeeeemh... jang... ooouch..."
"jangan banyak omong anak muda..."
"hheeeessst.... nik... oooemh.. nikmati aja..." Jawab Ana terputus putus tersengal desah.
Dan benar saja, setelah beberapa saat bergoyang dalam ritme yang pelan menghanyutkan, lama lama goyangan Pinggul Ana yang maju mundur, naik turun, bahkan kadang berputar geal geol kekiri dan kekanan itu mulai bertambah semakin liar.
Ana menjatuhkan tubuhnya mendekapku. Pagutan panas kembali terjadi dengan penuh birahi, sementara pinggul kami bergoyang berirama menstimulasi kenikmatan erotika.
"eeemh... yang... ooouh..."
"eeeemph..." Desahan Ana yang tertahan pagutan bibirku.
Gerakan pinggulnya semakin bertambah liar. Kedutan kedutan di dinding kemaluannya semakin keras terasa menghisap dan menjepit batang kemaluanku yang terbenam di dalamnya.
Pelukannya semakin erat dan goyangannya semakin bertambah liar tak terkontrol. Aku hanya berusaha mengimbangi apa yang di lakukan kekasihku itu, sambil ikut menggoyang pinggul menusukkan kejantananku keluar masuk lubang kewanitaannya.
"yaaang... eeeeemh...."
"Ana nyampek.... ooouh..."
Tiba tiba tubuhnya mengejang menegang di barengi dengan semakin kuatnya kedutan otot kegel dinding vaginanya. Dalam satu hentakan dalam di iringi lolongan kepuasan, Ana menancapkan batang kemaluanku sedalam dalamnya sampai menembus ruang rahimnya.
"aaaaouh....."
Tubuhnya yang tadinya menegang sekarang menjadi lemas dan melemah terbenam memelukku. Nafasnya berat memburu dan detak jantungnya berdegub dengan kencang.
Satu kecupan hangat di daratkannya di pipi sebelah kananku sambil tersenyum manja.
"yang... i love you..." Katanya manja sambil merebahkan kepalanya di dadaku.
Aku tersentak mendengar kata kata itu. Hatiku terasa perih mendengarnya.
teganya aku meragu kepada gadis yang begitu tulus mencintaiku
"kang mas tresno marang sliramu diajeng..." Jawabku berusaha menyembunyikan kebimbanganku.
Nafsuku hanya setengah hati, kalah tenggelam dengan kebimbangan dan raguku yang semakin kuat menjalar. Ragu itu semakin kuat berusaha ku tekan, semakin kuat dia meracuni keyakinanku. Semakin keras ku coba matikan, bimbang itu semakin menggeliat tumbuh semakin subur.
Tak ingin mengecewakan kekasihku lebih jauh lagi, ku coba menggoyangkan pelan pinggulku, kembali menggerakkan batang kemaluanku yang masih tertancap di lubangnya.
"sayang belum ya..." Tanyanya lemah dengan tatapan sayu.
Aku hanya menjawab pertanyaan nya itu dengan anggukan kecil dan senyuman.
Ku angkat tubuhnya bangkit dari pelukanku. Ku posisikan tubuhnya merangkak, bersiap untuk menerima sodakanku dari belakang, bergaya doggy style.
Dengan lemas dia memaksakan diri menuruti ku. Di posisikan tubuhnya menungging beralaskan tikar pandan. Tubuh dan kepalanya lemah menempel di tikar penuh pasrah.
Ku lepaskan sekalian celana abu abu yang masih menggantung di lututku, ku posisikan tubuhku tepat di belakang tunggingannya. Ku arahkan kepala kemaluanku menghadap di lubang kemaluannya, dan dalam sekali sentak batang kemaluanku merangsek masuk ke dalam lubang kewanitaannya.
"plok... plok... plok... plok..." Suara tumbukan selangkanganku dengan bokong montok Ana.
Aku menggoyang pinggulku, menggerakkan kemaluanku keluar masuk lubang kemaluan Ana dengan brutal dan liar. Seakan aku tak perduli dengan rintihan kekasihku yang sepertinya kesakitan menerima kekasaranku.
Ana bahkan harus sampai menggigit lengannya sendiri berusaha untuk menyembunyikan dan menahan jeritannya.
"aaaaaihm... aaaaauh..."
"jang... jangan iiiaaaah.... ooohm..."
"jangan kasar kasar yang.... aaaaih...."
"sak.... aaaauh... sak.. sakiit..." Rintih kesakitannya tertahan.
Seperti orang kesetanan aku tak memperdulikan rintihannya. Aku masih saja menggoyangkan pinggulku dengan kasarnya, persis seperti orang yang sedang melampiaskan dendam kesumatnya.
"ooough.... eeeeehm...." Dengus lengguhanku berat terdengar penuh dengan dendam.
Tubuh mungil Ana tersentak terdorong dorong kedepan selaras dengan hentakan pinggulku. Keringat sudah deras mengucur membasahi tubuh kami. Aku yang seperti kesetanan seakan sudah lupa di mana kami berada.
Seakan tak mau kalah dengan kehebohan kami di luar, di dalam kamar suara suara desahan, lengguhan, jeritan, kecepak selangkangan beradu, dan gemrecit ranjang semakin jelas terdengar.
"oooohm... uuuugh...."
"aaaaaih.... oooh... Rud... Rud... ooooh..."
"cabut... cabut Rud... eeemh..."
"jangan di... di dalam... aaaaaauh...."
"jangan ham...hamilin Siti... ampuuuoooh..." Suara lengguhan dan desahan mereka di dalam kamar.
Kembali ke aksi kami.
Dalam rintih kesakitannya, Ana kembali mendapatkan orgasme untuk yang kedua kalinya.
Walau badannya lemas tak bertenaga, tubuhnya menengang dan kepalanya terdongak memandang langit langit. Mulutnya menganga tapi tanpa suara yang keluar dari sana. Matanya mendelik seakan mau lepas dari kelopaknya.
Seirama dengan kekasihku, badanku juga menegang dan bergetar. Gumpalan spermaku sudah menggumpal di ujung kemaluan siap menyembur keluar membasahi rahim Ana.
"eeeemmh...."
Dengus nafasku berat dengan tusukan pamungkas sedalam dalamnya, di ikuti dengan semburan benih benih keturunanku di dalam rahim ibunda nya.
"cret... cret... cret...."
Selesai menuntaskan syahwat, tubuhku langsung terkulai lemas ambruk menindih tubuh Ana yang tengkurap beralaskan tikar pandan. Nafas kami memburu seirama bersahutan.
"hhhuuuh... sakit yang... tapi dahsyat..."
"sayang tumben ganas banget..." Tanya Ana sambil berusaha menata nafasnya.
"maaf ya sayang... kebawa emosi..."
"maklum... balas dendam yang kemarin..." Jawabku menyembunyikan kenyataan perasaan hatiku yang sebenarnya.
Ana jangan sampai tau kalau aku sedang bimbang dalam ragu.
"cklek..." Suara gagang pintu kamar terbuka.
"dancok... guasyuuuu..." Umpat Rudi yang baru setengah langkah keluar dari kamar.
Spontan dia meloncat sambil menarik lengan Siti kembali masuk kekamar.
"guasyu kowe pret... bukane neng kamar malah neng kono..."
("anjing kamu pret... bukannya di kamar malah di situ..." Umpat Rudi berteriak dari dalam kamar.
"sek to cok... lagian metu ra ngomong ngomong...."
("tar duku to cok... lagian keluar gak bilang bilang...") Balasku mengumpat.
"uwis cok... metuo yen arep metu..."
("udah cok... kelur kalau mau keluar...") Kataku setelah kami selesai merapikan diri.
Akhirnya Rudi dan Siti keluar dari kamar setelah mendengar perkataanku.
Sejenak sempat terjadi kekakuan di antara dua gadis kekasih kami itu. Dua gadis yang sedang bersama kami ini sama sama menundukkan muka. Wajah mereka sama sama bersemu merah menahan malu.
Mungkin mereka malu karena terbongkar sudah aktifitas ranjang masing masing. Sementara kami para cowok menganggap santai hal itu.
"maaf ya Ti..." Ucap Ana lirih memecah kesunyian.
"nggak apa apa mbak... malah Siti yang seharusnya minta maaf..." Jawab Siti.
Kekakuan yang sempat terjadi akhirnya mulai mencair. Kami berempat menghabiskan waktu dengan bercengkrama bersenda gurau riang gembira. Kami bahkan mulai tak sungkan sungkan lagi bermesraan dengan pasangan kami masing masing.
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah waktunya kami pamit undur diri karena waktu sudah tak lagi memungkinkan.
"eh An... udah jam sebelas tu... pulang yuk..." Kataku mengajak Ana pulang.
"ya udah... Ti... kami pulang dulu ya..."
"sudah siang... takut ntar Pardi di cariin Ndoro nya..." Pamit Ana di selingi sedikit sindiran.
"kok buru buru sih mbak....?"
"maaf kalau pelayanan di sini kurang memuaskan..."
"aku puas kok Ti... dua kali malah..." Canda Ana yang langsung di sambar gelak tawa kami.
"hahahahaha...."
"jian lanang tenan kowe pret..."
("benar benar lelaki sejati kamu pret...") tambah Rudi.
"matamu...." Balasku sambil mendorong jidat Rudi.
Kami berempat berjalan keluar dari rumah Siti. Setelah para gadis cipika cipiki, aku langsung menyalakan motor dan bersiap meluncur pergi.
"kami pulang dulu ya Ti..." Kata Ana berpamitan.
"iya... hati hati di jalan mbak..."
"jangan kapok main ke sini loh mbak..."
"enggak kok... kapan kapan kalau sempat tak main kesini lagi..." Jawab Ana sambil naik di boncengan motor.
"balik sek cok..." Pamitku kepada Rudi.
"iyo su... ngati ati..." Balas si Rudi.
Selesai berpamitan, kami langsung meluncur di atas dua roda Supra X menyusuri jalanan pedesaan dengan pemandangan hamparan sawah di kanan kirinya.
"An... tadi aku di dalam lagi loh..."
"ntar kalau kamu hamil gimana...?" Tanyaku di saat kami sedang berpacu di atas motor.
"ya bagus dong... kan sayang jadi ayah..." Jawab Ana dengan yakin. Tak sedikitpun tersirat ketakutan ataupun ragu di dalam nada bicaranya.
Sementara aku, sepanjang perjalanan masih belum bisa sepenuhnya lepas dari kebimbanganku. Hatiku mudah sekali berubah ubah. Sesekali aku yakin seyakin yakinnya, namun sesekali juga berubah menjadi ragu seragu ragunya.
Akhirnya sampai di rumah Ana, dan sampai saat kami berpisah, Aku belum sampai pada ketetapan hatiku.
=========================
mungkin bimbang adalah ketetapanku. dalam bimbang aku tak sanggup mengeluarkan kata kataku. tak terucap kata putus sebagaimana di tetapkan tuanku. mungkin ini adalah jalanku. dalam diam aku sudah menentukan pilihanku.
Jam setengah satu siang akhirnya aku sampai di rumah. Di depan pintu gerbang Non Ega sudah menungguku dengan senyuman iblisnya.
"batas waktumu sudah habis..." Sambutnya mengingatkan bahwa batas waktuku harus memutus Ana sudah kadaluwarsa.
Aku tak menjawabnya. Aku terus berlalu meninggalkannya dan langsung masuk ke kamarku.
Mungkin penasaran dengan jawabanku, Dia menyusul mendobrak masuk ke dalam kamarku.
"heh kampret... gimana...?"
"perintahku sudah kamu laksanakan kan...?!" Tanyanya sekali lagi di bumbui nada bicara yang mulai meninggi.
Aku tak menjawab lagi pertanyaan itu. Aku berusaha mengacuhkannya.
"awas Non... Pardi mau ganti baju..." Hanya itu kata yang keluar dari bibirku.
"ya silahkan... monggo..."
"mau telanjang juga nggap apa apa kok..."
"yang penting jawab dulu pertanyaanku..."
"kamu sudah putus kan dengan Ana..." Tanyanya untuk yang ketiga kalinya.
Dan untuk yang ketiga kalinya juga aku tak menjawab pertanyaan itu.
"ooh... begitu ya... Diam berarti kamu melanggar perintahku..."
"ok... bagus... baik kalau itu maumu..."
"siap siap saja kamu menerima kejutan dariku..."
"siap siap saja kamu menyesal seumur hidupmu..." Ancamnya sambil melangkah keluar dari kamarku.
"jgluuarg...!!!"
Penuh amarah dia membanting pintu kamarku sekencang kencangnya. Dia terlihat kecewa sekali dengan pilihanku.
Entah kenapa aku malah bisa tersenyum di saat seperti ini. Senyum yang keluar dari bibirku persis seperti senyuman anak iblis yang biasa tersungging di bibir Non Ega.
hidupku, sukaku, dukaku, bahagiaku, sedihku, dan matiku.
hanya tuhan yang kuasa kepadaku.
hidupku, sukaku, dukaku, bahagiaku, sedihku, dan matiku.
hanya aku yang bisa menentukan jalan kisahku
sekarang, esok, lusa, dan seterusnya.
kisahku akan berjalan sesuai dengan langkah kakiku.
sekarang, esok, lusa, dan seterusnya.
semangatku akan tetap menyala di dalam kalbu.
sekarang, esok, lusa dan seterusnya.
tak ada lagi bimbang dan meragu.
BERSAMBUNG
hanya tuhan yang kuasa kepadaku.
hidupku, sukaku, dukaku, bahagiaku, sedihku, dan matiku.
hanya aku yang bisa menentukan jalan kisahku
sekarang, esok, lusa, dan seterusnya.
kisahku akan berjalan sesuai dengan langkah kakiku.
sekarang, esok, lusa, dan seterusnya.
semangatku akan tetap menyala di dalam kalbu.
sekarang, esok, lusa dan seterusnya.
tak ada lagi bimbang dan meragu.
BERSAMBUNG
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 komentar