• Posted by : Jeni Ratna Sari 4 Jan 2013


    Chapter XIPERAN WATAK



    Musim penghujan hadir tanpa pesan
    Bawa kenangan lama t'lah menghilang
    Saat yang indah dikau di pelukan
    Setiap nafasmu adalah milikku

    Surya terpancar dari wajah kita
    Bagai menghalau mendung hitam tiba

    Sekejap badai datang Mengoyak kedamaian
    Segala musnah Lalu gerimis langit pun menangis

    Kekasih, andai saja kau mengerti
    Harusnya kita mampu lewati itu semua
    Dan bukan menyerah untuk berpisah

    Sekejap badai datang Mengoyak kedamaian
    Segala musnah Lalu gerimis langit pun menangis

    Kekasih, andai saja kau mengerti
    Harusnya kita mampu lewati itu semua
    Kekasih, andai saja kau sadari
    Semua hanya satu ujian 'tuk cinta kita
    Dan bukan alasan untuk berpisah

    *Gerimis - Kla Project

    Masih di dalam dekapanku, Non Ega masih terisak menangis. Aku rengkuh tubuhnya dan semakin membenamkannya jauh ke dalam pelukanku. Tak terasa air mataku pun juga mulai ikut menetes.

    "hoey... sepi amat di dalam... lagi pada ngapain kalian...?" Teriak mbak Nora dari luar kamar.

    Tak ada satupun di antara kami yang menjawabnya. Kami masih diam saling berpelukan dalam tangis dan haru.

    "ya udah deh... kayaknya kalian lagi asik..."
    "pokoknya kalian harus baikan ya..." Kata mbak Nora sekali lagi.

    Suasana kembali menjadi sunyi. Hanya rintik air hujan dan sesekali kilatan guntur yang memecahkan kesunyian malam ini.

    "Ga... kita harus bicara... kita tak bisa selamanya begini terus..."
    "sudah cukup kita saling mengingkari..." Kataku pelan memaksakan diri berbicara.

    Perlahan Non Ega menarik dirinya dari dekapanku. Sejenak dia memandangku dengan tatapan mata sayu andalannya. Tatapan mata yang selalu mampu meluluhkan hatiku. Tatapan mata yang kembali mampu membenamkanku dalam kebimbangan keyakinanku sendiri.

    Sekilas aku teringat dengan Ana. Timbul rasa bersalahku kepadanya. Akankah malam ini aku menghianatinya, dan akankah malam ini aku mengingkari sumpah dan janjiku sendiri.

    Satu sisi hatiku mencoba mengingatkanku akan sumpah dan janji itu. Tapi di sisi hatiku yang lain mengatakan bahwa aku harus jujur dengan hatiku sendiri.

    persetan dengan sumpah dan janji...
    biarlah dia di sana terluka, yang penting aku bahagia...


    Di sana Ana hanyalah sebagai tempat pelarianku. Dan di sini, sekarang duduk bersimpuh di hadapanku, Gayatri dengan tatapan mata sayunyalah sebenarnya dia cinta sejatiku.

    Pergolakan dua sisi batinku ini terasa teramat sangat menyiksaku. Kebimbangan hati ini terasa begitu menyakitiku. Semua ini semakin berat membebani jiwa dan kewarasanku.

    "aku juga sudah lelah pret... aku capek..."
    "aku sudah bosan bersembunyi di balik topengku selama ini..." Jawabnya pelan dengan masih menundukkan wajah cantiknya. Derai air mata masih menetes dari sudut sudut bening mata indahnya.

    "iya Ga... benar apa yang di katakan mbak Nora..."
    "malam ini semua harus berakhir... malam ini semua harus selesai..." Kataku lagi sambil menyeka lembut air matanya.

    "malam ini semuanya baru akan di mulai pret..." Sambungnya pelan.

    Sesaat suasana kembali menjadi hening dan sunyi. Kami masih duduk bersimpuh saling berhadapan di atas ranjang tanpa saling menatap. Sepertinya kami sama sama bergelut dengan apa yang di namakan kata hati.

    Sedetik dua detik, semenit dua menit, dan entah sudah berapa lama kami berdua saling terdiam. Aku masih belum mampu mengeluarkan kata untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di dalam hatiku.

    "Ga..."

    "pret..." Kata kami meluncur berbarengan.

    "sudah kamu aja duluan..." Kataku menyuruhnya untuk berbicara lebih dahulu.

    "nggak... kamu aja dulu..." Jawabnya dengan masih menundukkan wajah cantiknya.

    Sekilas terlihat senyum misterius di bibir manisnya. Sebuah senyuman yang biasanya selalu berarti buruk buatku.

    Sejenak ku hela nafas dalam dalam. Ku coba menguatkan jiwa ragaku untuk memulai mengungkapkan apa yang menjadi isi hatiku. Ku kumpulkan segenap energi alam untuk mnguatkanku.

    Hatiku sudah bertekat bulat, biarlah malam ini aku menjadi penghianat. Biarlah aku mengingkari sumpah dan janji, malam ini aku harus jujur dengan hatiku sendiri.

    Ku genggam lembut jemari lentiknya. Aku mencoba mencari kekuatan dari sentuhan lembut jemarinya itu.

    "Ga... kalau semua yang di katakan mbak Nora itu benar adanya..."
    "seperti itu juga aku adanya..."
    "aku selama ini juga memendam rasa untukmu Ga..."
    "aku mencintaimu Gayatri..." Kataku pelan mengungkapkan isi hatiku.

    Walau terasa berat, akhirnya aku bisa sedikit lega setelah bisa mengungkapkan apa yang selama ini aku rasakan. Beban berat yang selama ini membebani jiwaku terasa sedikit berkurang.

    Aku kembali terdiam setelah mengungkapkan apa yang selama ini hanya aku pendam di dalam hatiku. Detak jantungku berdegub lebih kencang di atas batas normal. Dengan sabar aku menanti jawaban apa yang akan keluar darinya.

    Aku sudah siap dengan apapun jawaban yang akhirnya keluar dari bibirnya. Baik atau buruk jawabannya nanti, aku sudah siap sepenuhnya. Aku juga sadar sepenuhnya siapalah aku ini. Aku tak akan pernah melupakan status, kasta, dan strata soaialku.

    Kalau seandainya jawabannya baik, berarti aku punya satu tugas berat setelah ini. Berarti aku harus bisa memutus Ana secara baik baik. Mencari cara untuk meminimalisir kehancuran hatinya.

    Tapi kalau nantinya jawaban buruk yang aku terima. Aku sudah siap dan ikhlas dengan itu. Paling tidak aku sudah berusaha untuk itu. Paling tidak aku sudah melepaskan beban hatiku. Aku tak akan terpuruk atau bersedih karenanya, karena di sana aku sudah memiliki Ana yang mencintaiku sepenuh hatinya.

    aku tinggal berlari ke pelukan Ana...

    Lumayan lama kami saling terdiam. Pelan Non Ega mulai mengangkat wajahnya dan menatap ku dengan tatapan mata sayu andalannya yang berlambarkan misteri. Di hirupnya nafas dalam dalam seakan sedang menguatkan diri.

    "kalau kamu benar cinta kepadaku..."
    "buktikan sekarang..." Jawabnya pelan di iringi sunggingan senyuman misteriusnya. Sebuah senyuman yang sulit untuk ku artikan maknanya, dan sebuah senyuman yang aku sesali kenapa harus ada di dunia ini.

    Perlahan dia bangkit dari duduknya dan berdiri di atas ranjang tepat di hadapanku. Air mata yang tadi membasahi pipinya sudah mulai mengering.

    Perlahan dia mulai melepas semua kain yang menutup auratnya. Daster tidur berbahan sutra berwarna biru muda, celana dalam warna merah dan bh berwarna senada yang di kenakannya dia tanggalkan satu persatu sampai dia telanjang bulat.

    Seiring tanggalnya pakaian itu dari tubuhnya, langsung terpampang di depan mataku, berdiri di depanku sesosok gadis cantik dengan tatapan mata sayu berdiri telanjang bulat memamerkan keindahan, kesempurnaan, dan pesona raganya. Raga indah yang begitu sempurnya tanpa cela. Raga indah seorang putri priyayi.

    apakah harus begini caranya mengungkapakan cinta...?

    Hatiku bimbang meragu dengan ini semua.

    Aku merasa semua ini seperti masa yang berulang kembali. Semuanya serasa sama persis seperti saat pertama aku dengan Ana 31 Agustus yang lalu.

    "Ga... kenapa harus begini...?"
    "seharusnya bukan begini caranya Ga..." Kataku mencoba mencegahnya.

    Non Ega seperti tak memperdulikan kata kataku. Dia malah membaringkan tubuhnya terlentang dengan kaki mengangkang siap untuk mempersembahkan raga indahnya kepadaku.

    Sepasang payudaranya yang bulat montok sempurna, pinggulnya yang ramping langsing, selangkangannya yang halus mulus tanoa satupun hiasan bulu kemaluan, di tambah lagi belahan bibir kemaluannya yang menjepit sebiji clitoris di tengahnya, sukses besar membangkitkan gelegar birahiku.

    Sekuat hati aku berusaha untuk menahan diri. Aku tak ingin melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan dengan Ana. Aku tak bisa melakukan itu karena aku terlalu mencintainya. Cinta yang aku punya terlalu suci untuk di nodai seperti ini.

    Ku ambil selimut yang tergeletak di ranjang dan ku gunakan untuk menutupi ketelanjangan tubuhnya.

    "Ga... tolong jangan seperti ini..." Kataku sekali lagi mencoba mengingatkannya.

    Sejenak dia menatapku dengan tajam. Dia kembali menyunggingkan senyum misterius itu di bibir manisnya, sambil menarik selimut yang tadi aku gunakan untuk menutupi ketelanjangannya dan memiringkan tubuhnya membelakangiku.

    Perlahan aku turun dari ranjang dan berjalan menuju ke sebuah sofa santai yang terletak di pojokan kamar mbak Nora ini. Di sofa itu ku hempaskan tubuhku duduk dan mencoba menenangkan hati, jiwa, birahi, dan rudal balistikku.

    Sekuat kemampuan ku coba mematikan nafsu yang mulai merasukiku. Jujur aku tergoda, sebagai manusia biasa aku ingin menggapai keindahan itu. Aku ingin menikmati raga itu.

    Sekilas dia kembali menatapku dengan lekatnya. Tatapan yang masih di iringi dengan senyuman iblis khas ala R.A Gayatri.

    Ku palingkan wajahku, aku tak mau beradu dengan tatapan iblis itu. Ku hirup nafas dalam dalam dan aku mencoba untuk menenangkan hatiku.

    Detik berganti menit, dan menit berganti jam. Malam ini aku rasa lebih panjang dari biasanya. Pagi yang aku nantikan serasa tak kunjung datang. Aku merasa bagaikan terpenjara berada di kamar ini. Aku sungguh tersiksa level dewa.

    Lelah menanti pagi dalam keresahan hati, tak terasa aku sudah tertidur di sofa. Aku terbangun karena di kagetkan dengan suara mbak Nora yang membuka kunci pintu kamar. Ternyata hari sudah pagi.

    "cklek..." Suara kunci pintu kamar.

    "Selamat pagi..." Suara riang mbak Nora mengagetkan kami.

    Mengetahui kedatangan mbak Nora, Non Ega buru buru merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sepertinya dari semalam Non Ega belum mengenakan kembali pakaiannya.

    "eh... ngapain kamu Ga...?"
    "semalam kalian ngapain hayo...."

    Non Ega tak menjawab, dia hanya semakin merapatkan selimut itu untuk menutupi ketelanjangannya dan bertingkah seolah olah semalam terjadi sesuatu.

    "Di... kamu apain saudaraku semalam...?"
    "hehehe... pokoknya kamu harus bertanggung jawab loh..."
    "awas kalau kamu sampai berani macam macam...!" Tanya mbak Nora bernada menuduh di iringi dengan ancaman.

    Aku hanya diam tak menjawab. Aku bingung dengan jawaban apa yang harus aku berikan. Kalau aku bilang aku tidak berbuat apa apa pasti dia tak akan percaya. Karena bukti nyata ada di depan matanya saat ini.

    Non Ega seperti malah sengaja membiarkan dan membangun pasangka mbak Nora itu. Dia hanya diam sama sekali tak berusaha menyangkal apa yang ada di benak liar mbak Nora. Sepertinya dia memang sengaja membiarkan prasangka itu semakin liar membumbung.

    "ups... sorry sorry... hehehehe..."
    "ya udah deh aku tinggal lagi aja... sorry dah ganggu..."
    "kalau masih mau nambah ya monggo..." Kata mbak Nora lagi dengan senyum puas sambil berjalan keluar dari kamar.

    Sepeninggal mbak Nora, Non Ega memandangku dengan senyuman misterius seperti semalam. Kelihatan sekali kalau dia memang sengaja menjebakku.

    "Ga... kenapa kamu diam saja...?"
    "kenapa kamu nggak menyangkal Ga...?"
    "pasti mbak Nora berfikir yang tidak tidak tentang kita..." Kataku mencoba mencari tau alasannya membiarkan prasangka liar mbak Nora itu berkembang semakin liar.

    Lagi lagi Non Ega tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tersenyum memandangku. Tatapannya masih seperti tatapan Non Ega seperti biasanya, tatapan mata sinis seorang Gayatri yang sangat aku benci di dunia ini.

    Dengan cuek dan santainya dia bangun dari tidurnya. Masih dengan tubuh telanjang, dia mondar mandir di hadapanku memunguti pakaian dan onderdil dalamannya yang berserakan di lantai. Dia seperti malah memamerkan kemolekan ketelanjangannya kepadaku.

    sial... sepertinya dia memang menjebakku...

    Masih dengan senyuman yang belum aku mengerti artinya itu, dia berjalan berlenggak lenggok memamerkan bokong montoknya berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar ini.

    =========================

    Setelah kejadian di rumah mbak Nora waktu itu, hubunganku dengan Non Ega semakin bertambah kaku. Aku berusaha untuk menghindarinya sebisa mungkin. Aku benci bila harus melihat sungging senyum iblis di bibirnya setiap bertemu denganku.

    Sepertinya benar dugaanku kalau Non Ega sengaja dan benar menjebakku. Sepertinya dia mempunyai siasat licik nan jahat yang akan semakin menyakitiku. Non Ega sepertinya memang berniat untuk menghancurkan ku. Dia bahkan mulai berkonfrontasi langsung merusak hubunganku dengan Ana.

    rencana besar apa yang sebenarnya ada di dalam fikirannya...

    "heh pelacur...!" Makinya ke Ana saat aku dan Ana sedang asik bermesraan di kantin sekolah seperti biasanya.

    Mendengar makian Non Ega yang secara tiba tiba tanpa ada unjung pangkalnya dan memanaskan telinga itu, Ana langsung berdiri dan menantang Non Ega. Dengan kasar Ana menarik bahu Non Ega dan balas memakinya.

    "heh... jaga mulut kamu setan...!" Bentak Ana membalas makian itu.

    "heh... pelacur murahan sudah mulai berani pasang taring rupanya sekarang..." Balas Non Ega.

    Percekcokan dan saling maki memaki seperti ini semakin sering terjadi. Tak ada seorangpun, atau bahkan aku sekalipun yang bisa atau berani melerai mereka. Pertikaian mereka ini malah menjadi tontonan gratis bagi para murid di sekolah ini.

    "hey... kalian kenapa sih..."
    "udah lah... jangan berantem terus kenapa sih kalian..." Kataku berusaha melerai mereka.

    "diam....!!!" Hardik mereka bersamaan kepadaku.

    Ana yang biasanya selalu berusaha mengalah dan menghindari pertikaian dengan Non Ega, sekarang malah seperti semakin larut asik dalam pertikain yang tak jelas unjung pangkal permasalahannya itu. 

    Pelan namun pasti, image Ana yang terkenal sebagai gadis sopan dan santun perlahan mulai memudar seiring dengan rentetan pertikaian demi pertikaian dengan Non Ega.

    Kalau sudah seperti itu aku hanya bisa membiarkan mereka. Biar mereka lelah dan selesai dengan sendirinya. Biar mereka memuaskan nafsu ego angkara murka mereka sampai lunas tuntas tak bersisa. Biar esok dan di lain hari tak ada lagi pertengkaran seperti ini.

    pasti ada rencana besar di balik apa yang di lakukannya malam itu...

    =========================

    Di suatu kesempatan di rumah Ana.

    Seperti biasa, hari ini mumpung ada kesempatan karena sekolah di pulangkan lebih awal. Ana mengajakku untuk memadu kasih melepaskan hasrat birahi kami di rumahnya.

    Menggunakan sepeda jengky ku, kami bersepeda ria dari sekolahan menuju ke rumah Ana. Suasana kota yang asri semakin menambah kemesraan kami saat asik bersepeda.

    "selamat siang buk..." Salamku ke bu Ratri yang sedang merawat bunga bunga kesayangannya sesampainya di rumah Ana.

    "ooh... ono nak Pardi toh..."
    "silahkan masuk nak... maaf ibuk lagi kotor ni..." Jawab ramah ibunya Ana mempersilahkan ku masuk.

    "buk... Ana sama Pardi ke atas dulu ya..." Pamit Ana ke ibunya sambil menarik lenganku.

    "mari buk..." Kataku sopan meminta ijin.

    "ya udah... nanti kalau mau pulang ojo lupa makan dulu yo Di..." Jawab bu Ratri ramah ke calon menantunya.

    Begitu sampai di kamar, Ana langsung mengunci pintu kamar dan langsung dengan santai menelanjangi dirinya di hadapanku. Sudah tak ada lagi rasa risih atau malu lagi dia bertelanjang ria di hadapanku.

    Sementara Ana sibuk mempereteli pakaiannya, aku berjalan menuju ke ranjang dan langsung merebahkan diriku di sana.

    "An... kamu tu kenapa sih An...?"
    "perasaan kamu sekarang kok berubah..."
    "kamu nggak seperti biasanya..." Kataku menanyakan perubahan sifatnya yang menjadi suka bertikai dengan Non Ega.

    "ya nggak kenapa kenapa yang..."
    "aku cuma gak tahan aja tiap kali di maki Ega gak jelas kayak gitu..."
    "aku sakit hati dong di katain yang pelacurlah, pereklah, setanlah..."
    "padahal kan yang asli setan itu kan dia..." Jawab Ana berapi sambil berjalan menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya ini.

    "tu kan... kamu tu sekarang hampir sama tau kayak Gayatri..."
    "omongan kamu tu sekarang kasar An..."

    "udah deh yang... jangan ngbahas Ega bisa nggak sih..."
    "merusak suasana tau nggak..."
    "mending ngomongin Ana pacarmu yang cantik ini..." Jawab Ana sambil melangkah keluar dari dalam kamar mandi.
    "yang... bikin dedek yuk..." Sambungnya lagi sambil ikut merebahkan tubuh telanjangnya di sampingku.

    "ayuk..." Jawabku mantap dan yakin.

    Aku yang sudah bernafsu langsung merengkuh tubuh telanjangnya. Langsung ku daratkan pagutan mesra nan buas di bibirnya yang langsung di balas dengan tak kalah buasnya juga.

    Kami berdua langsung bergelut dalam gelombang birahi membara saling mencumbu, mengusap, dan meremasi organ tubuh yang nikmat untuk di remas remas saat berhubungan intim.

    "aouuw...!" Jerit kesakitan Ana sambil mendorong tubuhku.

    "kenapa yang...?" Tanyaku heran.

    "nunuk ku sakit ni kena gesper sayang..."
    "sakit banget tau..." Jawab Ana sambil masih meringis kesakitan dengan mengusap usap kemaluannya.

    "hehehe.... sorry sorry sorry..."
    "ya udah... bukain baju aku dong..."

    "iih... manja banget sih..."

    "cplaak...!" Jawabnya sambil menepuk bokongku.

    Tak butuh banyak waktu, karena sudah mahir dan terbiasa, dengan secepat kilat Ana sudah berhasil menelanjangiku. Sudah tak ada lagi seragam putih abu abu menempel di badanku. Tak ketinggalan juga celana dalamku juga sudah raib entah kemana.

    "yang... kok jadi kecil sih yang...?"
    "kalau cuma segini sih cuma bikin geli doang yang..." Tanya Ana meledek sambil mempermainkan kepala batang kemaluanku. Jempolnya bermain berputar putar tepat di atas lubang kencingku.

    "sembarangan aja kamu kalau ngomong..."
    "jangan di lihat besar kecilnya, lihat dong kelincahannya..."
    "biar kecil kecil begitu tapi kan bisa bikin kamu aduh aduh..."
    "iya kan...?" Jawabku agak setengah sewot di katain kemaluanku kecil.

    Padahal aslinya batang kemaluanku tak sekecil yang Ana bilang. Rudal balistik senjata andalanku ini berukuran sedang, masih dalam standart asia baik dari diameter maupun panjangnya.

    "hehehe... gitu aja ngambek..."

    "cup..." Sambungnya sambik mengecup mesra kepala kemaluanku.

    "ya iyalah kesel..."
    "kalau mau yang gede... sana pake aja tu kontol kuda..."

    "ya ampun sayang... tega amat sih sama pacarnya sendiri..."
    "masa iya Ana di suruh begituan sama kuda sih... sadis..."
    "udah ah... jangan banyak ngomong kamu anak muda..."
    "buktikan omonganmu kisanak..." Jawab Ana sambil langsung memasukkan batang kemaluanku ke mulutnya.

    Ana memainkan lidahnya berputar putar dan menghisap hisap kepala kemaluanku. Sementara mulutnya beraksi mengelomoh batang dan kepala kemaluanku, jemarinya juga tak tinggal diam meremas remas lembut buah dzakarku.

    "ooouuumh..." Hanya desahan yang keluar dari mulutku sebagai ekspresi betapa nikmatnya aku di perlakukan seperti itu.

    "clop... clop...clop..." Bunyi sepongan Ana.

    Aku yang sudah di kuasai nafsu tak ingin lagi berlama lama dalam pemanasan. Isi otakku hanya satu, aku ingin sesegera mungkin menuntaskan birahiku. Aku pengen croot.

    "udah An... langsung aja yuk..."

    Ana tak menjawab dan hanya tersenyum dengan manisnya.

    Ku raih tubuh telanjangnya dan langsung aku banting terlentang di atas ranjang. Ranjang yang lagi lagi berseprei gambar hello kitty.

    Sefaham dengan jalan fikiranku, Ana langsung mengangkangkan kakinya. Kemaluannya yang masih rapat semu kemerahan itu sedikit terbuka memamerkan sebiji tonjolan kecil klitoris yang terjepit di tengah tengah belahan bibir kemaluannya.

    Dengan sedikit menggeliat erotis, Ana menantangku bertarung dalam medan laga birahi.

    "ayo yang... kekasihmu ini sudah siap di joss...." Katanya menantang.

    "siaplah poko'e..." Jawabku sembari memposisikian tubuhku di antara kangkangan selangkangannya.

    Ku arahkan ujung kepala kemaluanku tepat bibir lubang kemaluannya. Ku gesek gesekkan sebentar agar kemaluan Ana semakin basah untuk mempermudah agresiku.

    Setelah ku rasa sudah cukup basah, pelan pelan mulai ku dorong batang kemaluanku masuk membelah bibir kemaluannya.

    "oooh... basah... hangat... nikmat..."
    "oooh... aku masuk... oooh... kejepit..."


    Belum selesai aku membenamkan batang kemaluanku mentok menembus rahimnya, tiba tiba saja ada gangguan yang datang.

    "tok... tok... tok..." Suara ketukan di pintu kamar Ana.

    "An... Ana... ada yang nyari Pardi tu An..." Kata bu Ratri dari luar kamar.

    Terpaksa aku menghentikan penestrasiku yang baru separuh jalan itu. Ana kelihatan kesal sekali dengan adanya gangguan itu.

    "siapa sih buk...?" Jawab Ana bersungut kesal.

    "itu ada Gayatri... katanya nyariin Pardi..."

    Jgluaaaaarrr.............!!!

    Bagai tersambar petir di siang bolong, kami berdua terkejut mendengar jawaban dari bu Ratri tentang siapa yang mencariku itu.

    "ngapain Non Ega nyariin aku ke sini...?"

    Kami berdua saling berpandangan heran tak menjawab. Mungkin isi benak kami sama, ada apa Non Ega mencari aku ke sini.

    Sepertinya Non Ega memang sengaja ingin merusak kebahagian kami. Sepertinya Non Ega mulai menunjukkan diri bahwa dialah duri di antara aku dan Ana.

    "yo wis... ibuk tunggu di bawah sambil ngancani Gayatri yo..."
    "kalian cepat turune, katanya penting..." Kata bu Ratri lagi sambil melangkah menuruni anak tangga.

    Kami berdua masih diam bertatapan tak menjawab.

    "udah ah... bodo... cuekin ajalah..." Kata Ana sambil mengapitkan kakinya dan berusaha semakin membenamkan batang kemaluanku yang sudah tertancap baru setengah jalan.

    Ana mengajakku untuk tidak memperdulikan kedatangan Non Ega dan ingin terus melanjutkan pendakian birahi kami yang terpaksa terhenti saat baru akan mulai itu.

    "kita turun aja yuk An..."
    "aku jadi gak mood ni..." Kataku menolak dan berusaha mengajak Ana turun.

    Perlahan aku cabut batang kemaluanku yang sudah setengah jalan menusuk ke dalam lubang kemaluan Ana itu. Ana hanya diam tak menjawab dan memandangku dengan pandangan kecewa.

    "kenapa sih Ega selalu saja menjadi racun..."
    "emang benar benar setan wujud manusia tu anak..." Gerutu Ana kesal.

    "hush... gak boleh ngomong kasar gitu ah..."
    "ayo turun yuk...." Kataku menasehati Ana.

    "males banget... sayang ajalah yang turun..."
    "eneg aku melihat wajahnya..." Jawab Ana sewot.

    "ayo dong An... kan kamu tuan rumah di sini..."
    "ayo to ah..." Kataku lagi membujuknya.

    "sayang tu sebenarnya gimana sih...?"
    "perasaan malah mentingin Ega dari pada aku pacarnya sendiri..." Jawabnya meninggi sambil bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ke kamar mandi.

    Segera aku mengenakan kembali seragam putih abu abuku dan merapikan diri.

    "udah ah... jangan ngeributin Ega..."
    "gak ada untungnya, malah rugi iya... ayuk turun..." Kataku lagi masih membujuk Ana untuk mau turun.

    Tak berapa lama kemudian Ana keluar dari dalam kamar mandi, dan dia sudah mengenakan pakaian santai berupa celana hot pants dan kaos oblong warna putih. Masih tersisa gurat emosi dan kekecewaan di wajah cantik kekasihku itu.

    Dengan terpaksa akhirnya Ana mau juga turun dan menemui Non Ega yang sudah menunggu di bawah.

    "ada apa sih Ga...?" Sembur Ana sesampainya di ruang tamu.

    Non Ega hanya tersenyum simpul tak menjawab pertanyaan Ana itu. Dia malah memandang ke arahku dengan tajam.

    "ayo pulang Di..." Kata Non Ega mengajakku pulang tanpa di dahului dengan basa basi.

    Melihat kekakuan dan keanehan yang terjadi di antara kami bertiga, bu Ratri hanya terdiam bingung tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi.

    "eh... ojo pulang disek... makan siang dulu yuk..."
    "ibuk wis masak enak loh..." Kata bu Ratri menawari kami makan setelah tersadar dari keterbengongannya.

    "oh.. matur sembah nuwun buk..."
    "gak usah repot repot... ini kami buru buru kok buk..." Jawab Non Ega sambil berdiri dan minta pamit.
    "Ega nyuwun pamit nggih buk..."

    Aku tak kuasa menolak ajakan Non Ega itu. Dengan terpaksa aku menuruti ajakannya untuk pulang.

    Saat hendak keluar dari rumah ini, aku tak sempat berpamitan dengan Ana. Dia keburu berlari naik ke atas di iring tatapan heran ibunya.

    "ya udah... hati hati di jalan yo..."
    "mbak Ega sering sering main ke sini ya..." Kata bu Ratri ramah sambil menerima jabat tangan dari Non Ega.

    "oh enggih buk... monggo..." Jawab Non Ega ramah.

    "Pardi nyuwun pamit buk... salam damel Ana..."
    ("Pardi minta pamit buk... salam buat Ana...") Kataku mohon pamit.

    "iyo nak... ngagi ati di jalan..." Jawab ramah bu Ratri.

    Tumben sekali Non Ega bisa bersikap ramah seperti ini. Tak terlihat sama sekali tampang judes bin bengis di wajahnya sebagaimana kesehariannya. Non Ega memang maestronya dalam peran watak. Dia bisa dengan cepat dan mudahnya berganti topeng tanpa sedikitpun menyisakan watak jiwa aslinya.

    Jiwanya bagaikan dua keping mata uang yang saling bertolak belakang. Dia bagaikan mempunyai dua kepribadian yang bisa dengan mudah di gonta gonti semau kehendak hatinya sendiri.

    Dengan membonceng sepeda jengky ku, ternyata Non Ega tidak langsung mengajakku pulang. Dia malah mengajakku mampir dulu ke sebuah warung kopi di dekat terminal Trenggalek.

    terus... tadi Non Ega naik apa ke rumah Ana...?"

    Pertanyaan itu terus bergelayut di benakku karena ternyata Non Ega tidak membawa motornya.

    "kamu mau pesan apa pret...?" Tanya Non Ega masih dengan sisi ramah dirinya. Sisi jiwanya yang pasti sebentar lagi akan berubah dengan cepatnya berganti dengan sisi jiwa bengis bin sadis.

    "sak karepmu lah.. pokok ora di racun..."
    ("terserah kamu kah... pokok nggak di racun...") Jawabku bernada sewot.

    "hehehe... marah ya..."
    "ngambek ya... lagi enak enak pacaran di ganggu..." Katanya dengan senyum bahagia karena sudah sukses besar merusak hariku.
    "pak... joss susu kaleh nggih..."
    ("pak... joss susu dua ya...") Sambung Non Ega memesan minuman.

    Kami berdua duduk lesehan di pojok ruangan kafe tradisional itu. Tanpa perlu menunggu lama, pesanan joss susu itupun sudah siap.

    "niki unjukanipun mbak, mas... monggo..."
    ("ini minumannya mbak, mas... silahkan...") Kata si bapak penjual sambil menyajikan pesanan.

    "pak... rokok surya sebungkus..." Tambahku memesan sebungkus rokok.

    "oh... enggih mas... siap..." Jawab si bapak. Tak berapa lama kemudian si bapak balik lagi sambil menyerahkan sebungkus rokok surya pesananku.

    Aku tak perduli walaupun aku tak memiliki uang sama sekali. Biar saja nanti Non Ega yang membayar, kan dia yang mengajakku ke sini.

    "pakai pesan rokok lagi... emang kamu punya duit apa..." Tanya Non Ega.

    "yo ben toh... bayarono..."
    ("ya biarin.... kamu bayarin lah...") Jawabku masih bernada sewot sambil menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam dalam dan ku mainkan asap rokok itu.

    "kamu harus putus dengan Ana..."
    "paling lambat besok siang kamu harus sudah putus dari dia..." Katanya langsung, tepat, dan tajam, tanpa pendahuluan atau basa basi terlebih dahulu sambil menatapku tajam. Sudah berganti rautnya menjadi begis angkuh dan congkak seperti biasanya.

    "uhuk... uhuk... uhuk..." Aku terbatuk tersedak asap rokok karena kaget dengan apa yang baru saja di katakannya.

    "nggak usah jawab... kamu nggak punya pilihan dan nggak ada tawar menawar..."
    "jangan coba coba berani melawan Gayatri... camkan itu baik baik..."
    "cepat habisin minuman kamu itu, trus kita langsung pulang..." Sambungnya sambil melontarkan ancaman.

    Mendengar itu aku menjadi bertambah bingung. Kalau aku ingin selamat sehat walafiat, aku harus menuruti perintahnya memutus Ana. Kalau tidak aku harus siap siap berhadapan dengan ancamanya yang berarti aku akan sengsara seumur hidup. Ancaman darinya itu aku tau pasti serius dan pasti menjadi kenyataan karena dia tidak pernah main main dengan ancamannya.

    apa sebenarnya maksud dan tujuannya menyuruhku putus dari Ana...?"

    Selesai mengabiskan joss susu, kami langsung bergegas pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan kami saling diam tanpa saling berbicara. Aku terombang ambing dalam bimbang hatiku sendiri.

    Pengakuanku tempo hari kepadanya bahwa aku sebenarnya juga mencintainya seperti malah semakin membukakan jalan baginya untuk semakin menyengsarakanku. Dia seperti menemukan celah yang manis untuk semakin menghancurkan aku. Semakin mudah dia mempermainkan dan menyakitiku.

    Sasaran kekejamannya kini sudah berubah. Dia tak lagi menyerang fisik ku, tapi kini dia mulai menyerah mental, hati, dan jiwaku. Dan pasti efeknya lebih terasa, lebih lama, dan lebih sakit dari pada deraan fisik yang selama ini sudah aku terima darinya.
    Setetes embun di daun lamban bergulir
    Ketika jatuh ke tanah terserap musnah
    Begitupun hatiku diayun bimbang jawabmu
    Terhempas dan hampa tak terkira

    Mentari tersaput mega enggan bersinar
    Menusuk angin ke raga jiwa gemetar
    Terpuruk ku disini di peluk bimbang sikapmu
    Membeku dan lara tak terkira

    Adalah kau tuangkan cinta ke dalam tungku yang tengah panas menyala
    Adalah kau padamkan bara tatkala hangat mulai membuai jiwa

    Terhempas bimbang sikapmu Terpuruk ku disini
    Di pelukan bimbang jawabmu Membeku dan lara tak terkira......

    Adalah kau tuangkan cinta ke dalam tungku yang tengah panas menyala
    Adalah kau padamkan bara tatkala hangat mulai membuai jiwa

    Terhempas bimbang sikapmu Menggigil palung hati
    Di pelukan bimbang jawabmu Terpuruk ku disini

    Dihempas bimbang sikapmu Membeku dan lara tak terkira

    *Kla Project - Terpuruk Ku Di Sini
    *edited







    BERSAMBUNG

    0 komentar

  • Online

    Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Forum Bersama Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan