• Posted by : Jeni Ratna Sari 4 Jan 2013

    Chapter X
    1DESEMBER

    >>>Baca Cerita Sebelumnya>>>


    Ku coba mematikan semua rasa yang ada, ku coba menentang semua hasrat hati yang ada tentang Non Ega. Ku coba memupuk semi benih benih kasihku dengan Ana, agar semakin tumbuh berkembang dengan suburnya.

    Rahasia hati yang aku ketahui biarlah tetap menjadi rahasia. Biarlah semua itu hanya cerita masa lalu yang telah terlewati tanpa seharusnya aku sesali. Sekarang aku sudah di sini, bersama bidadari yang mencintaku sepenuh hati. Dialah dia Triana Subur Lestari kekasihku.

    "yang... Ega tu kenapa sih yang...?"
    "kok perasaan dia tu sewot banget kalau melihat kita...?" Tanya Ana saat kami bersantai jajan di kantin pas jam istirahat sekolah seperti biasanya.

    "gak tau... ya mungkin karena kamu musuh besarnya malah pacaran sama pembantunya kali..." Jawabku sekenanya.

    "hehehehe.... iya kali ya...."
    "aku tu sebenarnya masih belum mengerti loh dengan Ega itu..."
    "kenapa sih dia tiba tiba saja musuhan ama aku..."
    "kan dulu kami itu sahabatan kan...?" Sambung Ana sambil beranjak berdiri dari tempat duduk kami dan berjalan ke arah ibu kantin yang sedang sibuk melayani para pembeli.
    "buk... es teh manisnya dua ya..." Pesan Ana kepada ibu kantin.

    "oh... iya mbak Ana... sebentar ya..." Jawab si ibu kantin dengan masih sibuknya.

    "apa jangan jangan Ega tu cemburu kali sama kita yang...?"
    "atau jangan jangan Ega itu diam diam suka ama sayang...?"
    "hayooo looh..." Sambung Ana lagi sambil kembali duduk di tempatnya semula di sampingku.

    "Deg..."

    Jantungku tersentak mendengar pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang memang benar adanya, dan aku simpan rapat rapat menjadi sebuah rahasia nun jauh di dasar hati yang terdalam.

    "aah... ngawur aja kamu... ya mana mungkin lah..."
    "kamu kan tau sendiri gimana Ega...."
    "udah ah... kok jadi ngelantur gitu sih omongannya..." Jawabku berusaha memutus pembicaraan mengenai Non Ega.

    Tak berapa lama menunggu akhirnya es tah manis pesanan kamipun datang juga.

    "permisi mas... mbak... nyuwun sewu..."
    "niki unjukanipun... monggo..."
    ("ini minumannya... silahkan...") Kata rmah si ibu kantin sambil meletakkan dua gelas es teh manis di atas meja di depan kami.

    "enggih buk... matur sembah nuwun nggih..."
    ("iya buk... terima kasih ya buk...") Jawab Ana tak kalah sopannya.

    Begitu es teh manis itu terhidang di atas meja, aku langsung menyeruputnya penuh nafsu karena sudah kehausan.

    "slruuuup...." Suara seruputan es teh manis melalui sedotan.

    Saat sedang menikmati seruputan es teh manis itu, tiba tiba aku di kagetkan dengan sebuah tepukan keras di punggungku.

    "cepluk..." Sebuah tepukan di punggungku.

    "hooey...!!! mesra banget sih berdua...." Suara Rudi dari belakang yang ternyata si oknum penepuk punggungku tersebut.

    "uhuk... uhuk... uhuk..."
    "semprul kowe rud... sialan kamu..."
    "aku hampir mati kesedak ni semprul..." Semburku sambil terbatuk batuk tersedak.

    "hehehe... nyuwun sewu denmas Pardi... ngapunten..." Jawab Rudi cengengesan sambil mengambil duduk di sampingku.

    Tenyata Rudi datang bersama Siti Pacarnya yang tak kalah mesranya dengan kami.

    "eh... duduk Ti..." Suruh Ana begetu mengetahui Rudi datang bersama Siti pacarnya.

    "oh... iya mbak..." Jawab siti sopan sambil mengambil duduk di samping Ana.

    Saat kami berempat sedang asik bercengkrama bersenda gurau, tiba tiba saja terdengar suara kehebohan yang pasti menandakan datangnya Non Ega sang Raden Ayu.

    "eh... mbak Ega... monggo mbak pinarak mriki..."
    ("eh... mbak Ega... silahkan mbak duduk di sini...") Suara salah seorang teman sekolah kami yang mempersilahkan tempat duduk untuk Non Ega dengan penuh sopan dan keseganan.

    Mendengar kehebohan itu, kami berempat reflek menoleh ke arah berasalnya kehebohan itu. Sejurus tatapan mataku beradu dengan sorot mata tajam penuh kebencian Non Ega. Sorot mata seperti biasanya, sorot mata benci fan tidak suka melihat kedekatanku dengan Ana.

    "sudah... sudah... sudah...."
    "minggir... minggir... minggir..."
    "eneg aku jadinya di kantin ini..." Kata Non Ega sambil melangkah pergi tak jadi ke kantin.

    Berempat kami saling berpandangan tak mengerti dengan kelakuan aneh Non Ega itu. Walaupun aku sebenarnya mengerti alasan Non Ega berbuat seperti itu. Non Ega pasti cemburu melihat aku dan Ana berduaan di kantin.

    Di tambah lagi keberadaan Rudi dan Siti bersama kami yang tak kalah romantisnya, pasti membuat hati Non Ega teriris tercabik cabik. Pasti dia bersedih kenapa sampai saat ini dia belum memiliki kekasih. Atau mungkin juga dia menyesali kenapa selama ini dia terlalu angkuh untuk mengetahui perasaannya sendiri.

    "Apa mungkin hati dan cintanya benar benar tertambat lekat kepadaku, sehingga membutakan segala rasa dan panca ideranya....?"
    "Sedalam itukah perasaannya kepadaku....?"

    Kata hatiku mencari jawaban atas kelakuan aneh Non Ega.

    Dari tempatku, aku hanya bisa memperhatikannya melangkah berlalu pergi. Dalam hati aku menangis meratapi kesakitan hati gadis yang sebenarnya benar benar aku cintai itu. Gadis yang membuatku berlari sembunyi di pelukan Triana.

    =========================

    Siang harinya selesai jam sekolah aku langsung pulang ke rumah Ndoroku seperti biasanya. Banyak pekerjaan rutin yang sudah menungguku di rumah mereka yang harus aku kerjakan.

    "aku langsung pulang ya An..." Kataku saat berjalan menuju ke tempat parkir bersama Ana.

    "yaaaa... sayang... mampir ke rumah aku aja dulu yuk...?"
    "Ana kangen ni... Ana pengen... yuk..." Ajak Ana merajuk manja sambil membisikkan kata pengen di kupingku.

    "lain kali aja ya An... aku masih banyak kerjaan di rumah..." Jawabku beralasan sambil menuju sepeda jengky yang terparkir di parkiran sekolah.

    "ya udah deh.. hati hati ya yang...."
    "lave you... mmmuah .." Jawab Ana penuh pengertian sambil mendaratkan sebuah kecupan hangat di pipiku.

    "huuuuuu..... suuit... suuit..." Sorakan ramai dan siulan para teman sekolah kami yang mengaksikan adegan romantis itu.

    Setelah mendapat kecupan mesra dari kekasihku itu, dengan wajah bersemu merah menahan malu karena sorakan teman temanku, aku langsung menggenjot sepeda jengky yang menjadi alat transportasiku setiap hari pergi meninggalkan Ana dan sekolahan.

    Sekitar setengah jam perjalanan bersepeda dari sekolahan, akhirnya aku sampai juga di rumah majikanku. Sesampainya di rumah aku langsung berganti pakaian dan makan siang sebelum memulai pekerjaan wajibku setiap hari seperti biasanya.

    Belum selesai aku menghabiskan makananku, tiba tiba saja terdengar teriakan bengis Ndoro Putri memanggilku seperti biasanya.

    "Pardiii.....!" Teriak Ndoro Putri dari ruang depan.

    "enggih Ndoro sekedap..." Jawabku sopan langsung memenuhi panggilan beliau.

    Tanpa menunggu menghabiskan makan siangku terlebih dahulu, aku langsung berlari meninggalkan makan siangku dan bergegas menemui beliau yang sudah menungguku di ruang tamu.

    "nyuwun sewu Ndoro... wonten nopo nggih...?" Tanyaku dengan menunduk hormat sesampainya di hadapan beliau.

    "Ega kemana kok jam segini belum pulang...?" Tanya Ndoro Putri bernada mengintrogasi.

    "saya kurang tau Ndoro..."

    Memang tadi di sekolah aku tak lagi melihat Non Ega setelah di dia marah marah tak jelas di kantin. Saat jam pulang sekolahpun aku juga tak melihatnya, bahkan aku juga tak melihat motornya di parkiran sekolah seperti biasanya.

    "loh.. kirain Non Ega sudah pulang...?"
    "terus kalau di rumah nggak ada, Non Eganya kemana dong...?"

    Tanyaku dalam hati penasaran sekaligus mengkhawatirkan Non Ega.

    "kowe ki piye toh... kok Ndoro Ayune ora di gatekne..."
    ("kamu itu gimana sih... kok Ndoro Ayunya nggak di perhatiin...")

    Saat Ndoro putri sedang sibuk mengintrogasiku, tiba tiba terdengar dering telefon dari ruang keluarga.

    "kriiing... kriiing... kriiing..." Suara dering telefon.

    Mendengar suara dering telefon itu Ndoro Putri langsung buru buru menghampiri dan mengangkatnya. Beliau urung memarahiku karena adanya panggilan telefon tersebut.

    "ya halo...."
    "oh... yo wis kalau gitu... kirain kemana..."
    "yo wis...biar nanti di jemput sama si Pardi saja ya mbak yu..." Pembicaraan Ndoro Putri dengan seseorang di seberang telefon sana yang entah dangan siapa.

    Selesai menutup telefon, Ndoro Putri kembali ke ruang tamu menemui aku yang masih belum beranjak dan masih menunggui beliau.

    "barusan mbakyu Hana yang telefon..."
    "katanya Ega ada di sana dan nggak mau pulang..."
    "memangnya Ega kenapa sih... tadi ada apa di sekolahan...?" Tanya Ndoro Putri yang lagi lagi bernada mengintrogasi.

    "duko nggih Ndoro... kulo mboten ngertos..."
    ("tau ya Ndoro... saya tidak tau...") Jawabku berbohong.

    Padahal aku tau kemungkinan alasan Non Ega lari ke rumah mbak Nora dan tidak mau pulang. Mungkin Non Ega sengaja menghindar dan tidak ingin bertemu denganku di rumah. Atau mungkin juga Non Ega mencoba untuk menenangkan diri di sana.

    "kowe ki piye toh... di takoni kok jawabane panggah ra ngerti wae..?"
    ("kamu itu gimana sih... di tanyai kok jawabannya tetep nggak ngerti aja...?")
    "yo wis kono... tugase gek ndang cepet di kerjani..."
    ("ya sudah sana... tugasnya cepat di kerjain...")
    "bar kuwi terus jemputen Ndoro Ayumu neng Durenan kono..."
    ("habis itu terus kamu jemput Ndoro Ayumu di Durenan sana...")
    "bilangin ke Ega, Bapak Ibuk gak bisa jemput..."
    "Bapak ibuk sama Pakdhe dan mbakyu Hana ke Ponorogo ada urusan..."

    "enggih Ndoro... sendiko dawuh..."

    Setelah mendapat tambahan tugas menjemput Non Ega di rumah Ndoro Pakde, aku langsung kembali ke dapur meneruskan makan siangku yang tadi sempat tertunda karena di panggil Ndoro Putri.

    Dengan gerak cepat aku habiskan sisa makan siangku yang tinggal beberapa suapan lagi itu, dan setelah itu langsung mulai mengerjakan apa yang sudah menjadi kewajibanku sehari hari.

    Pekerjaanku hari ini di mulai dengan memberi makan para sahabat karibku si kambing dan si sapi. Setelah itu aku lanjutkan dengan mencuci piring dan pakaian keluarga Ndoroku (termasuk juga pakaian Non Ega tapi tanpa dalaman) yang segunung banyaknya.

    Setelah selesai mencuci dan menjemur pakaian, tanpa punya banyak waktu beristirahat aku segera pergi ke hutan untuk ngarit mencarikan rumput dan rambanan untuk makan para sahabatku.
    Semua rangkaian tugas wajibku itu di akhiri dengan menyapu halaman depan belakang dan menimba air untuk mandi para Ndoroku.

    Setelah selesai mengerjakan semua tugas dan kewajibanku itu, aku buru buru mandi dan bersiap berangkat ke Durenan ke rumah Ndoro Pakde untuk menjemput Non Ega, sebagaimana yang tadi di perintahkan Ndoro Putri.

    "loh... kok rapi temen to ngger...?"
    ("loh... kok rapi banget to nak...?")
    "arep nyang ndi wong wis surup surup ngene kok...?"
    ("mau kemana orang sudah sore begini kok...?") Tanya Ndoro Kakung yang baru pulang kerja.

    "badhe njemput Non Ega wonten Durenan Ndoro..."
    ("mau menjemput Non Ega di Durenan Ndoro...") Jawabku sambil membungkuk sopan.

    "loh... Ega kapan mronone...?"
    ("loh... Ega kapan ke sananya...?")

    "mau awan pak... mbakyu Hana telefon..."
    ("tadi siang pak... mbakyu Hana telefon...")
    "jarene Ega neng kono trus ora gelem mulih... mbuh ono opo..."
    ("katanya Ega di sana terus nggak mau pulang... tau ada apa...") Sambung Ndoro Putri yang baru keluar dari kamar sambil membawa uang buat ongkosku ke Durenan.

    "yo wis yen ngono gek ndang budal selak udan... ngagi ati yo Di..."
    ("ya udah kalau gitu cepat berangkat keburu hujan... hati hati ya Di...")
    "eh Di... yen gelem nginep kono wae sekalian, Bapak Ibuk mengko arep lungo..."
    ("eh Di... kalau mau nginep sana aja sekalian, Bapak Ibuk nanti mau pergi...")

    "engih Ndoro.... Pardi nyuwun pamit...."
    ("iya Ndoro... Pardi pamit...") Jawabku sambil menjabat dan mencium tangan beliau berdua sebelum berangkat.

    Selesai berpamitan, sekitar jam setengah enam sore aku berangkat ke Durenan dengan menggunakan kendaraan umum. Tak berapa lama, kira kira setengah jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di Durenan di rumah Ndoro Pakdhe.

    Hari sudah selepas maghrib saat aku sampai di rumah Ndoro Pakdhe.

    "kulonuwun.... kulonuwun..." Ucap salamku beberapa kali dari luar gerbang kayu rumah Ndoro Pakdhe.

    Beberapa kali aku mengucapkan salam tapi tidak ada jawaban dari dalam rumah tersebut. Sepertinya rumah joglo dengan pohon jambu dersono besat di halam depannya itu sepi tanpa ada penghuninya sama sekali.

    Kok sepi ya...? pada kemana orang orang orang...? Tanyaku sendiri di dalam hati.

    Setelah berkali kali lagi mengucapkan salam tapi tak ada jawaban sama sekali, aku akhirnya menyerah juga. Sepertinya benar benar tak ada seorangpun di dalam rumah itu. Akhirnya aku memilih untuk menunggu di depan pintu gerbang sampai sang pemilik rumah pulang.

    Sudah hampir dua jam lebih aku menunggu, tapi masih juga belum ada tanda tanda kedatangan sang pemilik rumah tersebut.

    "jgluaaaar......" Suara kilat di langit.

    Langit malam sedang mendung dan tak ada satupun bintang sang penghias langit malam yang terlihat. Hanya sang rembulan sabit yang terlihat mengintip malu malu di sela sela mendung gelap yang berarak di angkasa malam. Tak beberapa lama kemudian akhirnya hujanpun turun juga dengan derasnya.

    Untuk menghindari guyuran air hujan, aku langsung berlari untuk mencari tempat berteduh, tapi tak satupun ku temukan tempat yang nyaman dan aman untuk bersembunyi dari siraman air hujan.

    Rumah rumah di sekitar rumah Ndoro Pakdhe semua pada berpintu gerbang rapat. Yang ada hanyalah sebuah pos siskamling yang sepertinya sudah tak terpakai lagi satu satunya tempat yang memungkinkanku untuk berteduh.

    Kencangnya hembusan angin dan kerena genting atap pos siskamling yang sudah banyak yang copot, membuatku tetap basah kuyup karena tampias air hujan yang tersapu hembusan angin. Hujan yang turun dengan lebatnya itu seakan malah bertambah semakin lebat dan belum menunjukkan tanda tanda akan berhenti. Seakan sang hujan tak sedikitpun menaruh iba kepadaku yang sedang menggigil basah kuyup kedinginan ini.

    Setelah sekitar setengah jam berbasah basah dan menggigil kedinginan, tiba tiba ada sebuah mobil Honda Civic warna hitam berhenti di depanku.

    "Pardi... ngapain kamu di situ Di...?" Suara teriakan memanggilku dari dalam mobil itu.

    Setelah sedikit kacanya terbuka, ternyata Mbak Nora yang mengemudikan mobil hitam tersebut.

    Di jok depan di samping mbak Nora, Non Ega memandangku dengan tatapan sinis. Tak terlihat sedikitpun keibaan dari tatapannya melihat keadaanku yang mengenaskan kehujanan basah kuyup seperti ini.

    "eh... mbak Nora...."
    "tadi saya di suruh Ndoro Putri buat jemput Non Ega pulang mbak..." Jawabku dengan gemetar menggigil kedinginan.

    "ya udah... kamu masuk dulu gih..." Mbak Nora mengajakku masuk kerumahnya.

    Aku kemudian mengikuti mobil hitam itu menuju gerbang rumah Ndoro Padhe dari balakang sambil berhujan hujanan ria.

    "ni... bukain gerbangnya dong..." Perintah mbak Nora sambil melemparkan sebuah kunci ke arahku.

    "hup..."

    Dengan cekatan, walau dengan badan yang menggigil kedinginan, aku tangkap kunci gerbang yang di lemparkan ke arahku itu dan langsung aku gunakan untuk membuka pintu gerbang rumah tersebut.

    "ya udah...masuk yuk...." Kata mbak Nora begitu dia selesai memasukkan mobilnya ke garasi.

    "iya mbak... matur suwun..." Jawabku dengan masih berdiri di depan pintu.

    Aku tidak langsung masuk ke rumah itu walaupun sang empunya sudah mempersilahkanku. Aku tak mau badanku yang basah kuyup ini mengotori rumah joglo nan megah ini.

    "loh.... kamu kok nggak turun sih Ga...?"
    "ayo doong... jangan kekanak kanakan gitu ah..." Kata mbak Nora sambil membuka kunci pintu rumahnya.

    Dengan terpaksa akhirnya Non Ega turun dari mobil mbak Nora dan langsung berlari masuk ke dalam rumah tanpa sedikitpun mau memandangku.

    "loh... kamu juga... kok nggak masuk sih Di..."
    "oh iya lupa.... tunggu bentar ya..." Kata mbak Nora ramah sambil beranjak masuk.

    Tak berapa lama kemudian mbak Nora keluar lagi sambil membawa sebuah handuk untukku.

    "Ini Di...." Kata mbak Nora sambil menyerahkan sebuah handuk berwarna putih kepadaku.

    "iya mbak... terimakasih..." Jawabku sambil menerima handuk tersebut dan langsung aku gunakan untuk mengeringkan tubuhku.

    "kamu langsung mandi aja sana..."
    "tar aku siapin baju gantinya... yuk masuk...."

    "iya mbak.... terimakasih...." Jawabku sambil langsung menuju ke kamar mandi belakang untuk mandi.

    Aku hafal betul seluk beluk rumah ini karena aku sering bermain ke sini bersama keluarga Ndoroku, termasuk juga dengan Non Ega.

    "Di... ini baju gantinya tak taruh di jemuran handuk ya..." Teriak mbak Nora dari luar saat aku sedang di dalam kamar mandi.

    "iya mbak.... matur suwun...."

    Selesai mandi seluruh pakaianku, termasuk celana dalam semuanya sekalian aku cuci dan aku jemur di kamar mandi, dan aku menggantinya dengan pakaian yang di berikan mbak Nora.

    Saat melihat pakaian yang di berikan mbak Nora, sebenarnya aku enggan untuk memakainya, karena ternyata mbak Nora memberiku kaos cewek yang mungkin miliknya dan sebuah sarung.

    Walaupun enggan karena pasti kelihatan lucu kalau aku memakai baju cewek, akhirnya aku pakai juga kaos itu karena sudah tak ada pilihan lain. Selesai berpakaian, dengan malu malu aku menemui mbak Nora yang sedang bersantai di ruang keluarga.

    "terima kasih pakaiannya mbak...."

    Melihatku mengenakan pakaian itu mbak Nora tersenyum menahan ledak gelak tawanya.

    "iya sama sama.... duduk Di..."
    "Pantes kamu pakai kaos itu.... cantik..." Kata mbak Nora sambil tersenyum geli.
    "itu mbak sudah bikin teh manis anget buat kamu... minum gih..."

    "iya mbak...terima kasih..."

    Belum sempat aku duduk dan meminum teh manis bikinan mbak Nora itu, tiba tiba Non Ega keluar dari kamar mbak Nora. Melihatku mengenakan kaos itu, Non Ega tak mampu lagi menahan gelak tawanya.

    "huuff...huff.. hahahahaha....." Gelak tawa Non Ega sambil berlari menuju ke dapur.

    Walau amat sangat malu, risih, dan tidak nyaman mengenakan kaos ini, mati matian aku berusaha bersikap sebiasa mungkin demi menghormati Mbak Nora yang sudah sangat baik hati memberikan kaosnya untukku.

    Sambil menikmati teh manis bikinan mbak Nora, kami berbincang bincang ringan saling menanyakan kabar karena sudah lumayan lama kami tidak bertemu.

    "eh Ga... duduk sini Ga..." Kata mbak Nora saat Non Ega melintas dan hendak kembali masuk ke kamar mbak Nora.

    "ogah...." Jawab Non Ega ketus.

    "jiaah... kekanak kanakan banget sih kamu Ga..."
    "duduk sini apa... jangan kayak bayi gitu kenapa sih..."

    "kayak kamu udah tua aja ngomongnya..." Jawab Non Ega sambil masuk ke kamar.

    Mbak Nora langsung bangkit dari duduknya dan langsung menyusul Non Ega masuk ke dalam kamar. Entah apa yang mereka bicarakan di kamar, tau tau mbak Nora sudah menarim paksa Non Ega keluar dari kamar dan memaksanya duduk di sampingku.

    "apa apaan sih kamu Ra...?!"
    "udah deh... jangan sok ikut campur kenapa sih..." Kata Non Ega melawan.

    "udah... jangan banyak ngomong..."
    "udah... duduk aja kamu di situ..." Jawab mbak Nora galak dengan tatapan melotot ke arah Non Ega.

    Aku yang tidak mengerti dengan ini semua hanya diam terbengong menyaksikan pertengkaran kecil dua gadis cantik trah Noyolesono itu.

    Karena paksaan mbak Nora, Non Ega akhirnya mau juga duduk di sampingku di sofa panjang tapi di sudut yang jauh.

    "dah... dari pada kamu tiap kesini kamu curhat dan nangis nagis terus, mending di omongin aja sekarang Ga..."
    "mumpung sekarang ada orangnya ni..." Sambung mbak Nora yang aku sudah tau apa maksud dan tujuannya.

    Ternyata Non Ega sering mencurhatkan tentang perasaannya ke mbak Nora.

    Sejenak suasana menjadi hening dan kami bertiga sama sama diam membisu. Non Ega masih diam dan tak mau sedikitpun melirik kearahku.

    "kok malah pada diam sih...?"
    "ya udah... kalau kamu nggak mau ngomong, biar aku aja yang ngomong...?"

    "Apa apaan sih kamu Ra...?"
    "udah deh ah.. jangan ikut campur napa..." Kata Non Ega berusaha mencegah mbak Nora.

    "nggak bisa... pokoknya semua harus selesai malam ini juga..." Jawab mbak Nora memaksakan kehendaknya.
    "Di... sebenarnya Ega itu suka sama kamu..." Sambung mbak Nora menyampaikan rahasia Non Ega yang sebenarnya sudah aku ketahui dari buku hariannya.

    Aku hanya diam tak berkomentar. Sementara di sampingku, jauh di sudut sofa di sebelah kiriku, pelan terdengar isak tangis Non Ega.

    "terus kamu gimana Di...?"
    "apa tanggapan kamu...?" Sambung mbak Nora menangakan tanggapanku.

    "kan sudah aku bilang Ra..."
    "si kampret ini sudah punya pacar... dia pacaran sama si munyuk Triana itu..." Sela Non Ega dengan masih terisak.

    "kamu kenapa sih Ga... kamu kasar banget ngomongnya...?"

    "ya ngapain juga aku harus halus ngomongnya..."
    "orang si munyuk ini kan cuma babu... cuma budak tau nggak...!" Jawab Non Ega dengan mempertegas kata budak sambil berlari kembali masuk ke kamar.

    Melihat kelakuan Non Ega, mbak Nora hanya tersenyum sambil menggeleng gelengkan kepala. Mbak Nora kemudian bangkit dari duduknya dan langsung menarik lenganku memaksaku masuk ke kamarnya menyusul Non Ega.

    "mbak... jangan mbak..." Kataku berusaha menolak paksaannya.

    "kamu juga... jangan rewel napa...?!"
    "udah deh nurut aja... pokoknya semuanya harus clear malam ini juga..."
    "pokoknya aku nggak mau lagi si Ega tiap ke sini nangis nangis karena kamu..." Bentak mbak Nora dengan tetap menarik lenganku.

    Aku yang tak kuasa menolak hanya bisa pasrah menuruti paksaan mbak Nora.

    Sesampainya di kamar, Non Ega sedang menangis tengkurap di ranjang dengan membenamkan kepalanya di bantal. Daster sutra tipis berwarna biru muda yang di kenakannya sampai tersingkap memamerkan bokong dan celana dalamnya tanpa di sadarinya.

    "sudah... kamu duduk di sini..." Kata mbak Nora memaksaku duduk di pinggir ranjang di samping Non Ega yang sedang menangis itu.

    "Ga... Ega... sini dulu...."
    "udah deh... gak usak pakai nangis nangisan segala..." Sambung mbak Nora sambil memaksa Non Ega bangun.

    Awalnya Non Ega mati matian berusaha melawan. Tapi karena paksaan dan kegigihan mbak Nora, akhirnya Non Ega mau juga bangkit dan duduk, tapi tetap masih dengan isak tangisnya.

    Lagi lagi aku hanya bisa terdiam. Berjuta rasa dan tanya bercampur aduk menjadi satu di dalam hatiku.
    Apa yang akan terjadi selanjutnya…?
    Pertanyaa itu yang terus menerus memenuhi fikiranku.

    "dah... sekarang kalian selesaikan ini sendiri..."
    "hanya sebatas ini aku bisa membantu..."
    "yang jelas aku nyatakan Pardi dan Ana putus terhitung dari detik ini..."
    "dan kalian berdua aku kunci semalam di kamar ini, pokoknya sampai masalah ini selesai..." Kata mbak Nora membuat pernyataan sefihak sambil melangkah keluar dan benar benar mengunci kami berdua di dalam kamar.
    "oh iya lupa... kalau kalian mau malam pertamaan juga boleh..."
    "jangan lupa bikinin keponakan yang cantik dan ganteng buat budhe Eleonora..."
    "tapi jangan lupa besok sepreinya di cuci..." Sambung mbak Nora yang di jawab Non Ega dengan lemparan bantal ke pintu.

    "jbluugh..." Suara bantal menghantam daun pintu.

    Sepeninggal mbak Nora, kami berdua hanya mematung diam membisu tak mengeluarkan sepatah katapun. Kami masih belum berani saling memandang, dan dari bibir Non Ega masih terdengar lirih suara isak tangisnya.

    Aku hanya menundukkan kepala memandangi marmer lantai kamar. Jantungku berdebar semakin kencang dan semakin bertambah kencang. Bibirku ingin, tapi seakan kelu tak mampu berucap sepatah katapun.

    Jiwaku goyah terombang ambing di antara rasa dan janji. Hatiku ragu di saat harus memilih. Hati ini sudah terlanjur berikrar janji sehidup semati, tapi hati ini juga tak mampu aku bohongi.

    Di sana Ada Triana yang sangat mencintaiku, dan disinipun juga ada Gayatri yang tak kalah besar cintanya kepadaku. Di sana Triana mencintaiku dengan kelembutan, di sini Gayatri mencintaiku dengan gayanya sendiri. Di sana aku telah berjanji, dan di sini seakan aku ingin mengingkari janji itu.

    yang terjadi biarlah terjadi.

    "Non... apa benar yang di katakan mbak Nora tadi Non..." Tanya yang akhirnya keluar dari mulutku walau penuh dengan keraguan.

    Kuberanikan diri menggenggam jemarinya dan mengangkat dagunya. Ku tatap lekat mata sayunya yang sembab penuh dengan air mata. Dengan lembut aku usap air mata itu. Non Ega masih terdiam dan masih belum mau menatapku.

    "jgluuuuarrr....!!!" Suara petir yang tiba tiba dengan kencangnya.

    Non Ega yang memang takut dengan petir itu langsung meloncat dan memelukku. Tangisnya semakin kencang di pelukanku.

    "pret... kamu jahat... kamu jahat..." Kata di sela isak tangis Non Ega yang berada di dalam pelukanku sambil memukul mukul dadaku.

    Aku hanya terdiam tak mampu menjawab dan tak mengerti maksud dari perkataan itu. Kejahatan apa yang telah aku lakukan kepadanya.

    tidakkah kamu tau Ga...? aku begini karena terpaksa... aku ke Ana hanya berlari... hanya sembunyi... aku begini karena kamu Gayatri... dan sekarang kamu kembali menghancurkan aku... di saat aku hampir bisa bersembunyi di hangatnya pelukan Ana... kamu malah datang kepelukanku...kemana kamu di saat aku menunggu pelukan itu... kenapa malah ego yang kamu tunjukkan untuk mengungkapkan rasamu... kenapa....

    Jawaban dan pertanyaan itu hanya mampu tertahan dan berkecamuk di dalam hati. Jujur aku aku saat ini aku bimbang. Aku terjebak di antara dua pilihan yang tak mudah untuk aku pilih salah satunya.

    Hari ini tanggal 1 Desember. Hari ini, malam ini juga semuanya harus selesai. Malam ini tanggal 1 Desember, malam inilah harus di tentukan masa depanku. Hari ini tanggal 1 Desember, hari inilah bagaimana aku nantinya akan mulai tercipta. Malam ini tanggal 1 Desember, malam inilah pembuktian bisakah aku menepati janji atau malah mengingkarinya. Hari ini tanggal 1 Desember, yang berarti pula Siganteng_rusuh gajian. Malam ini tanggal 1 Desember.







    BERSAMBUNG

    0 komentar

  • Online

    Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Forum Bersama Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan