- Home>
- Cerita Fantasi >
- LORO BRONTO NANDANG CIDRO PART XIV
Posted by : Jeni Ratna Sari
6 Jan 2013
Chapter XIV
KEPINGAN MISTERI
KEPINGAN MISTERI
Ucap menuduh itu begitu tajam mengoyak kewarasan, nurani, dan akal sehat. Bahkan Ndoro Kakung yang biasanya begitu arif dan bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu bisa sampai terbuai terlena karenanya. Terseret dalam gelombang angkara yang di hembuskannya.
Tidak bisakah aku sekali saja damai dan tenang menjalani hidupku, menggapai dan mewujudkan segala harapan, cinta, dan cita citaku. Kenapa malah di hari dimana seharusnya aku bisa membusungkan dada dan di akui keberadaanku dengan hasil jerih payahku yang membanggakan, tapi malah fitnah keji yang aku dapatkan bukan pujian bangga.
Tak bolehkan aku sekali saja membuat mereka bangga kepadaku.
Aku hanya ingin di hargai. Aku hanya ingin di anggap. aku hanya ingin di pandang sebagai manusia yang berarti. Aku ingin sekali saja bisa membalas jasa Ndoro yang selama ini telah sangat berjasa kepadaku. Apakah cita citaku itu terlalu berlebihan?
kenapa semua cita cita sederhanaku itu malah di hancurkan dengan sedemikian mudah dan kejamnya oleh anak gadis orang yang ingin aku balas jasanya. Kenapa iblis itu harus terlahir dalam wujud R.A Gayatri Noyolesono anak Ndoroku.
Sedalam itukan iblis telah meracunimu Gayatri?
Katanya kamu cinta, apa seperti ini cinta menurutmu?
Bukankah cinta itu seharusnya tulus menyayangi tanpa pamrih?
Sungguh aku tak mengerti dengan jalan fikiranmu Gayatti.
Setelah menerima hantaman bogem mentah yang begitu telak menghantam wajahku, aku langsung limbung terkapar tak sadarkan diri. Pukulan itu bukan saja telak menghantam wajah dan menyakiti ragaku. Tapi hantaman itu juga telak menghantam hati, angan, dan cita citaku. Meremukkan nya hancur lebur berkeping keping sampai menjadi butiran debu tak berarti.
ooouh... di mana aku...?" Kata ku dalam hati.
Aku baru tersadar dari tak sadarkan diri setelah menghirup aroma menyengat minyak angin di ujung hidungku. Aku tersadar sudah berada di dalam kamarku, terlentang di atas tempat tidurku, dengan rasa sakit, ngilu, dan memar di raga dan jiwaku.
"kamu sudah siuman le...?" Suara lembut nan hangat penuh dengan kekhawatiran dari Ndoro Putri.
Saat pertama aku membuka mata, saat pandanganku masih berkunang, wajah beliaulah yang pertama tergambar walau buram di retina mataku. Beliau duduk di tepian tempat tidur dengan menggenggam sebotol minyak angin. Tersirat jelas raut kekhawatiran di wajah anggun beliau.
Inilah pertama kali dalam hidupku aku melihat wajah beliau seperti ini. Raut wajah keibuan yang begitu penuh dengan kekhawatiran. Sama sekali hilang tak berbekas raut wajah beliau yang selama ini selalu memandangku penuh dengan dendam. Setiap ucapan, usapan, dan sentuhannya sekarang terasa begitu hangat dan menenangkan.
Dari beliaulah mungkin Non Ega mewarisi kemampuan memainkan peran watak.
"Ndoro Kakung di mana Ndoro...?"
"Pardi harus menjelaskan ini kepada beliau..." Tanyaku kepada Ndoro Putri pertama kali begitu tersadar sepenuhnya.
Aku harus menjelaskan ini semua kepada Ndoro Kakung. Jangan sampai fitnah ini semakin berlarut larut. Kebenaran harus di ungkapkan walau sulit untuk di lakukan.
"sudah... kamu istirahat saja dulu le..."
"biarkan Ndoromu menenangkan dirinya dulu sebentar..." Jawab Ndoro Putri dengan anggun dan bijaksana.
"ini teh nya Buk..." Kata Non Ega yang baru masuk ke kamarku. Di tangannya dia membawa sebuah gelas besar berisi teh manis anget dan memberikannya kepada Ndoro Putri.
Masih terlihat bekas merah tamparan Ndoro Kakung di pipinya. Ekspresinya begitu tenang dan dingin, seakan dia tidak sedang berada di dalam situasi yang genting. Dia hanya menundukkan wajah untuk menutupi kepalsuannya di hadapan Ndoro Putri.
"apa sebenarnya yang ada di dalam fikiranmu...?" Pertanyaan seperti itu langsung mengambang di benakku begitu aku melihatnya. Sebenarnya aku ingin langsung menyangkal segala tuduhannya itu di hadapan Ndoro Putri sekarang juga.
Tapi entah kenapa aku malah diam membisu tak sanggup melakukannya. Tubuhku bagaikan seonggok daging tak berdaya tanpa tulang belulang. Aku seperti terbui oleh peran wataknya yang aku tau pasti bahwa itu semua palsu adanya.
"ini di minum dulu teh nya Di..." Kata Ndoro Putri sambil menyodorkan teh manis kepadaku. Di diri beliau sekarang aku bagai menemukan sosok seorang Ibu yang selama ini tak pernah aku dapatkan.
Dengan masih menyisakan sedikit pening di kepalaku, aku memaksakan diri untuk bangkit duduk. Ku sandarkan tubuhku di sandaran tempat tidur sambil menerima teh manis bikinan Non Ega dari beliau.
"matur nuwun Ndoro..." Kataku sambil mengangguk penuh hormat saat menerima gelas beliau.
"ya sudah, tak tinggal dulu ya..."
"habisin teh nya dan kamu istirahat saja dulu..." Kata Ndoro Putri sambil beranjak dan menarik lengan Non Ega keluar dari kamarku.
Sebelum menghilang di balik pintu, Non Ega sempat menoleh ke arahku. Dengan senyuman manis khas anak iblis andalannya, dia mengacungkan jari telunjuknya kepadaku.
"satu..." Mungkin itu arti dari acungan jari telunjuknya itu.
Sepeninggal Ndoro Putri dan Non Ega, aku kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur. Pandanganku menerawang memandangi langit langit kamar. Di sana, di langit langit kamar, satu persatu bayangan dari lamunanku datang silih berganti.
Bayangan tentang gelapnya masa depanku, bayangan tentang efek berkepanjangam dari finah keji yang di alamatkan kepadaku, bayangan akan hilangnya kasih sayang Ndoro Kakung kepadaku, dan bayangan nasib Ana kekasihku. Semuanya datang saling silih berganti memenuhi lamunanku.
=========================
Rumah ini terasa sepi bagai kuburan dan panas seperti neraka. Seisi rumah seakan saling menghindari satu dengan yang lainnya. Tak terlihat lagi keramaian dan teriakan Ndoro Putri seperti biasanya. Bahkan aku tak bertemu dengan Ndoro Kakung.
Hari sudah sore saat aku bertemu dengan Non Ega. Dia kembali menyunggingkan senyum iblisnya saat bertemu denganku. Sepertinya dia begitu puas bisa menghancurkan ku, mewujudkan ancamannya waktu itu.
Dengan hanya berkemban handuk, Non Ega yang baru selesai mandi berjalan keluar dari kamar mandi dan berpapasan denganku di depan pintu menuju ke dapur.
"Non... sebenarnya mau kamu itu apa sih Non...?" Tanyaku langsung saat kami berpapasan di pintu belakang menuju dapur.
Hampir saja aku tak mampu menahan emosi yang bergemuruh di dada saat berpapasan dengannya. Kebencianku semakin kuat menenggelamkan cinta yang dulu pernah aku miliki untuknya. Menguburnya dalam dalam sampai tak bisa lagi bereinkarnasi.
"itu kan pilihan kamu pret..." Jawabnya enteng tanpa terlihat sedikit pun ekspresi di wajahnya. Raut wajahnya begitu datar, dingin, dan tenang.
Dia malah berjalan mendekat menghadapku dengan pongah dan sombong sambil membusungkan dadanya yang hanya berkemban handuk warna merah seakan menantangku. Dia berdiri dekat sekali di hadapanku, mendongak, dan menatapku dengan tajam.
"kamu kira aku main main dengan ancamanku...?"
"belum tau kamu sedang berhadapan dengan siapa...?" Katanya sekali lagi masih dengan raut wajah yang dingin dan datar.
Dari tempatku berdiri, aku bisa merasakan dengus harum nafas bidadari neraka yang penuh dengan kebencian. Dengus nafas angkara murka dari sang anak iblis.
"puas kamu hah...?!" Tanyaku lagi sambil membalas menantang menatap matanya dengan tajam.
Amarah di dadaku semakin bergemuruh mendidih. Ingin rasanya aku menampar mulutnya yang busuk itu. Sungguh sayang teramat disayang, gadis priyayi secantik dan seanggun dia harus berhati busuk seperti ini. Dia tak lagi seperti iblis, tapi malah iblis itulah yang seperti dia.
"ini baru awal permulaan pret..."
"gila... untuk apa kamu melakukan ini semua...?" Jawabku sambil dengan sungging senyum heran melihat wataknya.
Dia hanya membalas tersenyum tak menjawab lagi. Dengan masih menyisakan tatapan tajam dan ekspresi datarnya, dia melangkah masuk ke dapur meninggalkanku yang semakin heran dengan sifat iblis dirinya dan gemuruh amarah di dadaku.
Tak kuasa lagi menahan diri, aku mengejarnya sampai di dapur. Dengan kasar ku tarik bahunya berputar menghadapku. Saking kasarnya tarikanku, handuk merah yang di kenakannya sampai jatuh terlepas dari tubuhnya. Sekarang dia berdiri telanjang bulat di hadapanku, karena teryata di balik handuk merah yang di kenakannya dia tak mengenakan apa apa lagi.
Tubuh polos gadis cantik setingkat para dewi dewi khayangan yang seharusnya membangkitkan gemuruh birahi tersaji di pelupuk mataku. Tapi amarah di dada terlalu besar, sehingga mematikan segala hasrat ketertarikan nafsuku terhadap tubuh polos telanjangnya yang berdiri di hadapanku. Aku sudah mati rasa, hatiku sudah membatu.
"heh... sebenarnya salahku ke kamu itu apa sih...?!" Tanyaku saat menarik bahunya dan memutar tubuhnya menghadapku.
Masih dengan ekspresi dingin tanpa dosa, dia berusaha membungkuk untuk mengambil handuknya yang terjatuh di lantai. Sungguh tenang sekali gerak ekspresinya. Begitu dingin dan datar tanpa sedikitpun emosi terpancar di sana.
Semakin di kuasai amarah, ku raih tubuh telanjangnya yang hendak membungkuk mengambil handuk itu dan ku pepetkan di tembok. Tangan kananku mencekik lehernya dan hampir saja aku khilaf mencekiknya sampai mati.
Ku perlakukan kasar seperti itu, mimik mukanya masih saja dingin dan tenang tanpa ekspresi. Sepertinya dia sama sekali tak memiliki rasa takut kepadaku. Sepertinya dia memang sudah siap menghadapi amarahku seperti ini. Bahkan dia sepertinya juga sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.
"uhuk... uhuk uhuk..."
"kamu mau membunuhku, monggo silahkan..."
"lakukan apa yang bisa memuaskanmu... hayooo..." Katanya dengan terbatuk batuk sambil malah semakin menantang tanpa sedikitpun berusaha berontak ataupun melawan. Dia malah merentangkan tangannya mempersilahkanku melakukan apa mauku.
Untung saja aku bisa menguasai diri. Untung saja akal sehatku belum hilang. Dan untung saja aku tidak sampai mencekiknya sampai mati. Begitu sadar, ku hempaskan tubuhnya membentur tembok dan pergi meninggalkannya.
"gabruk..." Tubuh mungil telanjangnya terpental terdorong kebelakang menabrak tembok dan jatuh tersimpuh di lantai.
Ku hempaskan sekasar itu menghantam tembok, dia seperti tak merasakan sakit sedikitpun. Dia hanya menengadahkan wajahnya menatapku. Kembali tersungging senyuma setan di bibir manisnya.
"dasar setan kamu Ga..." Umpatku sambil berlalu meninggalkannya.
"jebruaat...!" Aku sempat menghantam tembok dengan tinjuku untuk sedikit melampiaskan amarahku yang semakin mendidih di ubun ubun.
=========================
Malam harinya aku tak bisa memejamkan mataku. Perasaanku bercampur aduk tak menentu, antara sedih, marah, dan takut bercampur menjadi satu.
Aku tak mengerti dan semakin tak mengerti dengan diriku sendiri. Aku tak tau kenapa aku bisa mempunyai rasa takut seperti ini. Seharusnya aku tak memiliki rasa ini karena aku tau pasti kalau aku tak bersalah.
"kenapa aku kok merasa takut...?" Tanyaku dalam hati heran dengan diriku sendiri.
Kumatikan lampu kamarku. Dalam pekat kegelapan kamar, ku coba mencari ketenangan jiwa. Aku mencoba berbicara sendiri untuk sedikit mengurangi beban kesedihanku. Ku coba mengguratkan kesedihanku dalam alunan kidung puitis.
Sendiri aku dalam kegelisahan
Meratapi kehidupan yang tak menentu
Kadang bersedih dan terkadang berbahagia
namun kini kesedihan yang sedang aku alami
Terpaku dalam problema hidup yang sangat berat
Tersayat tajamnya ujung lidah anak manusia
Ku mencoba tegar menghadapi semua ini
Namun apa daya ku, aku yang lemah
Aku tak berdaya dan tak mampu lagi menanggung nya
Beban yang aku jalani terlalu berat di pundakku
Hanya do'a yang ku panjatkan kepada-Nya
Hanya sabar yang bisa ku lakukan untuknya
Meratapi kehidupan yang tak menentu
Kadang bersedih dan terkadang berbahagia
namun kini kesedihan yang sedang aku alami
Terpaku dalam problema hidup yang sangat berat
Tersayat tajamnya ujung lidah anak manusia
Ku mencoba tegar menghadapi semua ini
Namun apa daya ku, aku yang lemah
Aku tak berdaya dan tak mampu lagi menanggung nya
Beban yang aku jalani terlalu berat di pundakku
Hanya do'a yang ku panjatkan kepada-Nya
Hanya sabar yang bisa ku lakukan untuknya
Tak terasa air mataku menetes. Tak terasa aku menangis. Aku merasa sendiri, merasa kosong, merasa hampa sebatang kara. Aku merasa tak memiliki siapa siapa di dunia ini. Tak ada tempat bagiku sekedar untuk mengadu berkeluh kesah.
Tepat tengah malam, tiba tiba saja di luar rintik hujan mulai turun di iringi kilatan dan gemuruh guntur bersahutan. Aneh karena hujan tiba tiba turun di musim kemarau seperti ini. Pekat langit malam seakan turut menangis sedih meneteskan hujan meratapi deritaku.
Entah dorongan dari mana, perlahan aku keluar dari kamar menuju ke halaman belakang. Di tengah malam saat turun hujan itu aku berdiri di tengah tengah halaman bermandikan air hujan. Ku tengadahkan wajahku menyambut tetesan air hujan yang semakin deras.
Sebenarnya aku masih menangis. Sebenarnya air mataku masih menetes tapi tersamarkan deras hujan yang turun membasuh mukaku. Aku berteriak sekeras kerasnya tanpa ada satupun manusia yang akan mendengarnya karena tersamar gelegar sang guntur yang bergemuruh.
"aaaaaaaaaaaa....!!!" Aku berteriak sekencang kencangnya berusaha menyaingi gemuruh sang guntur.
Wahai langit, wahai malam, wahai kelam
Gelap mu menyembunyikan bintang bintang
Hitam mu menghapus cahaya sang rembulan
Wahai langit, wahai malam, wahai kelam
Kesunyian mu membuai kesedihan
Hening mu menenangkan angkara
Duhai hujan, duhai sang halilintar
Deras mu membiaskan tetes air mataku
Gemuruh mu mengaburkan isak tangisku
Duhai hujan, duhai sang halilintar
Apakah kalian juga turut bersedih?
Apakah hujan yang turun adalah air mata mu?
Apakah gemuruh guntur adalah isak tangismu?
Duhai hujan, duhai sang halilintar
Iringi tetes air mataku dengan derasmu
Temani tangisku dengan gemuruhmu
Wahai langit, wahai malam, wahai kelam
Gelap mu menyembunyikan bintang bintang
Hitam mu menghapus cahaya sang rembulan
Wahai langit, wahai malam, wahai kelam
Kesunyian mu membuai kesedihan
Hening mu menenangkan angkara
Duhai hujan, duhai sang halilintar
Deras mu membiaskan tetes air mataku
Gemuruh mu mengaburkan isak tangisku
Duhai hujan, duhai sang halilintar
Apakah kalian juga turut bersedih?
Apakah hujan yang turun adalah air mata mu?
Apakah gemuruh guntur adalah isak tangismu?
Duhai hujan, duhai sang halilintar
Iringi tetes air mataku dengan derasmu
Temani tangisku dengan gemuruhmu
Wahai langit, wahai malam, wahai kelam
Dalam tangis aku bersimpuh di tanah bermandikan air hujan. Kedamaian yang ku cari tak bisa ku temui. Aku mencari damaiku dalam gelap malam, bahkan di bawah hujan, tapi tetap saja tak dapat ku temui. Semakin aku mencari semakin aku kosong. Semakin aku hampa sebatang kara. Semakin aku sendiri.
Tiba tiba aku merasa ada seseorang di belakangku dan tangan yang menyentuh pundakku. Tangan itu terasa begitu dingin menyentuh pundakku. Ku lihat sebuah tangan tua keriput yang kering. Sepertinya deras air hujan tak mampu membasahinya.
Aku yakin kalau yang sedang di belakangku itu adalah manusia, bukan makhluk astral ataupun sejenisnya. Karena tak ku rasakan bulu kuduk ku merinding dengan kehadirannya di sini bersamaku.
"bangun ngger..." Suara parau perempuan tua di belakangku itu.
Bagaikan terbuai, aku langsung berdiri dan berbalik menghadapnya. Bercampur antara bingung, terkejut, sekaligus heran setelah aku mengetahui siapa yang ada di belakangku itu. Di bawah kilatan cahaya halilintar aku dapat mengenali seraut wajah keriput tua renta tersebut.
Mbah Sinem
Iya, perempuan tua renta itu adalah Mbah Sinem. Sang dukun beranak yang menurut legenda masyarakat kampung sini sudah berusia lebih dari seratus tahun.
Tapi kenapa Mbah Sinem malam malam seperti ini ke sini?
Seakan tak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Tubuh tua renta berkebaya itu tetap kering tak terbasahi air hujan. Sepertinya tetes air hujan dan genangan nya enggan menyentuh tubuh renta beliau.
"Mbah Sinem... ko Mbah ada di sini Mbah...?" Tanyaku terbata bata setengah gemetaran antara percaya dan tidak percaya melihat apa yang ada di hadapanku.
Ingin aku meyakini kalau yang sedang di hadapanku ini bukan Mbah Sinem, bukan manusia. Tapi sekali lagi akal sehat dan logikaku masih berperanan. Tak ku rasakan merinding dan berdirinya bulu kuduk sebagaimana mitos akan kehadiran makhluk gaib atau sejenisnya.
"ayo ikut ngger...." Kata beliau pendek. Si Mbah Sinem kemudian menggandeng lenganku untuk mengikuti langkah kakinya. Kakinya masih berpijak di bumi, tapi genangan air hujan seakan menghindari setiap pijakan kakinya.
Aku mengikuti langkah kakinya dua langkah di belakang. Ternyata beliau berjalan menuju ke arah gudang yang tak jauh dari kandang. Tak jauh dari posisiku bermandikan air hujan.
Mungkin beliau mengajak ku berteduh.
Sesampainya di depan gudang, kembali keanehan terjadi. Seakan tak percaya tapi ini nyata adanya. Pintu gudang yang terkunci dan hanya Ndoro Kakung yang memegang kuncinya itu tiba tiba saja terbuka dengan sendirinya. Walau gelap gulita tanpa cahaya sedikitpun, tapi mataku dapan melihat dengan jelas ke dalam gudang.
Mbah Sinem terus menggandeng lenganku masuk ke dalam. Sebenarnya hati kecilku ingin menolak ajakan si Mbah itu. Tapi entah kenapa kakiku seakan berjalan sendiri tak selaras dengan diriku. Gerak motorik kakiku seakan membangkang kehendak hatiku.
Mbah Sinem menuntunku menuju ke arah kotak kayu misterius yang pernah aku buka waktu itu. Kotak kayu berukiran indah dari kayu jati yang menggetarkan hati saat aku menyentuhnya. Kotak kayu yang di dalamnya ada sebuah lukisan perempuan misterius mirip Non Ega.
Sesampainya di depan kotak kayu jati berukir itu, keanehan yang tak bisa di nalar dengan akal sehat kembali terjadi. Tiba tiba saja kotak kayu tersebut terbuka dengan sendirinya. Setelah terbukanya kotak kayu itu, bulu kuduk ku langsung berdiri merinding. Aku merasakan kehadiran makhluk lain di sini selain kami berdua. Makhluk yang sama yang pernah aku rasakan waktu itu.
Aku merasakan bahwa makhluk yang entah apa dan bagaimana wujudnya itu sedang berdiri di sini bersama kami. Aku juga dapat merasakan bahwa dia sedang memandangku dan berusaha menyentuhku.
Ku sapukan pandanganku ke sekeliling ruangan ini. Ku buka pupil mataku sebesar besarnya berusaha mencari sosok gaib yang ku rasakan. Tapi percuma saja. Selebar apapun aku membuka mata, tetap saja aku tak bisa melihat sosok itu. Hanya indera batinku saja yang bisa merasakan keberadaannya.
"maju sini ngger..." Kata Mbah Sinem menyuruhku semakin mendekat.
Mendengar itu, aku yang berada dua langkah di belakangnya langsung maju mendekat dan berdiri di samping beliau. Hangat, itu yang aku rasakan saat berada di dekat kotak kayu itu. Dingin badanku yang basah kuyup kehujanan seakan menguap seketika.
"ngapain kita ke sini Mbah...?" Tanyaku penasaran begitu mendekat.
Tak menjawab pertanyaanku, Mbah Sinem kemudian membungkuk dan mengambil lukisan perempuan mirip Non Ega yang pernah aku lihat waktu itu. Beliau membalik lukisan itu dan menunjuk sebuah tulisan yang berada di belakangnya.
Dalam pekat kegelapan gudang tanpa ada satupun penerangan yang menyala di dalamnya, aku bisa dengan jelas membaca tulisan itu.
Sulasmi Iya, di balik lukisan itu tergurat indah sebuah nama Sulasmi.
Siapa sebenarnya Sulasmi...?
Setelah menunjukkan nama yang tertera di belakang lukisan itu, Mbah Sinem menaruh lukisan itu kembali ke tempatnya semula. Setelah mengembalikan lukisan bergambar Non Ega versi klasik itu, Mbah Sinem kemudian mengambil sebuah kotak kecil yang terbungkus kain kafan yang berada paling atas di antara tumpukan barang yang berada di dalam kotak kayu jati itu. Tangan renta si Mbah menyodorkan kota berbungkus kain kafan itu kepadaku.
"semua ada di sini ngger..." Kata Mbah Sinem dengan suara parau renta nya sambil menepuk kotak itu.
"memang kotak itu isinya Mbah...?"
Beliau tidak menjawab lagi. Beliau kembali meletakkan kotak berbungkus kain kafan itu kembali ke tempatnya semula.
"sudah... sekarang kamu bangun nger..." Kata aneh si Mbah yang menyuruhku bangun.
Bangun dari mana?
Tiba tiba saja gudang yang tadinya terang walau tanpa satupun penerangan itu tiba tiba saja menjadi gelap. Mataku tak bisa melihat sama sekali. Tubuhku terasa ringan seakan mengambang tak memijak bumi.
"gdeblugh..." Tiba tiba tubuhku terjatuh.
Dalam keremangan aku berusaha menggapai ke sekelilingku mencari pegangan. Dan lagi lagi antara percaya tak percaya, gapaian tanganku menyentuh pinggiran ranjang. Aku ingin tak mempercayai indera perabaku sendiri. Aku berusaha tetap meyakini kalau aku sedang berada di dalam gudang bersama si Mbah Sinem sang dukun beranak.
Mau percaya tidak percaya, kenyataannya tanganku benar benar menggapai pinggiran ranjang. Dengan rabaan tangan dan hafalan, aku berdiri dan meraih saklar menyalakan lampu kamar.
"byaar..." Lampu kamar menyala memancarkan sinar terang benderang menerangi seisi kamar.
Setelah lampu kamar menyala, mau tak mau aku harus percaya dengan pandangan mataku. Aku benar sedang berada di kamarku. Kejadian tadi seakan bagaikan mimpi tapi sekaligus juga nyata karena tubuhku benar benar basah kuyup air hujan. Di luar sana masih terdengan deras rintik hujan yang turun.
Masih terombang ambing di antara percaya tak percaya, tiba tiba indera pendengaranku mendengar sayup suara kidung di antara deras air hujan. Alunan kidung itu terasa begitu misterius dan mistis terdengar di tengah malam saat hujan lebat seperti ini. Bulu kudukku seketika berdiri merinding.
Ku pusatkan indera pendengaranku mencoba menghafal suara siapa yang sedang berkidung di luar sana itu. Dan lagi lagi entah untuk yang keberapa kalinya, percaya tak percaya aku harus percaya. Aku hafal betul dengan suara yang sedang berkidung di luar sana itu.
Mbah Sinem.
Iya. Suara parau renta yang sedang berkidung itu adalah suara Mbah Sinem. Perlahan suara itu terdengar semakin lirih, semakin lirih, semakin lirih, dan menghilam tenggelam rintik suara hujan. Sepertinya si Mbah pengidung itu sedang berjalan menjauh.
"berarti semua yang baru terjadi ini nyata..."
"berarti tadi benar aku sedang bersama Mbah sinem di gudang...
"apa artinya ini, dan apa hubungannya dengan Mbah Sinem....?" Tanyaku dalam hati sambil mencoba mengingat ingat detail kejadian yang bias antara nyata dan mimpi yang baru saja aku alami.
Ku lihat jam masih menunjukkan pukul setengah dua malam yang berarti juga masih tengah malam. Sama seperti waktu pertama aku membuka kotak kayu di gudang dulu. Sekarang aku juga kembali tak berani memejamkan mata apalagi mematikan lampu. Aku takut makhluk itu akan datang ke sini saat aku terpejam atau mematikan lampu.
Semalaman aku berusaha menelaah semua yang baru saja terjadi. Berusaha menyambung satu persatu kepingan kepingan misteri ini. Ku coba mencari kaitan antara Keluarga Ndoroku, aku, lukisan dalam kotak kayu itu, dan Mbah Sinem.
Sejenak aku lupa akan masalah dan fitnah Non Ega kepadaku. Sementara isi fikiranku hanya mencari jawaban antas kepingan misteri ini dan hubungannya denganku. Lelah mencari tanpa jawaban, tak terasa mataku terpejam dengan sendirinya. Aku tertidur dengan tubuh masih basah hujan.
=========================
Tidurku yang hanya sekejapan mata tidak begitu nyenyak. Seiring kumandang adzan subuh aku sudah terjaga. Begitu membuka mata aku langsung mengerjakan tugas rutinku, baru kemudian mandi setelah itu. Tak ku temui satupun penghuni rumah ini sampai aku selesai mengerjakan semuanya.
Keadaan semakin aneh dan tidak kondusif.
Sekitar jam sembilan pagi, secara berturut turut datang semua keluarga trah Noyolesono. Di awali dengan Kedatangan Mbak Nora, kemudian di susul Ndoro Pakdhe dan Budhe Hana beserta Banu anak bungsunya. Lima belas menit kemudian menyusul datang Kanjeng Eyang Kakung dan Eyang Putri.
Aku tau, kedatangan mereka semua ke sini pasti untuk membahas berita soal kehamilan Non Ega. Aku juga tau bahwa aku pasti akan di sidang karena Non Ega menuduhkan kalau yang menghamilinya adalah aku.
Aku sedang berada di dalam kamarku. Aku berdiri mengaca di depan cermin besar di lemari pakaianku. Ke hela nafas dalam dalam menguatkan diri untuk menghadapi semua yang akan terjadi.
"tok tok tok..." Suara ketukan di pintu kamarku.
"Pardi... di panggil Eyang ke ruang keluarga..." Panggil Ndoro Putri dari luar kamarku.
"enggih Ndoro... sebentar..." Jawabku sambil bergegas merapikan diriku sebelum menemui Eyang Kakung.
Selesai merapikan diri aku langsung menemui Kanjeng Eyang Kakung di ruang keluarga. Sesampainya di sana aku langsung berjalan berjongkok tiga langkah dan menghaturkan sembah sungkem kepada beliau dan Eyang Putri.
"menghaturkan sembah sungkem Kanjeng Eyang..." Sembah sungkemku sambil berlutut dan mengatupkan kedua telapak tanganku.
"iyo ngger... tak tompo sembah sungkem mu..."
("iya nak... aku terima sembah sungkem mu...") Jawab Eyang Kakung dengan suara baritonnya yang penuh wibawa sambil mengusap kepalaku.
Selesai menghaturkan sembah sungkem kepada Eyang Kakung, aku melanjutkannya dengan melakukan hal serupa kepada Eyang Putri. Kemudian ku lanjutkan lagi dengan hanya menjabat dan mencium tangan Ndoro Pakdhe dan Budhe Hana.
"iyo wis... lungguh kene ngger sanding eyang..."
("iya sudah... duduk sini nak samping eyang..." Kata Eyang Putri yang terdengar bagaikan mimpi di siang bolong bahwa beliau menyuruhku yang hanya seorang abdi untuk duduk sejajar dengan mereka para priyayi.
Aku tak langsung menuruti perintah Eyang Putri itu. Ku sapukan pandanganku ke sekeliling, terutama ke arah Ndoro Kakung meminta suatu tanda atau isyarat persetujuan dari beliau. Tatapan Ndoro Kakung masih begitu tajam penuh amarah menatapku. Kelihatan sekali bahwa beliau sangat kecewa kepadaku.
"ayo ngger... duduk sini..." Sambung Eyang Kakung sambil menepuk sofa di antara beliau dan Eyang Putri.
"Pardi Kom, ga zitten dekat Eyang..."Kata Budhe Hana menambahi dengan logat bule dan bahasa yang bercampur aduk.
Setelah menerima isyarat persetujuan dari Ndoro Kakung tersebut, perlahan aku bangkit dari duduk bersimpuh dan duduk di tempat di mana tadi di tunjukkan Eyang Kakung, di tengah tengah antara beliau dan Eyang Putri.
Seperti mimpi aku duduk di tengah tengah Eyang Kakung dan Eyang Putri, dan duduk sejajar dengan mereka para priyayi.
"panggil Ega keluar Buk..." Perintah Ndoro kakung kepada Ndoro Putri.
"iya Pak..." Jawab Ndoro Putri sambil beranjak dan masuk ke kamar Non Ega.
Tak berapa lama kemudian Ndoro Putri keluar lagi dan menggandeng Non Ega bersamanya. Non Ega kemudian duduk tepat di hadapanku di tengah tengah kedua orang tuanya.
Jantungku berdebar cemas menunggu apa yang akan terjadi. Setelah Non Ega duduk di antara mereka, tanpa menunggu lama, Kanjeng Eyang Kakung selaku sesepuh keluarga ini langsung membahas soal kehamilan Non Ega dan tuduhannya kepadaku.
"apa benar apa yang di katakan Gayatri itu le..." Tanya Kanjeng Eyang Kakung menanyakan kebenaran kepadaku.
"nyuwun sewu Kanjeng Eyang... saya tidak melakukan apa yang di tuduhkan Non Ega itu Eyang... saya tidak berani..." Jawabku menyangkal tuduhan itu sambil menunduk hormat dan mengatupkan kedua telapak tanganku.
"bener Di... kamu jangan bohong ngger..." Sambung Eyang Putri meyakinkan.
"benar Eyang... Pardi tidak berani melakukan itu Eyang..." Jawabku sekali lagi meyakinkan beliau.
Semua yang ada di ruangan ini saling bertatapan mendengar penyangkalanku, terutama Ndoro Kakung dan Ndoro Putri. Beliau berdua seakan bimbang harus percaya ke siapa. Percaya ke aku atau ke Non Ega, anaknya.
"benar yang di katakan Pardi itu Gayatri...?" Sambung Ndoro Kakung dengan menatap tajam Non Ega.
"iya ndok... kamu jangan bohong loh ndok..." Ndoro Putri menambahi sambil sibuk nginang.
"sebelumnya maaf untuk semuanya karena Ega telah membuat aib di keluarga ini..."
"tapi apa yang Ega katakan ini benar, Pardi lah ayah dari bayi yang Ega kandung ini..." Jawab Non Ega menyakinkan kebohongannya setelah dia bisa memantapkan dan menguatkan mentalnya.
"Non... tolong jangan bohong Non... kasihani Pardi Non..."
"tolong Non Ega jangan fitnah saya seperti ini..." Sanggahku mencoba memohon kejujuran dari Non Ega.
Saat aku sibuk memohon kepada Non Ega untuk tidak berbohong dan mengatakan kejujuran yang sebenarnya, tiba tiba saja Mbak Nora ikut menyela.
"sudahlah Di, kamu akui saja dan nggak usah mengelak lagi..."
"sebelumnya maaf untuk semuanya, terutama Pak lik dan Bu lik..."
"semua ini berawal dari keisengan Nora. Nora yang bersalah sampai bisa terjadi kejadian seperti ini..." Sela Mbak Nora memojokkan ku.
Semua mendengarkan cerita Mbak Nora itu dengan seksama. Cerita itu sepertinya cukup ampuh untuk membangun opini di benak mereka bahwa benar akulah yang menghamili Non Ega.
"jadi sudah lah Di... nggak ada gunanya lagi berbohong..."
"toh semuanya sudah terlanjur terjadi..." Kata Mbak Nora di akhir ceritanya.
"tapi kenyataan nya bukan seperti itu Mbak..." Sangkalku.
"sudah nger sudah... cukup..." Potong Eyang Kakung.
Sepertinya semua sudah sependapat seperkiraan dengan Mbak Nora. Sepertinya ini memang sudah di rencanakan Non Ega dengan rapi dari awal. Non Ega menggunakan Mbak Nora sebagai saksi dan penguat alibinya untuk memojokkan ku. Membuatku tak mampu lagi walau sekuat apapun berusaha menyangkal. Mumbuat dusta ini seakan begitu Nyata dengan bukti otentik berwujud Mbak Nora.
Sungguh cerdik kamu Gayatri.
"mau gimana lagi ngger, saksi dan bukti sudah ada dan meyakinkan..."
"kamu sudah tidak bisa mengelak lagi le..." Kata Kanjeng Eyang Kakung sambil menepuk pundakku. Tak terlihat sama sekali raut kemarah di wajah beliau. Terlihat bahwa umur telah mematangkan kearifan dan kebijaksanaan beliau dalam menyikapi suatu permasalahan.
"uwis to ngger... ora usah wedi wedi..."
("sudah to nak... gak usah takut takut...")
"Eyang ora nesu kok le... wong wis kadung kebacut kedaden, yo wis arep di kapakne meneh to..."
("Eyang tidak marah kok nak... orang sudah terlanjur terjadi, ya sudah mau di apain lagi toh...") Sambung Eyang Putri tak kalah arif dan bijaksananya.
"ya uwis kalau begitu... berarti Ega sama Pardi kita nikahkan saja..." Sambung Ndoro Pakdhe mengusulkan solusi praktis.
"tidaak...!!!" Kata Ndoro Kakung dan Ndoro Putri menolak usulan itu setengah berteriak hampir bersamaan.
Semua saling berpandangan heran mendengar penolakan beliau berdua. Terutama Kanjeng Eyang yang seakan tak mengerti dengan jalan fikiran anaknya itu.
"maksud kalian itu gimana toh...?"
"anakmu hamil, dan wis terbukti pardi yang menghamili..."
"kok kalian ndak setuju kalau mereka di nikahkan...?"
"maksud kalian berdua itu apa sebenarnya...?" Tanya Eyang kakung tak mengerti dengan maksud penolakan itu.
Sejenak suasana berubah hening. Ndoro Kakung dan Ndoro Putri saling berpandangan seakan sedang menyelaraskan hati dan pemikiran mereka.
"apa tidak ada solusi lain lagi...?" Kata Ndoro Putri menanyakan solusi alternatif selain harus menikahkan kami.
"dat in Nederland, hamil di luar nikah is het gebruikelijk, itu sudah umum..."
"tapi masalahnya ini kita in Java, in the eastern culture..." Sambung Budhe Hana dengan logat kebuleannya berusaha ikut meyakinkan kedua Ndoroku.
Terjadilah perdebatan sengit empat lawan dua mengenai iya dan tidaknya menikahkan aku dengan Non Ega. Sedangkan aku sebagai korban -menurut mereka aku oknum- tak mampu dan berani menyela mereka. Aku hanya diam harap harap cemas menunggu hasil perdebatan itu atas nama toto kromo dan unggah ungguh. Di sinilah akhir dari ceritaku, akhir dari hidupku, menunggu hasil dari perdebatan para Ndoroku, karena aku hanyalah seorang abdi.
Seorang abdi, seorang abdi harus bisa tersenyum di hadapan tuannya walau menderita.
Seorang abdi harus menurut, tunduk, dan patuh pada kehendak tuannya.
Seorang abdi hanya punya raga tanpa jiwa, tak punya cinta apalagi cita.
Seorang abdi tak punya hak untuk menentukan takdirnya atau jalan hidupnya.
Seorang abdi terlahir hanya untuk melayani, tercipta hanya untuk pijakan kaki.
BERSAMBUNG
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 komentar