- Home>
- Cerita Fantasi >
- LORO BRONTO NANDANG CIDRO PART VII
Posted by : Jeni Ratna Sari
4 Jan 2013
Chapter VII
KUSUMO ATI
KUSUMO ATI
>>>Baca Kisah Sebelumnya>>>
Hidup ini indah dan hidup ini penuh warna. Dunia semakin semarak penuh warna dengan adanya cinta. Bahkan mataharipun berpijar demi atas nama cinta. Semua yang ada di dunia ini ada karena adanya cinta. segalanya mengatas namakan dan mengagungkan cinta.
Semenjak tanggal 31 Agustus yang bertepatan dengan ulang tahun kota, mulai saat itu juga aku menyerahkan jiwa ragaku utuh kepada yang namanya cinta dan asmara. Janji ikrar setia tanpa kata telah menyatukan kami dua insan yang berbeda di dalam satu ikatan cinta. Semoga aku bisa menjaga cinta ini sampai aku menutup mata.
Hari ini seperti biasa, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku harus terlebih dahulu menyelesaikan tugas wajibku di rumah. Tapi entah kenapa semenjak malam pertama itu aku menjadi lebih bersemangat lagi.
Pekerjaan pekerjaan rutinku yang sebenarnya sangat berat itu bisa aku kerjakan dengan cepat dan riang gembira. Sekarang tak ku rasakan lagi yang namanya mengeluh dan bersedih.
Bentakan, cacian dan makian yang seperti biasa selalu meluncur dari mulut Ndoro putri dan Ndoro Ayuku sekarang tak lagi bisa menyakiti hatiku. Aku tetap bisa tersenyum walau sehebat apa mereka berdua menghina dan melecehkanku.
Setelah selesai mengerjakan tugas rutin setiap pagi, aku cepat cepat mandi dan segera berpamitan berangkat ke sekolah setelah terlebih dahulu sarapan.
Segera aku menemui Ndoro Kakung dan Ndoro Putri yang setiap pagi selalu duduk duduk santai di kursi rotan di teras depan. Seperti hari hari biasanya, saat aku akan berpamitan pasti ndoro kakung sedang sibuk bermain dengan burung perkutut kesayangannya.
"tuuut.... tuut... tut... tut...tut.. tut...." Suara nyanyian sang burung perkutut seperti biasanya di pagi hari.
"nyuwun sewu Ndoro..."
"Pardi nyuwun pamit bade bidal sekolah...."
(" Pardi pamit berangkat ke sekolah....") Rutinitas pamitanku kepada Ndoro Kakung dan Ndoro Putri sambil menjabat dan mencium tangan beliau berdua seperti biasanya.
"yo ngger.... ngati ati...."
(" ya nak.... hati hati....")
"sinau sing pinter yo ngger...."
("belajar yang pintar ya nak...") Pesan Ndoro Kakung seperti biasanya saat aku menjabat dan mencium tangan beliau.
Selesai berpamitan, aku segera mengayuh sepeda jengki inventarisku menuju ke sekolah dengan penuh semangat.
Disaat dunia dan semua terasa biasa biasa saja, tapi aku dan hatiku malah terasa luar biasa. Hatiku berbunga bunga setiap kali menyambut pagi dan bersepada berangkat ke sekolah seperti ini.
Ini semua karena Triana. Aku bersemangat menjalani hari hanya demi alasan semoga hari cepat beranti pagi dan aku cepat kembali berangkat ke sekolah. Karena di sekolah nanti aku akan kembali bertemu dengannya.
Sambil mengayuh sepedah jengki, sepanjang perjalanan aku tersenyum senyum sendiri. Anganku melayang menghayalkan saat saat indah berjumpa dengan kekasihku nanti disekolahan.
Keasikan melamun dan berhayal, tanpa aku sadari aku sudah sampai di sekolah. Setelah memarkirkan sepedaku dan berjalan di koridor sekolahan, aku langsug di sambut cium dan peluk hangat dari kekasihku yang ternyata sudah datang terlebih dahulu.
"pagi sayangku yang ganteng...."
"mmmmuuuaah...." Sapa mesra Ana sambil memeluk dan mendaratkan sebuah kecupan mesra di pipiku.
"pagi juga sayang...."
"mmmmuuuaah..." Balasku sambil turut juga mendaratkan sebuah kecupan mesra di pipinya.
Perlahan namun pasti aku mulai berubah. Aku bukanlah Pardi yang dulu di kenal. Pardi yang sekarang lebih berani membuka diri mengekspresikan dirinya. Pardi yang sekarang lebih terbuka dan semua itu karena Ana.
"yang.... ke kantin yuk...." Ajak Ana sambil menggelayut mesra di lenganku.
Aku lirik sejenak jam dinding yang terpajang di aula sekolahan sebelum menyetujui ajakan Ana. Jam masih Menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, yang berarti masih ada waktu setengah jam sebelum di mulainya proses belajar mengajar.
"ayuk..." Jawabku mengiyakan ajakan Ana.
Langsung kami berjalan menuju ke kantin yang terletak di halaman belakang sekolahan bersebelahan dengan lapangan basket. Sepanjang perjalanan menuju kantin, Ana masih saja menggelayut dengan manjanya di lenganku.
Kami sudah tak memperdulikan beberapa pasang mata yang memandang heran, heran, atau mungkin juga sinis dengan kemesraan kami yang begitur berani di depan umum dan sedemikian cepatnya terjalin.
"buk... teh manis anget kaleh nggeh...."
("buk... teh mnis anget dua ya...") Teriak Ana ke ibu kantin sambil berjalan menceri tempat duduk yang nyaman.
Setelah menemukan tempat duduk yang nyaman di undak undakan lantai kantin, kami berdua langsung kembali larut dalam obrolan ringan penuh cinta. Dan tak lama berselang teh manis pesanan kamipun datang.
"teh nya mbak...." Kata si ibu kantin sambil meletakkan dua gelas teh manis anget di samping kami.
"oh... iya buk... terimakasih ya..." Jawabku mewakili Ana.
Setelah itu kami kembali larut dalam pembicaraan dan canda tawa sepasang insan yang tengah kasmaran.
Tak selamanya kami bisa sebebas dan sebahagia ini tanpa ada gangguan. Saat kami sedang asik bercengkrama tiba tiba saja muncul Non Ega yang memang amat sangat tidak suka melihat kedekatan kami.
"heh babu... sini kamu....!!!"
"babu aja kok pakek sok sokan pacaran....!!!"
"sini cepet kampret...!!!" Lengkingan teriakan Non Ega yang memekakkan telinga.
Hampir aku beranjak berdiri dan memenuhi panggilan Ndoro Ayuku itu sebalum Ana menarik lenganku mencegahku.
"udah biarin aja...." Cegah Ana menahanku memenuhi panggilan Non Ega.
mengetahui aku tak mengindahkan panggilannya, Non Ega semakin marah dan emosi. Dengan raut penuh emosi Non Ega mendekati kami dan langsung menendang gelas teh manis kami sampai gelas itu melayang tumpah dan pecah berkeping keping.
"jlaaag...." suara tendangan Non Ega.
"praaang...." Suara denting pecahan gelas.
Tak terima dengan ulah Non Ega yang sudah amat sangat keterlaluan itu, Ana segera bangkit dari duduknya dan langsung menantang konfrontasi dengan Non Ega.
"heh setan.... sopan dikit dong kalau jadi setan...."
"kenapa sih kamu.... cemburu kamu ya...?" Hardik Ana sambil berkacak pinggang menantang.
Aku tak pernah menyangka kalau Ana juga bisa segarang itu. Ternyata Ana yang kesehariannya lemah lembut juga bisa emosi tak kalah menakutkannya dengan Non Ega.
"heh pelacur.... hati hati kalau ngomong kamu ya....!"
"baru pacaran ama babu aja sudah bangga kamu...!" Balas Non Ega tak kalah garangnya.
Langsung terjadi pertengkaran hebat beradu omongan kasar dan tidak patut di dengarkan dari dua gadis paling berpengaruh di kota ini. Tak ada seorangpun yang berani melerai pertengkaran mereka berdua yang sebenarnya tak jelas ujung pangkalnya itu.
Memang hanya Ana satu satunya yang berani menentang Non Ega. Tapi biasanya tidak sampai seramai ini. Biasanya Ana lebih memilih mengalah dan pergi menghindar dari pada meladeni Non Ega lebih jauh lagi.
Hampir saja terjadi adu fisik di antara mereka berdua kalau saja aku tidak cepat cepat melerai dan mengajak Ana pergi dari kantin dan tidak usah meladeni Non Ega lebih jauh lagi.
"apa kamu bilang....?!"
"jaga mulut busuk kamu itu nenek lampir....!!!" Balas Ana beremosi berat setelah di katai pelacur oleh Non Ega sambil hendak melayangkan sebuah tamparan.
"An... Ana.... sudah An...."
"gak usah di terusin... ayuk...." Kataku mencoba melerai dan mengajak Ana pergai dari kantin.
"heh babu.... sudah berani membangkang kamu sekarang ya...!!!"
"sadar nggak sih kalau kamu itu hanya seorang babu...?!"
"sadar diri dong kamu...." Hardik Non Ega kepadaku.
Tak aku tanggapi kata kata Non Ega yang sebenarnya memanaskan teling itu. Aku langsung menarik paksa lengan Ana untuk pegi dari sini dan tidak meladeni Non Ega lebih jauh lagi.
Sudah tak kami perdulikan lagi Non Ega yang masih mencak mencak teriak teriak tak jelas maksud dan tujuannya.
Belum sampat kami berjalan lebih jauh, tiba tiba terdengar teriakan dan jeritan dari si ibu kantin dan anak anak yang berada di kantin.
"Non... Non Ega... kamu kenapa Non....?" Teriakan Ibu kantin yang sepertinya mengkhawatirkan keadaan Non Ega.
Segara aku berbalik untuk melihat ada apa sebenarnya. Ternyata Non Ega sedang duduk tersimpuh di lantai dan sudah di kerumuni orang banyak.
Segera aku berlari mendekat dan melihat keadaan Non Ega. Bagaimanapun juga aku tak bisa acuh begitu saja dengan keadaan Ndoro Ayuku itu. Begitu aku mendekat, aku lihat dari hidung Non Ega keluar darah segar. Non Ega mimisan.
"Non... kenapa Non...." Tanyaku mengkhawatirkan keadaannya sambil mengulurkan tangan berusaha membantunya berdiri.
"jangan pegang pegang....!"
"jangan sok perduli deh... minggat aja sana kamu...!"
"gak pantes kamu pegang pegang priyayi....!"
"urusin aja tu pelacur bangsat kamu itu...!" Hardik Non Ega menolak uluran tanganku.
Non Ega menampik uluran tanganku dan berusaha berdiri sendiri. Baru berdiri dan berusaha melangkahkan kakinya, tiba tiba saja tubuh Non Ega terhuyung terjatuh dan pingsan. Untung saja aku masih sempat menangkap tubuh Non Ega sebelum dia terjatuh ke lantai kantin yang keras.
"Non...Non...Non Ega...."
"kamu kenapa Non.... sadar Non...." Kataku berusaha menyadarkan Non Ega yang tiba tiba saja pingsan dengan menepuk nepuk pipinya.
Triana dan semua orang yang di kantin hanya terdiam menyaksikan itu semua. Mereka tak bisa berbuat apa apa untuk menolong Non Ega.
"Ega kenapa Di....?"
"bawa aja ke ruang UKS yuk..." Saran Triana.
Walaupun baru saja berkonfrontasi hebat dengan Non Ega, tapi Ana tak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang tergurat di wajahnya.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung menggendong tubuh pingsan Non Ega ke ruang UKS. Sesampainya di ruang UKS aku langsung menidurkan tubuh Non Ega di ranjang yang ada di ruangan itu.
"bu.... tolong bu...." Kataku minta tolong ke bu Susi yang hari ini bertugas jaga di UKS.
"Ega kenapa Di...?" Tanya bu Susi cemas.
"Pardi kurang tau bu.. tiba tiba saja tadi Ega pingsan di kantin..." Jawabku.
Seisi sekolahan langsung di buat panik dan sibuk dengan pingsannya Non Ega. Berbagai macam cara mereka lakukan untuk menyadarkan Non Ega dari pingsannya. Sedangkan aku dan Ana hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan UKS.
Ana yang kelihatan cemas dan khawatir dengan keadaan Non Ega, hanya bisa memelukku sambil menunggu Non Ega siuman.
Setelah berbagai cara mereka lakukan dan sudah membuat panik seluruh isi sekolahan, akhirnya Non Ega siuman juga. Terlihat pucat sekali wajah Non Ega yang baru siuman dari pingsannya itu.
"pardi... tolong kamu bantu membopong Ega ke mobil pak Bambang..."
"lebih baik Ega di antar pulang saja..." Kata pak Sarjito sang kepala sekolah.
"iya pak...." Jawabku.
Langsung aku di bantu bu Susi memapah Non Ega menuju ke mobil pak Bambang yang sudah siap menunggu di parkiran sekolah. Sebenarnya Non Ega masih berusaha menolak bantuanku, tapi aku memaksa untuk memapahnya. Setelah Non Ega masuk, langsung pak Bambang mengemudikan mobilnya dan mengantarkan Non Ega pulang.
Setelah mobil itu berjalan mengantarkan Non Ega pulang, aku dan Ana kemudian langsung masuk ke kelas kami masing masing karena jam pelajaran sudah di mulai. Selama di sekolahan aku tak bisa berkonsentrasi penuh mengikuti pelajaran. Aku masih mengkhawatirkan keadan Non Ega.
"Ega kenapa tadi Di...?" Tanya Rudi tuman sebangku ku di sela sela jam pelajaran.
"gak tau... tadi di kantin tiba tiba saja dia pingsan..." Jawabku sambil masih memperhatikan pelajaran dari pak Budi sang guru fisika.
"tadi katanya di kantin Ega ribut ama Ana ya...?"
"hush.... udah ah.... jangan di bahas lagi..."
"perhatiin tu pelajaran..." Jawabku memutus pertanyaan Rudi.
Saat jam istirahat sekolah, aku kembali bersama Ana di kantin.
"Ega tadi kenapa sih Di...?"
"kok tiba tiba mimisan terus pingsan gitu...?" Tanya Ana penasaran dengan keadaan Non Ega.
"aku juga kurang tau An...."
"yang aku tau sih dia memang suka mimisan kayak gitu..."
"tapi biasanya sih gak sampai pingsan gitu..." Jawabku menerangkan keadaan Non Ega yang memang suka mimisan.
"Eh... buk.... maaf soal yang tadi pagi ya..." Kata Ana meminta maaf ke ibu kantin yang sedang menyuguhkan pesanan kami.
"eladalah Non.... wis ben lah, ra sah di pikiri..."
("eladalah Non.... sudah lah, gak usah di pkirin...") Jawab si ibu kantin sambil berlalu setelah menghidangkan pesanan kami.
"ya nggak bisa gitu lah bu..."
"itu gelas yang pecah tadi biar saya aja yang ganti..." Sambung Ana sambil mengejar si ibu.
"wis... wis.... wis ora usah Non...."
("udah... udah.... udah gak usah Non...") Jawab si ibu kantin berusaha menolak.
Ana tak mau begitu saja menyerah. Ana memaksa si ibu kantin untuk menerima uang pengganti gelas yang pecah tadi. Akhirnya karena kegigihan dan paksaan dari Ana, si ibu kantin terpaksa menerima juga uang pengganti itu.
Siang harinya sepulang sekolah aku langsung buru buru pulang kerumah. Aku khawatir dengan keadaan Non Ega yang tadi sempat pingsan di sekolahan. Sesampainya di rumah ternyata sedang ada pak Nugro dokter pribadi keluarga besar Noyolesono.
Sebelum menengok keadaan Non Ega aku masuk dulu ke kamarku untuk berganti pakaian. Belum selesai aku berganti pakaian, tiba tiba saja terdengar teriakan Ndoro Putri memanggilku.
"Pardi....!!!" Teriak panggilan Ndoro Putri yang sepertinya akan berarti buruk.
"enggih Ndoro.... sekedap...." Jawabku sambil buru buru menyelesaikan berganti pakaian.
Setelah selesai berganti pakaian aku buru buru memenuhi panggilan Ndoro Putri. Ndoro Putri yang sudah menungguku di ruang keluarga itu sepertinya sudah bersiap akan marah kepadaku. Terlihat dari raut Ndoro Putri yang kelihatan memerah memendam amarah.
"nyuwun se....." Kataku yang langsung terpotong semprotan Ndoro Putri.
"haisyah... ora usah nyuwun sewu nuwun sewuan....!"
("haisyah... gak usah nyuwun sewu nyuwun sewuan...!")
"mau tok kapakne Ega neng sekolahan...?!"
("tadi kamu apain Ega di sekolahan...?!") Tanya Ndoro Putri bernada tinggi menghakimi.
"wonten nopo nggeh Ndoro...?"
("ada apa ya Ndoro....?" Tanyaku bingung dengan maksud Ndoro Putri.
"kowe kui loh.... wong babu wae kok kakean polah...."
("kamu itu loh.... orang babu aja kok kebanyakan tingkah....")
"awas yen anakku sampek gini ginio.....!"
("awas kalau anakku sampai kenapa napa...!") Ancam Ndoro Putri.
"buk.... buk... buk.... ono opo sih...?"
("buk... buk... buk.... ada apa sih...?")
"wong Ega sing loro kok malah Pardi sing mbok seneni..."
("orang Ega yang sakit kok malah Pardi yang kamu marahin...") Bela Ndoro Kakung begitu kembali ke ruang keluarga setelah mengantar pak dokter keluar.
Ndoro Putri tak menanggapi Ndoro Kakung. Beliau langsung melengos pergi masuk ke kamar Non Ega sambil tetap memandangku sinis tajam.
"uwis yo le... ra usah di pikiri..."
("sudah ya nak.... gak usah di pikirin...") Kata Ndoro Kakung bijak menghiburku.
Hari itu seharian di rumah aku tidak tenang. Ndoro Putri selalu menyalahkan aku karena pingsannya Non Ega di sekolahan tadi. Entah apa sebenarnya yang telah Non Ega ceritakan kepada ibunya. Dan kenapa juga Non Ega bisa tiba tiba pingsan seperti itu.
Lagi lagi aku sekarang tak terlalu memusingkan kemarahan Ndoro Putriku. Yang ada di dalam benakku sekarang hanyalah ingin secepatnya pagi datang dan kembali berangkat ke sekolah untuk bertemu lagi dengan Ana kekasihku. Karena sekarang aku benar benar sedang jatuh cinta.
===========
Keesokan harinya seperti biasa, setelah menyelesaikan pekerjaan rutin di rumah, aku segera berangkat ke sekolah setelah berpamitan kepada kedua Ndoroku. Dan pagi ini Ndoro Putri tidak mau menerima jabat cium tanganku. Sepertinya beliau benar benar marah kepadaku.
Sesampainya di sekolah aku langsung di sambut hangat Ana kekasihku yang seperti biasa selalu datang lebih dulu.
"pagi sayang..... muuah..."
"keadaan Ega gimana yang... udah baikan...?" Sambut kecup hangat Ana sambil menanyakan kabar Non Ega.
"ya sudah mendingan sih... tapi hari ini dia gak masuk..."
"kata dokter dia harus lebih banyak istirahat...." Jawabku sambil membalas kecupan hangat kekasihku itu.
Kami berdua kemudian berjalan bergandengan tangan menuju ke kelasku dengan mesranya. Kami ingin memanfaatkan sedikit waktu sebelum di mulainya jam pelajaran ini untuk bersama sekedar berbincang menautkan kasih. Dari hari ke hari kami semakin kelihatan mesra. Aku sudah tak canggung dan malu malu lagi menggandeng atau merangkul Ana di depan umum.
Entah kenapa bersamanya aku merasa tenang. Aku semakin percaya diri berada di sampingnya. Di sisinya aku merasa akulah dia pria paling beruntung di dunia. Menggenggam tangannya aku merasa semakin percaya diri menghadapi dunia.
Pelan tapi pasti orientasiku ke Ana mulai bergeser. Aku yang awalnya hanya menjadikannya tempat sembunyi dan pelarian dari Non Ega kini sudah mulai benar benar merasakan jatuh cinta. Sepertinya keputusanku menjadikan Ana tempat pelarianku adalah keputusan yang sangat tepat karena aku bisa menemukan kedamaian bersamanya.
"whidih..... pasangan paling romantis abad ini..."
"romeo dan juliet lewat deh pokoknya..." Canda Rudi begitu kami masuk bergandengan ke kelasku.
"haiyaaah... kayak yang ngomong nggak aja.." Balasku enteng.
Di kelas ternyata sudah ada Rudi dan Siti yang juga tak kalah mesranya dengan kami. Selaras dengan aku dan Ana, Rudi dan Siti juga semakin lama semakin mesra saja. Siti sudah tak canggung lagi bersama Rudi di dekatku.
Suasana kelas masih sepi. Murid murid yang lain juga masih bermain di luar, ada yang bercanda, ada yang mojok dengan pacarnya, dan ada juga yang sedang jajan jajan di kantin sambil menunggu di mulainya jam pelajaran.
Tiba tiba terbersit ide gila di otakku.
"Rud... kita bolos yuk...?"
"kamu mau nggak yang...?" Ajakku ke Rudi dan Ana.
Ana hanya menanggapi ajakan gilaku itu dengan anggukan dan satu senyuman manis.
"mau kemana pret...?"
"kamu mau nggak nyeng...?" Jawab rudi sedikit ragu dengan ajakanku sambil bertanya ke Siti.
"nanti aku ada ulangan matematika...."
"lain kali aja deh ya...." Jawab Siti menolak.
"yah... kita gak ikut lah Di, kalian berdua aja..."
"diajeng Sitiku tercinta gak mau soalnya..." Jawab Rudi menolak ajakanku.
"ya udah deh kalau gitu..."
"ayuk An..." Kataku sambil mengajak Ana.
Sebelum meninggalkan sekolah, kami terlebih dahulu ke ruangan guru untuk minta Izin. Dengan alasan mau menjenguk Non Ega, akhirnya sekolahan mengijinkan kami berdua.
Sebenarnya tanpa hurus berbohong minta izinpun tidak apa apa. Karena sama seperti Non Ega, di sekolahan ini tidak ada satupun yang berani membantah Ana. Tak terkecuali juga para guru bahkan sang kepala sekolah sekalipun.
Setelah di beri izin, kami langsung pergi meninggalkan sekolahan. Mengendarai sepeda jengki milikku, kami bersepeda ria keliling kota dengan tujuan akhir menuju ke rumah Ana.
Mesra sekali kami berboncangan bersepeda ria seperti itu. Sungguh suatu momen romantis yang tidak bisa datang setiap waktu. Ana yang berada di boncengan sepeda jengki memeluk mesra pinggangku dari belakang sambil merebahkan kepalanya di punggungku.
Sesampainya di rumah Ana, ternyata pak Bambang ayah Ana sedang berada di rumah. Mirip seperti keseharian Ndoro Kakung, Pak Bambang juga sedang bermain dengan burung perkutut kesayangannya sambil mendengarkan alunan gending campur sari Kusumaning Ati yang di nyanyikan Didi Kempotsalah satu maestro campur sari dari tape compo miliknya.
KUSMANING ATI
Kusumaning ati
Duh wong ayu kang tak anti-anti
Mung tekamu biso gawe
Tentrem ning atiku
Biyen nate janji
Tak ugemi ora bakal lali
Tur kelingan jeroning ati
Sak bedahing bumi
Kadung koyo ngene
Sak iki piye karepe
Malah mirangake
Manis pambukane
Kok pahit tibo mburine
Malah ngangelake
Amung pamujiku
Mugo-mugo ra ono rubedho
Sak pungkure
Nggonmu lungo
Ora kondo-kondo
Kusumaning ati
Duh wong ayu kang tak anti-anti
Mung tekamu biso gawe
Tentrem ning atiku
Biyen nate janji
Tak ugemi ora bakal lali
Tur kelingan jeroning ati
Sak bedahing bumi
Kadung koyo ngene
Sak iki piye karepe
Malah mirangake
Manis pambukane
Kok pahit tibo mburine
Malah ngangelake
Amung pamujiku
Mugo-mugo ra ono rubedho
Sak pungkure
Nggonmu lungo
Ora kondo-kondo
Alunan gending campur sari itu semakin merdu di iringi nyayian si burung perkutut yang tak kalah merdunya.
"tuuut.... tut... tut... tut... tut... tut...." Suara nyayian merdu burung perkutut di dalam sangkar indah yang tergantung di teras rumah.
Masih mirip juga dengan keseharian di rumah Ndoroku. Bu Ratri ibunya Triana juga sedang duduk di sebuah kursi ukiran kayu sambil membaca majalah, mirip dengan keseharian Ndoro Putri.
"sugeng enjing pak Bambang..."
("selamat pagi pak Bambang...") Sapaku sopan begitu turun dari sepeda menghampiri beliau dan mengulurkan jabat tangan.
"oh... iya ngger...."
"iki sopo yo..?"
("ini siapa ya....?") Jawab pak Bambang sambil menyambut uluran jabat tanganku.
"kulo Pardi pak... abdinipun Ndoro Seto..."
("saya Pardi pak... abdinya Ndoro seto...")
"kulo rencang sekolahipun Ana..."
("saya teman sekolahnya Ana....") Jawabku sopan memperkenalkan diri.
"buk.... bukne... iki ono Pardi buk.."
("buk... ibuk... ini ada padi buk...") Teriak pak Bambang memberitahukan kedatanganku ke istrinya yang masih sibuk membaca majalah femina.
"Pardi sopo to pak....?"
("Pardj siapa to pak...?") Tanya bu Ratri sambil meletakkan majalah yang di bacanya.
"Pardi buk.... Pardi abdine Kangmas Seto..." Jawab pak Bambang memperjelas.
"ealaaah le cah bagus... kok kowe wis gede to ngger..."
("ealaaah nak bocah gateng... kok kamu sudah besar to nak...") Kata bu Ratri sambil berjalan ke arahku dan langsung memelukku begitu samapai di depanku
Aku bingung dengan apa yang ibunya Ana lakukan ini. Masih di dalam pelukan bu Ratri, aku memandang Ana dan bapaknya dengan tatapan heran, aku berusaha mencari jawaban ada apa ini sebenarnya.
Setelah melepaskan pelukannya, bu Ratri kemudian mengajakku masuk ke dalam rumahnya di susul Ana dan bapaknya dari belakang. Aku di sambut dengat hangat di keluarga ini dan entah karena apa sebenarnya.
"kok kamu gak sekolah to An..." Tanya pak Bambang setelah kami berempat duduk di sofa ruang tamu.
Aku sempat takut kalau kalau Ana akan bilang kalau aku yang mengajaknya membolos. Tapi ternyata ketakutanku itu tak terbukti. Ternyata Ana malah bilang kalau dia sedang malas sekolah dan mengajakku membolos.
"Ana lagi malas pak..."
"jadi ya Ana ajak aja Pardi bolos...." Jawab Ana dengan santainya sambil melepas kaos kakinya.
"kamu ini... sekolah kok malas..."
"mau jadi apa kamu ti ndok...ndok...?"
"hehehehe... Ana mau jadi istrinya Pardi pak..." Jawab Ana yang mengejutkanku.
Aku tak menyangka Ana akan bicara seperti itu ke bapaknya.
"opo An... ibuk gak salah denger...?"
"kamu ama Pardi pacaran ya....?" Tanya bu Ratri yang terkejut dengan jawaban anaknya.
"hehehehe.... kejutaan....!" Jawab Ana dengan gaya centil ala meteor garden.
Lumayan lama aku di introgasi pak Bambang dan bu Ratri. Mulai seputar keadaan di rumah dan kabar Non Ega dan Ndoro Putri, bahkan sampai hubunganku dengan Ana. Sepertinya pak Bambang dan bu Ratri sangat menyetujui hubunganku dengan anaknya. Terbukti dengan dititipkannya Ana secara resmi oleh kdua orang tuanya kepadaku.
"le Di.... bapak ibuk setuju kalau Ana pacaran sama kamu..."
"maka dari pada itu, bapak titipin anak bapak kepadamu..."
"jaga dia, sayang dia, dan kamu didik dia sebaik baiknya...."
"mulai sekarang Ana tanggung jawab kamu ngger.." Kata pak Bambang memasrahkan anak gadisnya kepadaku seolah aku sudah menikahi anaknya itu.
"enggih pak..." Jawabku pendek dengan hati berdebar debar grogi.
"udah ah pak..."
"ayuk Di...." Ajak Ana meninggalkan kedua orangtuanya.
"mau kemana to ndok..."
"wong bapak ibuk lagi ngobrol karo Pardi kok..."
("orang apak ibuk lagi ngobrol sama Pardi kok...") Tanya pak bambang sambil menghisap dan memainkan asap rokoknya.
"ya ke atas lah pak.... mau pacaran..."
"kalau di sini gak enak, di ganggu bapak sama ibuk..." Jawab Ana asal sambil menarik paksa lenganku.
Aku tak bisa mencegah dan hanya menuruti apa maunya Ana.
"pak, buk.... nyuwun sewu nggeh..." Pamitku tak enak hati.
"ya udah sana...."
"eh Pardi.... jangan lupa nanti makan dulu ya..." Teriak bu Ratri sebelum aku menghilang di balik tangga.
Tak ku sangka kalau keluarga Ana sebaik ini kepadaku. Tak aku sangka juga kalau mereka sebegitu wellcome kepadaku, bahkan pak Bambang langsung memasrahkan Anaknya kepadaku tanpa berpikir lebih panjang lagi. Ada apa ini sebenarnya. Kenapa bu Ratri bisa seharu itu bertemu denganku. Apakah mereka mengetahui siapa aku sebenarnya.
Sesampainya di lantai atas, semula aku mengira kalau Ana akan mengajakku untuk bersantai berbincang di teras balkon. Ternyata dugaanku itu kembali salah. Ternyata Ana malah mengajakku masuk ke kamarnya. Ana ternyata sosok yang tak mudah di tebak. di balik keanggunan dan keayuan parasnya, ternyata tersimpan rahasia rahasia yang mengejutkan.
"kok ke kamar An..." Tanyaku heran.
Ana hanya menjawab pertanyaanku itu dengan senyuman manis yang tersungging di bibir tipisnya.
"jangan di kamar ah An...."
"nggak enak sama bapak ibuk kamu..." Kataku lagi berusaha menolak.
"udah deh yang... santai aja...." Jawabnya entang sambil malah mengunci pintu.
Setelah mengunci pintu, Ana dengan santainya mempereteli kancing kemeja putih seragam sekolah yang di kenakannya. Bahkan Ana juga meloloskan rok abu abu selutut yang di kenakannya.
Dengan hanya mengenakan bh putih dan celana dalam putih bergambar hello kitty, Ana dengan santainya berlalu lalang di hadapanku yang sedang duduk di pinggiran ranjang dan memeperhatikannya dengan konak. Si adik kecil di bawah sana mulai menggeliat menyaksikan kemulusan, kemontokan dan kemolekan tubuh kekasihku itu.
Sebelum menuju ke lemari pakaian untuk mengambil baju ganti, Ana menyempatkan diri untuk menyalakan musik dari mini compo yang ada di kamarnya.
Alunan distorsi guitar bernada punk mulai mengalun dengan beat cepat mengiringi Ana yang sedang memilah milah baju di lemari pakaiannya.
Dengar Ega,,,
Angkuh menyapa dari dadamu
Dengar Ega,,,
Hawa panas dari sikapmu
Menit dan hari berganti
Dan mengikuti
Tak terlihat lagi
Warnamu pudar di sini
Oh Ega begitu tinggi
Dirimu di masa lalu
Oh Ega terlalu samar
Dirimu di masa itu
30 nanti,,, Usiamu berlalu sepi
30 nanti,,, Waktu meminta mencari,,,O O O,,,
Angkuh menyapa dari dadamu
Dengar Ega,,,
Hawa panas dari sikapmu
Menit dan hari berganti
Dan mengikuti
Tak terlihat lagi
Warnamu pudar di sini
Oh Ega begitu tinggi
Dirimu di masa lalu
Oh Ega terlalu samar
Dirimu di masa itu
30 nanti,,, Usiamu berlalu sepi
30 nanti,,, Waktu meminta mencari,,,O O O,,,
Entah kenapa lagu berjudul Ellie dari grup band Monkey Millionare itu tiba tiba saja liriknya berubah menjadi Ega di otakku. Sebuah lagu yang pas untuk menggambar sifat dan tabiat Non Ega.
Sambil menenteng baju ganti, Ana yang masih cuma mengenakan bh dan celana dalam itu kemudian berjalan mendekatiku. Bukannya mengenakan baju yang di ambilnya dari lemari pakaiannya, Ana malah berlenggak lenggok memamerkan kemolekan tubuhnya.
"yang.... aku cantik nggak yang....?"
"aku sexy nggak...?" Tanya Ana sambil melenggak lenggokkan tubuhnya berpose.
"mmmm.... cantik... sexy.... sempurna...." Jawabku sambil merengkuh tubuhnya mendekat.
Sejenak kami saling terdiam dan berpandangan. Tersungging senyum manis di bibirnya sambil membelai lembut wajahku. Entah siapa yang memulainya, tau tau kami sudah saling berpagutan mesra.
"mmmmhh...." Dengus nafas kami berpagutan.
Ana yang semula berdiri di hadapanku kemudian naik ke atas pangkuanku yang sedang duduk di pinggiran ranjang. Dengan masih berpagutan, tanganku yang memeluk tubuhnya mulai nakal menggerayang ke sekujur tubuhnya. Jemariku mengusap punggung polos Ana yang hanya mengenakan bh putih berenda itu dari leher sampai ke bokongnya.
Masih dengan bibir dan lidah yang saling bertautan, aku membuka bh putih berenda yang di kenakannya. Dalam sekali aksi, bh itu sudah lepas dari tubuh Ana. Sekarang tersaji jelas di hadapan mataku payudara Ana yang ranum nan montok walau berukuran sedang itu.
Ingin beraksi lebih lanjut lagi, aku kemudian membalik dan merebahkan tubuh Ana yang tinggal menyisakan celana dalam bergambar hello kitty itu di ranjang.
Tanpa canggung dan ragu lagi karena dia adalah kekasihku dan sudah menjadi hak ku sebagai pacarnya, aku langsung menindih tubuh Ana tepat di sela sela kakinya yang mengangkang.
"ouch.... sakit yang...."
"punyaku ke gesek celana sayang sakit..."
"celananya di copot aja..." Kata Ana menyuruhku membuka celana.
"tar kalau keterusan gimana...?"
"sekali keluar pantang masuk lagi sebelum lemas loh...." Jawabku sedikit bercanda.
"tenang aja ntar tak lemesin..."
"disini aman kok... santai aja..." Balas Ana sambil bangkit dan langsung beraksi mempereteli celana abu abu yang aku kenakan.
Di saat Ana sibuk dengan celanaku, aku juga melepas kemeja putih seragam sekolahku. Berbarengan dengan lolosnya celana abu abu dari kakiku, kemeja putihku juga telah tanggal. Sekarang aku benar benar sudah telanjang bulat.
Selesai melepas celanaku, Ana juga melepas celana dalam putih bergambar hello kitty penutup tubuh terakhirnya. Sekarang kami berdua telah sama sama telanjang bulat.
Langsung kami kembali bergumul dalam keadaan telanjang bulat di ranjang berseprei biru bergambar hello kitty. Mulut kami kembali beradu saling mengecap menjilat berpagutan mesra penuh nafsu. Di saat mulut kami sibuk berpagutan, tangan kami berdua sibuk saling meraba dan merangsangi.
"eeeeeemh..... oooochs...." Desahan kami berdua bersahutan.
Ciumanku di bibir Ana perlahan mulai berpindah. Pelan tapi pasti ciuman dan jilatanku menjalar turun ke leher Ana. Di leher jenjang dan mulus itu aku meninggalkan sebuah tanda merah cupangan.
Puas setelah berhasil membuag tanda cupang, ciumanku mulai menjalar lagi turun ke sepasang buah dada Ana.
Sebelum memulai aksi di sepasang gundukan tanda kewanitaan itu, sejenak aku mengangkat kepala dan memandang Ana. Terlihat Ana sudah sangat pasrah dengan apa yang akan aku lakukan. Matanya terpejam, mulutnya sedikit menganga dan kedua tangannya terangkat ke kepala mengacak acak rambut panjang hitamnya yang indah.
Aku kemudian mulai beraksi di kedua bukit kembar kekasihku itu. Sebagai permulaan sebuah kecupan hangat aku daratkan di sepasang payu dara montok itu. Setelah itu aku mulai beraksi menjiat dan mengulum salah satu dari buah dada itu sambil tak ketinggalan lidahku bermain brputar putar di atas putingnya yang sudah mengeras tanda terangsang berat.
Di saat aku sibuk bermain menjilat, mengulum, dan menggigit gigit kecil puting salah satu payudara Ana, tanganku juga bermain meremas remas dan mencubit lembut payudara yang satunya. Menerima ulah nakalku itu Ana semakin belingsatan tersulut birahi.
"ooouch.... ooooh....."
"emmmmh.... ssssstt... yaaang..."
"aaauh... kamu.... aah... kamu nakal banget sih yang...." Desah dan racauan Ana yang semakin terbakar birahi.
"eeeeemh.... clup... clup.. clup...." Suara desahku bercampur kecepak sedotanku di buah dada Ana.
Batang kemaluanku di bawah sana semakin mengeras sempurna.
Ana tak mau kalah denganku. Dengan sedikit menekuk tubuhnya, Ana menggapai batang kejantananku dan mempermainkannya. Di usapkan jemarinya di batangku yang berurat itu. Di gerakkan jemarinya menggenggam batang kejantananku dan mengocoknya pelan naik turun.
"ooouch.... yang... aaah...." Desahku keenakan karena kocokan lembut Ana di batang kemaluanku.
Tak ingin menyia nyiakan kesempatan, tanganku yang tadinya bermain meremasi buah dada Ana mulai merayap turun menjelajahi perutnya yang langsing dan berakhir di selangkangannya.
Langsung jemariku beraksi di gundukan kemaluan Ana yang sudah basah itu. Jemariku bermain mengusap usap naik turun dan menyibak belahan bibir kemaluannya. Aku permainkan benjolan kecil clitorisnya dengan jempolku. Aku putar putarkan jempolku di situ bahkan kadang aku cubit cubit lembut yang membuat tubuh Ana mengejang semakin kesetanan.
"oooouh.... aaamh....."
"nakal banget sih yang.... aaaaayh...." Desah Ana sedikt menjerit saat biji clitoris itu aku cubit lembut.
Puas bermain merabai sekujur tubuh dan mempermainkan area area sensitifnya, tiba saatnya kini pada puncak acara kami.
Ku angkat tubuhku sejenak dan memposisikannya tepat di tengah tengah kangkangan Ana. Ku kocok sebentar kemaluanku agar berdiri lebih keras lagi. Kuarahkan batang kejantananku itu ke lubang kemaluan Ana. Ku gesek gesekkan kepala kemaluanku di belahan bibir kemaluan Ana berusaha mencari lubang kemaluannya.
Begitu aku temukan lubang itu, sejenak aku memandang Ana seakan meminta izin untuk mengeksekusinya. Ana hanya membalasnya dengan tatapan sayu berbirahi.
Pelan tapi pasti aku mulai mendorong pinggulku maju kedepan membenamkan batang kejantananku di kemaluan Ana yang sudah basah total cairan birahi itu.
"bleeesss......" Kejantananku mulai menerobos masuk ke lubang kemaluan Ana. Di mulai dari ujing kepalanya pelan pelan masuk seluruhnya tertelan bibir kemaluannya.
"eeeemhh...... ooooocch...." Desah kami bersamaan meresapi kenikmatan penyatuan raga kami.
Setelah seluruh batang kemaluanku masuk sempurna, aku mulai menggoyangkan pinggulku mengeluar masukkan kejantananku di lubang kemaluan Ana dengan pelan namun pasti.
"zleb... zleb... zleb..." Gerakan kemaluanku keluar masuk kemaluan Ana.
"ooooohh..... eemmmh...."
"iya... aaaayh... iya yang......"
"uuuuch... yang dalam yang.... aaaayh...." Desahan Ana Seiring pergerakan kemaluanku.
Di saat pinggulku bergoyang menggerakkan batang kemaluanku menyetubuhi Ana, aku menjatuhkan diriku menindih dan memeluk tubuh Ana sambil kembali memagut bibirnya.
Ana membalas pagutanku dengan penuh nafsu seiring pinggulnya yang ikut bergoyang mengimbangi goyanganku. Tangannya juga mengusap usap punggungku dan meremas remas bokongku.
Hampir selama lima belas menit kami bermain dalam posisi konvensional seperti itu. Bosan dengan gaya klasik itu, aku kemudian menarik lengan Ana, mengangkatnya untuk bangun dan duduk saling berhadapan dengan kemaluanku masih tertancap di lubangnya.
Dalam posisi duduk berhadapan itu Ana semakin bebas menggoyangkan pinggulnya. Ana menggeal geolkan pinggulnya mengulek ulek kemaluanku yang tertancap gagah di lubang kemaluannya.
Di perlakukan sehebat itu aku merasa hampir tak sanggup bertahan lebih lama lagi.
"ooooch..... yaaang...."
"jangan keras keras.... ooooh...." Kataku berusaha menghentikan kegilaan Ana.
Ana tak memperdulikan lagi kata kataku. Bahkan dia malah semakin menggoyangkan pinggulnya lebih dahsyat lagi dan semakin memeluk dengan erat.
"ooooh.... Enak yang...."
"eeeemhhhh..... Ana hampir nyampe yang...."
"aaaaaayh..... essssssh...." Desah Ana sambil malah menambah kecepatan goyangannya.
Tubuh kami berdua sudah basah dengan keringat yang bercucuran.
Karena goyangan Ana yang semakin menggila tak terkendali itu, aku jadi tak sanggup lagi menahan lebih lama lagi untuk tidak berejakulasi. Puncak kenikmatan sudah menggumpal berkumpul di ujung kemaluanku. Tinggal menunggu masalah waktu saja untuk muntah keluar menyiram rahim kekasihku.
Aku banting tubuh Ana, aku rebahkan kembali tubuhnya ke posisi konvensional sambil semakin mempercepat tempo goyangan pinggulku.
"cplok... cplok... cplok...." Kecepak pinggul kami beradu.
Tiba tiba saja seiring goyangan pinggulku yang semakit cepat, Ana memeluk tubuhku semakin erat dan kakinya mencengkeram pinggulku. Dinding dinding kemaluan Ana berkedut kedut hebat seakan menghisap kepala kejantananku yang sedang beraksi di dalam sana.
Menerima reflek kedutan seperti itu, Aku tak mampu lagi bertahan lebih lama lagi. Gumpalan kenikmatan itu semakin kuat mendesak keluar tak mampu aku tahan lagi. Pinggulku bergetar hebat seiring rangsekan keluar kenikmatan itu.
Dalam satu tusukan pasti, aku benamkan kemaluanku sedalam dalamnya ke dalam lubang kemaluan Ana dan mendiamkannya.
"aaaaaauuh.... yaang....."
"ooooh.... Ana..... ohh... Ana keluaaar...."
"aaaaayh...."
"eemmmmh..... aku juga yang...."
"aaaaaah....."
"cret..... cret.... cret....."
Akhirnya kenikmatan kami tumpah ruah dalam waktu yang bersamaan. Tuntas sudah pendakian kami sampai di puncak asmara tertinggi. Nafas kami memburu bersahutan setelah lolos dari terpaan gelombang maha dahsyat itu.
Tiba tiba saja
"jdog... jdog... jdog..." Suara pintu di kamar Ana di ketuk dari luar.
>>Bersambung>>
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 komentar