- Home>
- Cerita Fantasi >
- LORO BRONTO NANDANG CIDRO PART VIII
Posted by : Jeni Ratna Sari
4 Jan 2013
Chapter VIIIJATI ROGO
>>>Baca Kisah Sebelumnya>>>
"jdogh... jdogh... dogh... dogh... dogh..." Suara ketukan pintu itu sekali lagi.
Seketika langsung keringat dingin mengucur deras diwajahku, debar jantungku bedetak semakin kencang. Angan dan ketakutanku melayang memikirkan akan kemungkinan terburuk dari ketukan pintu kamar Ana itu.
Kemaluanku yang masih tertancap di lubang kemaluan Ana mendadak langsung lemas seketika.
"whaduuh An... Siapa itu An...?" Tanyaku dengan raut pucat pasih.
Berbeda dengan aku yang benar benar gemetar ketakutan, Ana malah bersikap santai seolah tak akan terjadi apa apa. Padahal sudah jelas jelas kami berbuat salah dengan berbuat mesum seperti ini.
Seketika memoriku teringat dengan pasangan mesum yang aku palak tempo hari di Karanggongso.
"akankah aku seperti itu...?"
"akankah aku di arak telanjang keliling kampung...?"
"duh gusti kulo nyuwun pangapuro..." Batinku membayangkan kemungkinan terburuk dalama hidupku.
Aku membayangkan betapa malunya aku kalau itu sampai terjadi. Betala tercorengnya muka, Harkat, martabat, dan wibawa Ndoro Kakung karena pebuatanku ini.
"jdogh... dogh... dogh... dogh..." Suara ketukan pintu itu sekali lagi.
"An... Ana.... lagi ngapain kamu An...?" Suara bu Ratri dari luar kamar.
Sepertinya bu Ratri ibunya Ana yang sedang mengetuk pintu itu.
"duh gusti.... mati aku....." Batinku yang semakin gemetaran ketakutan.
Aku pandang Ana yang masih kelihatan sangat santai itu. Bahkan dia hanya menyunggingkan senyuman yang semestinya tidak pantas dia keluarkan di saat saat genting seperti ini.
Segera ku cabut kemaluanku dari jepitan lubang kemaluan Ana kemudian bergegas buru buru mengenakan pakaianku kembali. Saking takut dan buru burunya, aku sampai jatuh terkapar saat memakai celana abu abuku. Melihat itu semua Ana hanya tersenyum menertawakanku.
"iya buk... sebentar...."
"ni kami lagi ngobrol doang kok... lagi curhat...."
"ada apa sih buk...?" Jawab Ana dengan santainya sambil belum beranjak bangkit dari terlentangnya.
Aku benar benar heran dengan kesantaian Ana di saat saat genting seperti ini.
"kenapa pintunya pakai di kunci segala sih ndok....?"
"biar aman aja to buk...."
"takut ntar ibuk mengganggu..."
"ada apa sih buk....?" Jawab Ana sekali lagi sambil malah berpose nakal sengaja menggodaku.
Aku masih belum bisa menenangkan hatiku. Jantungku masih saja berdegub dengan kencang dan raut wajahkupun masih pucat pasih walaupun sudah tersirat kalau semuanya baik baik saja.
"Itu si Pardi ajakin turun..."
"ajakin makan dulu sana gih..." Jawab bu Ratri yang ternyata hendak menyuruhku makan.
"iya ntar buk...."
"lagian juga baru jam segini... belum waktunya makan siang buk..."
"ntar deh kami turun kalau sudah lapar..."
"yo uwis kalau begitu..."
"jangan lupa ntar makan dulu loh ya Di..."
"enggih buk... matur suwun..." Jawabku dengan terpaksa dan tubuh yang masih gemetar ketakutan.
Setelah terdengar suara langkah kaki yang menjauh menuruni anak tangga, seketika tawa Ana meledak terpingkal pingkal.
"hahahahahaha....."
"kamu kenapa sih yang kok pucat gitu...?"
"sayang takut ya..." Gelak tawa Ana sambil masih belum beranjak dari tidurannya.
"gila kamu An..."
"posisi begitu masih bisa santai...."
"saraf kamu ya..." Umpatku karena merasa telah di kerjai.
"lagian juga sayangnya sih..."
"ngapain juga harus takut segala.. emang sayang udah lupa...?"
"kan tadi bapak sudah memasrahkan Ana ke sayang secara resmi..."
"berarti mereka dah setuju dong anaknya mau sayang apain aja..."
"mau di hamilin juga boleh kok..." Terang ana panjang lebar sambil beranjak dan mengambil tisyu yang tergeletak di meja belajarnya untuk mengelap kemaluannya yang basah dengan noda spermaku.
"gila kamu An.... sumpah asli... bener bener gila kamu..."
"ya jangan lah kalau kamu sampai hamil..."
"bisa mati di gantung Ndoro Kakung aku ntar...."
"hehehehe... kalau Ana beneran hamil gimana hayo...?"
"kan dari kemarin sayang keluarnya di dalam terus..." Sambung Ana semakin menakut nakutiku.
Ana masih belum memakai lagi pakaiannya.
"udah ah.... jangan ngomong gitu lagi ah..." Putusku sambil membanting tubuhku terlentang di ranjang.
Pandanganku menerawang memandangi langit langit kamar. Perasaanku menjadi tak menentu karena ini. Perasaan yang bercampur aduk antara malu dengan kedua orangtua Ana dan ketakutan kalau samapi Ana hamil.
Aku merasa mengambang tak menyatu dengan ragaku. Aku berharap seandinya waktu bisa berhenti sehingga aku tak harus menghadapi hari esok yang mungkin akan menjadi hari buruk untukku. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, semoga saja aku tidak sampai menghamili Ana.
"sayang.... sayang kok ngelamun sih yang..."
"jangan ngelamun apa yang... maafin Ana ya..."
"Ana cuma bercanda kok yang..." Kata Ana berusaha menenangkanku sambil menyusul merebahkan tubuh telanjangnya di sampingku dan memelukku.
Aku masih terdiam tak menjawab. Benakku masih melayang tak tentu arah meninggalkan ragaku kosong dalam pelukan Ana.
"hhhaaaaaah...." Sejenak ku hela nafas dalam dalam berusaha menenangkan diri.
Aku jadi benar benar tak mengerti dengan kekasihku ini. Aku benar benar tak tau arah dan jalan fikirannya. Dulu dia adalah gadis cengeng dan polos yang baik hati. Tapi sekarang dia serasa bagaikan orang asing yang baru aku kenal walaupun sebenarnya kami sudah saling mengenal akrab semenjak SMP. Ana yang sekarang bukan Ana yang aku kenal dulu.
Dulu kami bertiga, Aku, Ana, dan Non Ega sebenarnya sangat akrab. Dulu kami bersekolah di SMP yang sama SMP N III Trenggalek. Dulu juga Non Ega dan Ana tak bermusuhan seperti ini. Entah karena apa mereka sekarang menjadi seperti ini. Sekarang mereka bagaikan air dan api yang tak kan mungkin bisa di persatukan. Apa mereka sudah lupa saat saat indah semasa SMP dulu.
"puk... puk... puk..."
"yang..... sayang...." Tepukan Ana di pipiku yang menyadarkanku dari lamunan singkat tentang masa kecil kami dulu.
"eeeh... iya yang...." Jawabku tersentak begitu tersadar dari lamunan.
"maafin Ana ya yang..."
"maksud Ana tadi cuma bercanda doang kok..."
"sayang jangan ngelamun terus dong... kan Ana jadi takut..."
"eeh... iya.. he'eh.. gak apa apa kok..."
"lain kali bercandanya jangan begitu lagi ya..."
"bisa jantungan Aku ntar..." Jawabku sambil mencubit mesra hidung mancungnya.
"aaaauw... sakit tau...." Jeritnya sambil meraba hidungnya yang memerah karena cubitanku.
"biarin... biar kapok...." Jawabku sambil balas memeluk Ana dengan erat.
Lumayan lama kami saling berpelukan mesra di atas ranjang. Hatikupun juga mulai bisa tenang walau masih menyisakan sedikit ketakutan akan akibat dari perbuatan mesum ini. Pembicaraan kami mulai berkembang semakin jauh ke depan walau baru sebatas seandainya.
Kami mulai membayangkan seandainya nanti kami menikah dan membangun keluarga. Membicarakan berapa anak anak kami nanti, dan bagaimana nanti masa depan kami. Semuanya terasa indah dan mudah di dalam bayangan kami yang seandainya itu. Bayangan betapa bahagianya kami nanti mulai terbayang di pelupuk mata.
"An... kamu nggak kedinginan apa telanjang bulat gitu...?"
"kenapa... sayang gak suka ya....?"
"ya nggak gitu... ntar kamu masuk angin loh..."
"pake baju sana gih...." Kataku menyuruhnya memakai pakaian.
Ana menggelengkan kepala tanda menolak perintahku itu. Dia yang masih telanjang bulat di dalam peluanku itu malah mulai nakal lagi. Tangannya kembali menyelusup masuk ke dalam celana abu abuku dan kembali mempermainkan kejantananku.
Di usapnya lembut batang kejantananku yang setengah bangun itu. Jempolnya kembali di mainkan berputar putar di ujung kepala kemaluanku tepat di lubang kencingku. Buah dzakarku juga tak luput dari kenakalannya. Di remas remas lembut kantung produsen sperma itu sampai terasa ngilu tapi nikmat bagiku.
"yang... Ana mau lagi yang..." Pinta Ana sambil menatapku sayu.
Sepertinya Ana sudah kembali bernafsu.
"jangan ya An... udah ya...."
"nggak enak sama bapak ibuk kamu..."
"masa iya aku lama lama di kamar kamu sih...."
"ntar kalau mereka nanya aku harus jawab apa coba...?"
"kita keluar aja yuk..." Jawabku berusaha menolak ajakan Ana untuk melakukannya sekali lagi.
Setelah aku bujuk panjang lebar dan dengan sabar, akhirnya Ana mau juga menurutiku. Walau dengan cemberut dia mau mengenakan lagi pakaiannya.
Sekarang Ana berganti mengenakan pakaian santai berwujud rok lebar polkadot selutut dan kaos oblong putih yang lagi lagi bergambar hello kitty. Tak lupa juga dia mengganti bh dan celana dalamnya.
Walaupun dengan wajah yang cemberut karena aku menolak ajakannya, tapi Ana kelihatan cantik sekali dalam balutan dan gaya berpakaian santai seperti itu.
"yang.... kepangin rambut Aku dong..." Kata Ana memintaku mengepangkan rambut panjangnya sambil menyerahkan sisir dan karet rambut.
"ya udah ... sini..." Kataku menyuruhnya duduk di depan ku di pinggiran ranjang tepat di tengah sela sela kakiku.
Setelah Ana duduk di tempat yang aku maksud, aku kemudian langsung menguncir kepang rambut kekasihku itu seperti yang dia mau. Setahap demi setahap tanpa kesulitan akhirnya aku selesai juga mengepang rambutnya.
"nah.... sudah selesai ni...."
"cantik sekali kamu bergaya begini yang..." Kataku memuji kekasihku yang memang benar cantik itu setelah selasai mengepang rambutnya.
"hehehehehe.... makasih sayang...."
"sayang kok pinter banget sih ngepangnya..." Senyum Ana kegirangan yang menggantikan wajah masamnya yang tadi karena puas dengan hasil kepanganku.
"hwoooo.... yo pasti pinter lah...."
"Pardi gitu... kan dah biasa ngepang buntut sapi di rumah..." Jawabku dengan menepuk dada menyombongkan diri.
"iiiih.... sayang kok gitu sih...."
"masa iya Triana yang cantik ini di samaian sama sapi..." Balasnya kesal sambil melancarkan cubitan cubitan kecil kepadaku.
"aouw... aouw... aouw... sakit yang..." Kataku sambil berusaha menghindari cubitannya.
"bodo amat... biarin..."
"lagian gak sopan sih... masa pacarnya sendiri di samain dengan sapi..." Jawabnya sambil masih menlancarkan cubitan cubitan kecil manjanya.
Aku yang berusaha menghindari cubitannya itu sampai jatuh terlentang ke ranjang dan masih saja di susul dengan cubitan cubitannya. Sejanak kami kembali bergumul manja di tanjang berseprei hello kitty itu. Dan akhir dari cubitan dan gumulan manja itu berakhir dengan pelukan sayang.
"An.... makasih ya... aku sayang kamu...." Kataku sambil memelukanya mesra.
"terima kasih buat apa yang..." Jawabnya sambil semakin mengencangkan pelukannya.
"ya buat semua ini..."
"bersamamu aku menemukan bahagia An..."
"bersamamu aku menemukan cinta..."
"terima kasih ya sayang..." Lanjuku sambil mendaratkan sebuah kecupan mesra di bibir tipisnya.
Ana membalas kecupanku itu dan kembali kami terlibat dalam pegumulan dengan pagutan pagutan mesra.
"yang... sudah jam setengah sebelas tu..."
"turun yuk..." Kataku memutus pergumukan kami setelah melihat jam dinding hello kitty yang terpajang di dinding kamar.
"aaah... sayang aah..." Rajuk manjanya.
"hush... sudah sudah... hayuk turun yuk..."
Setelah aku paksa akhirnya Ana mau juga menuruti ajakanku turun dari kamarnya. Begitu kami sampai di bawah, kami langsung di sambut ibu Ana dengan hangat.
"eh pardi... makan dulu ngger..." Tawar bu Ratri begitu kami sampai di bawah.
"nggak buk... makasih..."
"Pardi masih kenyang kok..." Jawabku berusaha menolak tawaran beliau.
"haisyaah... sudah ibuk siapain tu..."
"ayo cepat makan sana..."
"An... ajak kangmasmu makan sana gih..." Perintah bu Ratri setengah memaksa.
"ayuk makan dulu yang... masakan ibuk paling joz loh..." Ajak Ana sambil mempromosikan kelezatan masakan ibunya.
Setelah di paksa paksa, akhirnya aku mau tak mau makan juga di rumah Ana. Dan memang betul apa yang dikatakan Ana, masakan ibunya memang mantap lezat dan mak nyus. Pokoknya top markotop deh, tidak kalah dengan masakan Ndoro Putri di rumah.
Selesai makan dan berbasa basi sebentar dengan bu Ratri, tepat jam dua belas siang persis jam pulang sekolah aku berpamitan pulang.
"buk.. Pardi nyuwun pamit.
"loh... ngopo to kok kesusu ngger...?"
("loh... kenapa kok buru buru nak...?")
"mbok yo mengko disek wae, nunggu bapak balik kerjo..."
("mbok ya nanti dulu, nunggu bapak pulang kerja...")
"mboten buk... matur sembah nuwun..."
("tidak buk... terima kasih...")
"niki pun wancinipun wangsul..."
("ini sudah waktunya pulang....")
"ajrih mangke kulo di padosi Ndoro Putri..."
("takut nanti saya di cariin Ndoro Putri...") Alasanku memaksa untuk pamit pulang.
"ooowh... yo uwis yen ngono..."
("ooowh... ya sudah kalau begitu...")
"salam buat mbakyu Hartati ya..."
"enggih buk... nanti saya sampaikan..."
"An... aku pulang dulu ya..." Pamitku ke Ana.
"iya yang... hati hati ya...."
"buk pardi nyuwun pamit... monggo..."
"salam buat bapak..." Kataku saat beranjak keluar dari rumah megah mereka itu.
"cuup..." Ciuman hangat mendarat di pipi kiriku.
Saat aku hendak menaiki sepeda jengkyku, Ana sempat melayangkan sebuah kecupan hangat di pipi yang membuatku tersipu malu di depan ibunya.
====================
Sesampainya di rumah, setelah mengucap salam yang tak di balas Ndoro Putri, aku langsung masuk ke kamarku dan berganti pakaian. Ndoro putri sepertinya masih marah kepadaku soal pingsannya Non Ega sehingga beliau tidak mau membalas salamku. Padahal menjawab salam itu wajib hukumnya bagi orang yang beragama.
Setelah selesai berganti pakaian aku beristirahat sejenak di kamarku seperti biasanya. Hari ini tugas pertamaku setelah pulang sekolah adalah merapikan gudang sebagaimana perintah Ndoro Kakung kemarin.
"Pardi....!!!" Terdengar suara teriakan Bengis Ndoro Putri memanggilku dari dapur.
"enggih Ndoro.... sekedap..."
("iya Ndoro.... sebentar...") Jawabku sambil buru buru menemui beliau di dapur.
"wonten Nopo Ndoro..."
("ada apa Ndoro...") Tanyaku penuh sopan setelah sampai di hadapan beliau.
"ono opo ono opo..."
("ada apa ada apa...")
"heh... sebenarnya Ega kemarin kamu apain hah...!"
"sudah mulai berani membantah kamu rupanya ya...?!" Sembur Ndoro Putri begitu aku sampai di hadapan beliau yang ternyata masih bersekitar tentang pingsannya Non Ega kemarin di sekolah.
Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan beliau itu. Karena aku tau, mau apapun jawabanku pasti aku akan tetap kena semburan dari beliau. Lebih baik aku diam tak menjawab dari pada aku malah salah menberi jawaban.
"heh kampret... kamu itu budeg ya...?!"
"punya mulut itu kalau di tanya ya buat jawab...!"
"tak kruwes sisan lambemu malahan..."
("tak kruwes sekalian bibirmu malahan...") Sembur dan cacian Ndoro Putri sambil benar benar mengruwes bibirku.
"kruweek..." Kruwesan Ndoro Putri di bibirku yang sampai berdarah karena terkena kukunya.
Di perlakukan seperti itu aku tak membalas atau mencoba menghindar. Aku hanya diam saja membiarkan dan menerima perlakuan kasar beliau. Sudah biasa dan sering aku di kasari seperti ini, jadi aku sudah tak kaget dan heran lagi.
Seemosi dan semarah apapun Ndoro Putri kepadaku biasanya tak pernah berlangsung lama. Biasanya kemarahan Ndoro Putri hanya bertahan sehari, tidak seperti sekarang ini yang bertahan sampai dua hari. Sepertinya kalo ini Ndoro Putri benar benar marah kepadaku karena sudah menyangkut nasib Non Ega anak semata wayangnya.
"dancok kowe... dasar bocah edian... bocah gemblung...!!!"
"kono gek ndang mbadog kono, gek ndang ngerjani tugase..."
("sana cepat makan sana, trus cepat di kerjakan tugasnya...") Maki Ndoro Putri sekali lagi tetapi tetap menyuruhku makan.
"enggih Ndoro.... matur sembah nuwun..." Jawabku sopan sambil tetap menunduk hormat.
Cukup sampai segitu kemarahan Ndoro Putri kepadaku. Beliau kemudian masuk ke ruang keluarga.
Sepeninggal Ndoro Putri satu yang membuatku bingung, yaitu perintah beliau untuk cepat makan. Padahal aku masih kenyang karena baru saja makan di rumah Ana.
Daripada aku mendapat semburan lagi, akhirnya aku paksakan untuk makan walau sebenarnya perutku sudah tak mampu menampung lagi. Aku makan tetap dengan porsi biasanya, dan apes nya lagi porsi biasa aku makan lumayan banyak. Aku bisa mendapat semburan lagi kalau aku mencoba untuk mengakalinya dengan mengambil makanan yang lebih sedikit dari biasanya. Karena entah mengapa dan bagaimana, sepertinya Ndoro Putri tau seberapa banyak aku makan.
Setelah selesai makan aku beristitahat sejenak memberi waktu perutku untuk melakukan pencernaan. Rasanya perutku hampir meletus karena makan terlalu banyak siang ini.
Setelah aku rasa perutku sudah agak lega, aku kemudian mengerjakan tugas yang Ndoro Kakung kemarin perintahkan kepadaku, yaitu membersihkan gudang.
Segara aku menuju gudang yang di daerah ini biasa di sebut gandok yang terletak di belakang rumah tak jauh dari kandang para sahabatku. Sejenak aku menyempatkan diri untuk menemui dan menyapa mereka.
"hello my bro my sista... how are you today mamen..." Sapaku ramah bergaya bak rapper kocak menyapa para sahabat karibku itu.
"moooaah...." Jawab sang my bro sapi.
"mbeeek..." Sambung my bro dan my sista kambing tak mau kalah.
Mereka bahagia sekali melihat kedatanganku menyapa, yang berarti suatu pertanda kode alam kalau mereka akan berpesta pora.
Segera aku mengambilkan mereka pakan kemudian setelah itu aku benar benar menuju ke gudang dan melaksanakan tugasku membersihkannya..
"ckrieeek...." Suara derit pintu gudang yang aku buka.
"bruuush..." Hembusan udara pengap yang langsung menghambur keluar begitu aku membuka pintu gudang.
Gudang ini memang jarang sekali di buka dan juga kurang ventilasinya. Bahkan seingatku sudah hampir setahun pintu ini tak pernah di buka. Terakhir kali setahun yang lalu Ndoro Kakung pernah mengajakku mengangkat sebuah kotak kayu besar berbahan kayu jati dan berukiran indah untuk di simpan di dalam sini. itulah kali terakhir pintu gudang ni di buka.
Saking jarangnya pintu ini di buka, sebenarnya aku agak takut untuk masuk sendirian. Di dalam gudang ini terasa berhawa dingin dan seperti tercium aroma mistis di dalamnya. Aroma debu nan pengap menjadikan bulu bulu kudukku merinding. Bahkan aku juga sering membayangkan hal hal menakutkan setiap melintas di depan gudang ini.
Segara aku nyalakan lampu penerangan gudang dan satu satunya jendela yang ada untuk mengusir ketakutanku. Dengan gerak cepat aku sapu dan bersihkan lantai gudang yang berubin marmer ini sambil tak lupa membersihkan sarang laba laba yang mulai banyak di sini.
Tak sampai satu jam akhirnya aku sudah bisa menyelesaikan tugasku membersihkan gudang. Tapi begitu aku hendak melangkah keluar, tiba tiba saja pandanganku tertuju ke sebuah kotak kayu berbahan kayu jati berukiran indah yang tergeletak di pojok ruangan.
Walau bulu kudukku merinding, tapi rasa penasaranku lebih kuat sehingga mendorongku untuk memberanikan diri menghampiri kotak kayu itu dan membukanya.
Jantungku tiba tiba saja berdegub dengan kencang dan firasat firasat aneh mulai aku rasakan begitu aku memegang kotak kayu itu. Dengan takut dan gemetaran aku memberanikan diri untuk membuka kotak kayu jati itu.
"ckrieeek...." Derit engsel berkarat kotak kayu itu.
Begitu daun penutup kotak kayu itu terbuka, jantungku yang berdegub kencang semakin berdegup lebih kencang lagi. Aroma kemenyan dan semerbak wangi bunga sesajen tajam menusuk hidungku. Aku serasa hampir tak mampu lagi menguasai debaran jantungku sendiri dan hampir hampir aku jatuh pingsan karenanya. Aroma mistis semakin kental terasa .
"ada apa ini sebenarnya....?" Kata hatiku bertanya tanya penasaran.
Di dalam kotak kayu itu berisi gulungan gulungan kertas dan beberapa tumpuk buku buku kuno di dalamnya. Di atas tumpukan buku buku kuno itu ada sebuah kotak kecil sepanjang dua jengkal jari dan terbungkus kain kafan putih. Di samping pojok sebelah kanan terdapat sebuah lukisan yang sudah usang. Di dalam kotak kayu jati itu juga terdapat bekas bekas bunga tujuh rupa yang sepertinya sisa sisa bunga sesajen.
Entah kenapa tiba tiba saja tanganku seperti bergerak sendiri dan mengambil lukisan usang yang terdapat di pojokan kotak kayu.
Betapa terkejutanya aku setelah melihat gambar yang terlukis indah di kanvas usang itu. Tergurat lukisan setengah badan seorang perempuan anggun bersanggul konde. Seraut wajah ayu seorang putri priyayi yang hampir mirip dengan Non Ega.
Wajahnya yang anggun, sorot matanya yang sayu namun tajam menusuk, dan senyumnya yang tergurat tipis penuh misteri. Semua yang tergambar di kanvas ini hampir sama persis tak ada bedanya dengan Non Ega.
"lukisan siapa ini, kok mirip banget dengan Non Ega...?"
"apa ini lukisan Non Ega...?"
"ah... nggak mungkin... lukisan ini lebih tua dari usia Non Ega...."
"jadi lukisan siapa ini sebenarnya....?" Kata hatiku bertanya tanya.
"deg...!"
Tiba tiba saja aku tersentak. Aku merasa lukisan itu sedang menatapaku sedang memperhatikan aku. Seketika bulu kudukku kembali merinding. Buru buru aku letakkan kembali lukisan itu di tempatnya semula.
Setelah mengembalikan lukisan itu di tempatnya semula, pandanganku berlih tertuju ke sebuah kotak yang yang terbungkus kain kafan putih tersebut. Dengan gemetaran aku mencoba untuk menyentuh kotak itu.
"panas..." Batinku.
Kotak yang terbungkus kain kafan putih itu terasa aneh. Kotak itu terasa panas dan jemariku terasa seperti tersengat listrik saat menyentuhnya. Akhirnya aku urungkan niatku untuk memegang kotak yang terbungkus kain kafan putih itu.
Karena ketakutanku yang semakin tak sanggup aku kuasai, buru buru aku tutup kembali kotak kayu jati itu dan segera bergegas keluar dari gudang. Saat aku melangkah hendak menutup jendela gudang, bulu kudukku semakin merinding. Aku merasa ada sepasang mata yang sedang memperhatikanku gerak gerikku dari belakang.
"hhiii.... gggrrrrr..." Tubuhku bergidik merinding.
Langsung aku cepat cepat menutup jendela dan berlari keluar dari gudang itu.
tiba tiba.
"bruaak...!!!" Aku bertabrakan dengan Ndoro Kakung yang sepertinya hendak menyusulku di gudang.
Karena bernturan yang keras aku sampai jatuh terjengkang begitu juga Ndoro Kakung yang aku tabrak.
"ngopo to Di kok mlayu mlayu ki...?"
("kenapa to Di kok lari lari...?") Tanya Ndoro Kakung sambil berusah kembali berdiri.
"Nyuwun sewu Ndoro..."
"mboten wonten nopo nopo kok..."
("nggak ada apa apa kok...") Jawabku sambil berdiri dan meminta maaf.
"kamu kok kayaknya ketakutan...?"
"kau takut opo to ngger..."
"mboten wonten nopo nopo kok Ndoro... sa'estu..."
("tidak ada apa apa kom Ndoro... beneran...") Jawabku sambil buru buru menutup pintu gudang.
"monggo Ndoro... pareng..." Pamitku sambil bergegas meninggalkan Ndoro Kakung di depan gudang.
Ndoro Kakung melihat keanehanku dengan heran. mungkin beliau sedang bertanya tanya ada apa dengan Pardi.
Hari ini aku selalu di hantui seraut wajah di dalam lukisan usang itu. Kesibukanku mengerjakan tugas tugas rutinkundi rumah bahkan sampai mencari pakan para sahabat di hutan tak bisa menghilangkan bayangan seraut wajah itu dari benakku.
"Hatiku selalu bertanya siapa perempuan itu?"
"Kenapa hatiku bergetar saat memandang lukisan itu?"
"Dan apa isi di dalam kotakan berbungkus kain kafan itu?" Kata hatiku tak henti hentinya bertanya.
Sebenarnya aku sempat mempunyai fikiran untuk menanyakan ini kepada Ndoro Kakung. Mungkin saja beliau mempunyai jawaban atas kepenasaranku ini. Tapi aku tak sanggup menanyakannya kepada beliau.
Malam harinya aku semalaman tak bisa memejamkan mata. Bayangan seraut wajah wanita di dalam lukisan itu masih saja bergelayut di dalam benakku. Bahkan aku merasa kalau wanita itu sekarang sedang berada di sini di dalam kamarku. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku entah dari mana, yang jelas aku bisa merasakan kehadirannya di sini.
>>>BERSAMBUNG>>>
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 komentar