• Posted by : Jeni Ratna Sari 4 Jan 2013


    Chapter VI
    31 AGUSTUS ULANG TAHUN KOTA

    >>>>> Baca Kisah Sebelumnya Disini>>>>



    Kenapa aku menangis, dan kenapa juga aku harus bersedih. Bukankah ini tak ada hubungannya dengan apa yang menjadi masalahku. Masalahku adalah dengan Gayatri Ndoro Ayuku, bukan dengan mereka yang sedang mamadu kasih. Mungkin melihat mereka mengingatkan aku akan momen indah yang berakhir dengan penghinaan yang menyakitkan itu.

    Aku tak sanggup lagi menyaksikan hal yang membangkitan ingatan atas kesedihan itu. Selain tak sanggup, aku juga tak ingin mengganggu Rudi dan pasangannya yang sedang mengecap manis kuncup kuncup asmara. Segera aku beranjak pergi dengan pelan berusaha sesunyi mungkin agar tidak mengganggu mereka.
    Langsung aku kembali meluncur di atas dua roda menjelajahi kampung dan desa desa untuk menenangkan diri.

    "keadaane Gayatri piye yho neng ngomah...?"
    ("keadaan Gayatri di rumah bagaimana ya...?") Kata hatiku mengkhawatirkan keadaan Gayatri.

    Walaupun aku berusaha untuk melupakan tentang gadis ayu yang bernama Gayatri, melupakan apa yang baru saja terjadi di antara kami, tapi hati kecilku tak bisa aku di bohongi. Hatiku masih mengkhawatirkan keadaanya yang berada di rumah sendirian.

    Merasa lelah setelah sekian lama beredar tak jelas rimbanya di atas dua roda motor F 1 ZR full cluth, aku menghentikan sejenak motorku di pinggir jalan. Sebentar aku raba kantong kantong celanaku. Aku ingat kemarin aku menaruh selembar uang sepuluh ribuan pemberian Ndoro Putri di sana. Dan benar saja, akhirnya uang yang sudah lusuh sampai kriting itu aku temukan di saku celana depan sebelah kanan.

    Setelah menemukan apa yang aku cari, aku kemudian melanjutkan lagi perjalanan galauku. Tapi perjalananku kali ini ada maksud arah dan tujuannya. Aku mencari sebuah warung untuk sekedar jajan dan duduk duduk santai menenangkan fikiran. Setelah lelah berputar putar, akhirnya aku menemukan sebuah warung yang aku rasa pas sesuai dengan kriteriaku untuk menenangkan diri.

    Aku kemudian langsung membelokkan motor yang aku kendarai ke sebuah warung yang berada tidak jauh dari SMU II Trenggalek. Sebuah warung kopi yang terletak persis di depan lapangan sepak bola kampung dengan pohon jambu rindang di depannya. Aku memilih warung ini karena aku berharap akan menemukan pengalih perhatian tentang Non Ega. Mungkin saja salah satu siswi di sini ada yang sanggup menggetarkan hatiku seperti Ndoro Ayuku.

    "buk... kopi ireng setunggal kaleh rokok surya setengah kilo..."
    ("buk... kopi hitam satu sama rokok surya setengah kilo...") Pesanku setengah bercanda ke ibuk pemilik warung.

    Yang aku maksud dengan bercandaan rokok setengah kilo adalah rokok setengah bungkus. kenapa aku bilang setengah kilo? karena biasanya kalau beli roko setengah bungkus, bungkusnya menggunakan plastik setengah kiloan kalau pas lagi apes tak kebagian bungkus. Bercandaan seperti ini sudah biasa di kalangan anak anak muda yang tidak mampu beli rokok sebungkus penuh seperti aku ini.
    "oh... enggih mah.... rantosi kedap nggeh....?"
    ("oh... iya mas... tunggu sebentar ya...?") Jawab si ibu sambil langsung membikin kopi pesananku.

    Tak berapa lama menunggu, akhirnya kopi pesanankupun datang juga sekalian dengan rokoknya. Dan pas juga seperti bercandaanku, rokok setengah bungkus pesananku menggunakan bungkus plastik setengah kiloan.

    "kopine mas...."
    "trus niki roko'e setengah kilo...."
    ("terus ini rokoknya setengah kilo...") Kata si ibu warung dengan bercanda.

    Segera aku menyeruput kopi hitam manis yang masih panas itu sambil menikmati sebatang rokok. Pandanganku melayang menyapu ke sekeliling, melihat sekolahan di depan sana yang masih sibuk dengan proses belajar mengajar.

    Saat sedang asik menikmati kopi dan rokok, tiba tiba ada suara yang memanggilku.

    "hoey.... Di.... lagi ngopo kwe neng kene...?"
    ("hoey.... Di.... lagi ngapain kamu di sini...?") Suara yang menegurku itu.

    Langsung pandanganku mencari arah suara itu. Betapa terkejutnya aku setelah mengetahui kalau yang memanggilku itu adalah Rudi sahabatku. Dan yang paling mengejutkanku adalah cewek yang sedang berada di boncengan motor Suzuki Satri R kelir teleonica miliknya. Cewek yang bergelayut memeluk mesra dari boncengan motornya itu adalah Siti. Siti teman Sri anggota trio macan yang selalu menggodaku.

    "mesra banget Siti ama Rudi...?"
    "apa mungkin mereka pacaran... mulai kapan...?"
    "berarti cewek yang tadi bercumbu dengan Rudi itu Siti...." Tanya hatiku penasaran.

    Karena setauku tak ada sinyal sinyal khusus antara Rudi dan Siti. Di sekolah mereka bersikap biasa saja, dan Rudi juga tak pernah bercerita atau curhat kepadaku tentang Siti. Padahal sebagai sahabat karib, segala hal selalu kami curhatkan. Sudah tak ada lagi rahasia dibantara kami berdua. Bahkan selama ini Siti paling gencar menggodaku.

    "hoey Rud... ngopi kene loh...."
    ("hoey Rud... ngopi sini loh....") Jawabku sambil menawarinya kopi.

    Rudi kemudian membelokkan motornya ke halaman warung dan segera menyusulku yang sedang duduk santai menikmati segelas kopi dan sebatang rokok di balai bambu di bawah pohon jambu yang rindang. Terlihat sipu malu di wajah manis Siti yang mengikuti Rudi dari belakang menghampiriku.

    "ngapain kamu di sini Di...?"
    "kemana aja kamu dua hari gak sekolah...?" Tanya Rudi begitu duduk di sampingku sambil mengambil sebatang rokokku.

    "yaaah... biasalah Rud..."
    "si Ndoro Ayu lagi rewel...." Jawabku lemas.

    "emang ngapain lagi itu si Ndoro Ayumu itu...?"
    "kamu pacarin aja sekalian itu Ndoro Ayumu biar gak rewel lagi..." Tanya dan canda Rudi dengan mimik penasaran

    "haiyaah... gak usah di bahas lagi lah Rud...."
    "kayak yang gak tau Gayatri aja kamu..."
    "sampai lupa kan aku belum nyapa Siti..."
    "kamu sih nanyain Ega terus..."
    "hai Siti....." Jawabku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menyapa siti.

    "hai juga pardi..." Jawab Siti dengan bias sipu di wajahnya.

    Setelah itu kami berbincang bincang ngalor ngidul sambil ngopi ngopi. Hampir satu jam kami nongkrong di warung dekat SMU II Trenggalek itu. Canda tawa dan guyonan antara aku dan Rudi sedikit banyak bisa sedikit mengurangi kegelisahan hatiku. Sejenak aku bisa melupakan tentang Non Ega, tentang apa yang telah terjadi di antara kami.

    "Rud... kok kamu sama Siti di sini sih...?"
    "kalian bolos ya...?" Selidikku.

    "hehehe.... biasalah Di... kenakalan remaja..." Jawab Rudi enteng sambil menyeruput kopinya.

    "hush... kamu ngomong apa sih ah..." Timpal Siti sambil mencubit mesra lengan Rudi.

    "aaow... sakit tau sayang...." Protes Rudi dengan gaya tengil sok romantis.

    Menerima panggilan sayang dari Rudi di hadapanku, Siti kelihatan tidak begitu nyaman dan semakin tersipu malu dengan panggilan itu. Siti berusaha mengalihkan perhatiannya dengan mengambil jajanan yang di pajang di warung itu.

    Di antara aku dan Rudi yang bercanda dengan bebasnya, Siti kelihatan tidak nyaman berada bersama kami. Mungkin Siti sedikit risih atau mungkin juga malu karena dia yang selama ini selalu aktif menggodaku malah sekarang bersama Rudi sahabatku.

    Rudi yang tau persis semua cerita tentang diriku, seakan faham dengan ketidak nyamanan Siti. Dia kemudian pamit untuk mengantarkan siti pulang. Mungkin dia tidak ingin menempatkan Siti berlama lama di situasi yang mungkin tidak nyaman untuk Siti ini.

    "Di... aku caw dulu ya...."
    "mo nganterin pacar baru pulang...." Pamit Rudi cengengesan.

    "iiiih....." Timpal siti lagi sambil kembali mencubit lengan rudi, bahkan cubitan Siti kali ini kelihatan serius dan lebih keras lagi.

    Menerima cubitan dari gadis manis yang bernama lengkap Siti Masitoh kembang desa dari desa Gembleb yang katanya pacar baru itu, Rudi hanya meringis sambil bersenyum tengil.

    "yo wis.... ngati ati, gak usah mampir mampir..." Jawabku sok menasehati.

    Sepeninggal Rudi dan Siti aku kembali sendiri nongkrong di warung ini. Merasa sudah bosan aku kemudian membayar kopi, rokok, dan jajanan yang di ambil Siti tadi. Untung saja uang yang aku bawa cukup untuk membayar itu semua. Setelah itu aku langsung membetot stang gas motor yang aku bawa itu, dan sekarqng tujuanku adalah pulang kerumah.

    Hatiku sudah sedikit tenang dengan sedikit hiburan dari Rudi dan Siti yang ternyata mereka sudah berpacaran itu. Walaupun aku merasa ada sesuatu yang janggal karena proses yang sedemikian cepatnya, tapi aku turut berbahagia karena sahabat karibku akhirnya menemukan tambatan hatinya.

    Sesampainya di rumah aku langsung kembali menyibukkan diri dengan tugas tugas rutinku setiap hari di rumah. Pekerjaan rutinku yang sudah cukup terbengkalai selama dua hari ini. Selama di rumah, aku berusaha menghindari Non Ega, dan untungnya juga Non Ega sepertinya juga bersikap sama sepertiku. Non Ega lebih banyak mengurung diri di kamarnya.
    Aku rasa ini lebih baik, karena memang seperti inilah kami biasanya. Dari pada kami kelihatan mesra yang malah akan membuat curiga Ndoro Kakung dan Ndoro Putri begitu mereka pulang nanti.

    Tak terasa kejadian waktu itu sudah lewat hampir sebulan lamanya. Sampai saat inipun tak ada seorangpun yang tau tentang kejadian waktu itu, tidak juga Rudi sahabat karibku yang selama ini menjadi tempatku mencurahkan uneg uneg. Sikap Non Egapun juga kembali seperti sedia kala yang selalu judes dan sering marah marah kepadaku.

    Tapi sekarang aku agak sedikit berani membantah dan melawan Non Ega. Aku sudah bosan di perlakukan seperti binatang oleh gadis cantik yang sebenarnya aku cintai itu.

    Di suatu siang di jam istirahat sekolah, aku yang biasanya selalu mengurung diri di kelas dan menyibukkan diri dengan membuka buka buku pelajaran mulai membuka diri. Hari ini untuk pertama kalinya aku mau menerima ajakan Rudi untuk nongkrong dan jajan di kantin.

    "ke kantin Di yuk...?" Ajak rudi seperti biasanya. Rudi memang tak pernah bosan bosan mengajakku ke kantin walau aku selalu menolaknya.

    "ayuuk... lets go...." Jawabku penuh semangat.

    "sek sek sek sek.... aku gak salah denger ini...?"
    "serius kamu Di...?" Tanya Rudi yang heran dengan jawabanku kali ini yang menerima ajakannya ke kantin.

    "haaisyaah.... ayuk ah...." Balasku sambil menarik tangan Rudi keluar dari kelas.

    Sesampainya di kantin sekolah yang sudah ramai, semua tatap mata mengarah kepadaku. Mungkin mereka heran dengan keberadaanku di kantin. Keberadaanku di sini memang terlihat langka bagi mereka mereka.

    "wheit... ada Denmas Pardi rupanya...?"
    "minggir minggir... kasih Denmas Perdi jalan...." Canda Bambang si anak IPA II.

    "Monggo kanjeng... silahkan duduk...."
    "Kanjeng Mas Pardi mau pesan apa...?" Tambah Jayeng teman sekelas Bambang sambil menggeser duduknya.
    Ada yang sedikit menggelitik dari anak IPA II yang bernama Jayeng ini. Entah apa yang ada di dalam fikiran kedua orangtua anak tengil berambut kriwil ini dulu saat memberinya nama. Jayeng Hardika Chounthoul Prakoso nama lengkap anak ini. Chounthoul yang menjadi nama tengahnya inilah yang sering menjadi ledekan dan bahan guyonan anak anak sesekolahan. Yang lebih lucu lagi kalau guru perempuan yang mengucapkan namanya, pasti langsung meledak gelak tawa seisi kelas.
    Walaupun aku jarang keluar kelas dan bergaul, tapi aku cukup terkenal juga di sekolah ini. Aku tenar karena kepandaian dan prestasiku, bukan tenar karena kesombongan dan kecongkakan seperti Non Ega.

    Saat aku sedang di bercandai anak anak, tiba tiba datang Ana yang selama ini menyimpan rasa kepadaku dan menghampiriku.

    "eh ada mas Pardi toh...."
    "tumben ke kantin Di..." Tanya Ana sambil mengambil duduk di sampingku.

    Seolah memberi kesempatan kami untuk berduaan, Bambang dan si Chounthoul cs yang tadinya duduk di sekitar kami kemudian beranjak pergi satu persatu. Bahkan Rudi yang tadi sedang memesan minumanpun juga pergi meninggalkan aku dan Ana setelah meletakkan pesananku. Sekarang hanya tinggal ada aku dan Ana di kursi panjang kantin yang seharusnya muat untuk empat orang itu.

    "hehehe... iya ni An... bosen di kelas terus...." Jawabku.

    "naah gitu dong... sekali kali gaul kan gak apa apa toh... " Balas Ana sambil menyunggingkan senyum di bibir manisnya.

    Seketika langsung terjalin obrolan yang hangat antara aku dan Ana. Gaya bicaranya, nadanya, gestur tubuhnya, senyum manisnya, semua yang ada padaya adalah kebalikan dari Non Ega. Sungguh sosok dan karakter yang saling bertolak belakang walaupun sama sama terbalut dalam indahnya paras cantik yang sebanding.

    Bersamanya aku merasa di hargai sebagai manusia. Di sampingnya aku merasa menemukan syurga. Dan berbincang dengannya aku bagaikan mendengarkan alunan gending jawa yang syahdu merdu merasuk kejiwa.

    Mungkin inilah saatnya aku membuka mata. Mungkin sekaranglah waktunya aku mengenal asmara. Sudah saatnya aku melupakan Non Ega. Aku harus bisa lepas dari bayang bayang mata sayu dan senyum iblisnya. Akan ku anggap apa yang sekejap pernah tergurat antara aku dan dia hanyalah mimpi semata. Dan sekarang saatnya aku membuka mata dan kembali ke dunia nyata.

    "iya... akan kutambatkan hatiku padanya...."
    "akan aku renda indah asmara bersamanya...." Kata hatiku mulai berjanji.

    Semenjak awal kisah yang dimulai di kantin itu, dari hari ke hari kedekatanku dengan Ana semakin intens. Akupun sudah tak takut lagi dengan Non Ega yang selalu mencak mencak setiap kali menemui aku sedang berduaan dengan Ana. Aku sudah tak perduli dengan itu semua.
    Aku juga manusia biasa yang punya hati dan jiwa. Aku juga butuh bahagia sama seperti umumnya manusia. Aku juga butuh cinta.

    Walaupun aku semakin dekat dengan Ana, tapi aku belum mengutarakan keinginanku untuk mempersuntingnya menjadi kekasihku. Aku belum menemukan momen yang tepat untuk itu, momen yang pas untuk mengutarakan isi hati.


    31 Agustus

    Hari ini tanggal 31 Agustus yang merupakan hari jadi Kota Tenggalek Berteman Hati. (Berteman Hati = bersih tertib aman sehat dan indah.) Seperti tahun tahun sebelumnya setiap tanggal 31 Agustus atau malam 1 September, Pendopo kabupaten selalu mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Dan seperti tahun tahun sebelumnya juga, segenap keluarga besar Noyolesono selalu menjadi tamu kehormatan, termasuk juga Noro Kakung sekeluarga dan tak terkecuali juga aku yang selalu beliau ajak kesana.

    Jam setengah delapan malam selepas isya', semua orang tremasuk aku sudah berpakaian rapi siap berangkat memenuhi undangan ke kabupaten. Non Ega yang biasanya selalu paling sibuk berdandan ini itu, tapi tumben malam ini sepertinya dia tidak bersemangat. Di sat semuanya sudah berdandan rapi, Non Ega malah masih asik dengan pakaian santainya.

    "Ega... ayo to ndok.... ayo gek ndang dandan ndok ayu..."
    ("Ega... ayo nak... ayo cepat dandan anak cantik...") Perintah Ndoro Kakung yang sudah berdandan rapi kepada Non Ega yang masih dengan pakaian santainya.

    "ayo Ga.... cepet...."
    "wis selak kewengen ki loh ndok..."
    ("sudah keburu kemalaman ini loh nak...") Imbuh Ndorl Putri ibunya.

    "nggak ah...Ega nggak ikut...."
    "ngapain repot repot nonton yang begituan...."
    "mendingan Ega bobok manis di rumah...." Balas Non Ega ketus.

    Setelah tidak mempan di bujuk rayu sedemikian rupa, akhirnya Ndoro Kakung menyerah dengan kekerasan hati anak gadis semata ayangnya ini.

    "yo wis lah buk..."
    ("ya sudah lah buk....")
    "yen ngono aku tak budal karo Pardi wae..."
    ("kalau begitu aku tak berangkat dengan Pardi saja....")
    "ibuk neng ngomah wae ngancani Gayatri..."
    ("ibuk di rumah saja nemenin Gayatri....")

    "yo wis yen ngono pak..."
    ("ya udah kalau begitu pak...")
    "lagian ibuk yo kesel banget kok pakne...."
    ("lagi pula ibuk juga capek banget kok pak....")
    "yo wis... ibuk titip salam wae nggo pak Bupati sekalian...."
    ("ya udah.... ibuk titip salam aja buat pak Bupati beserta istri....")

    "yo wis yen ngono.... bapak budal disek yo buk...."
    ("ya udah kalau begitu.... bapak berangkat dulu ya buk...")

    "iyo pak.... ngati ati....."
    ("iya pak.... hati hati....")

    Akhirnya dari keluarga Raden Mas Haryo Seto ini hanya beliau dan aku saja yang memenuhi undangan itu.

    Segera setelah berpamitan, kami langsung menuju ke pendopo kabupaten mengendarai mobil Mercedes-Benz 300Sc Cabriolet tahun 1957 klasik kebanggaan ndoro kakung. Mobil yang mungkin hanya Ndoro Kakung satu satunya orang Indonesia yang memilikinya. Tak berapa lama kamipun akhirnya sampai di pendopo kabupaten yang ternyata sudah ramai itu.

    Acara pagelaran wayang kulit ini dari tahun ke tahun tak pernah sepi pengunjung. Bahkan dari siang rombongan penonton dari daerah Ndongko, Panggul, Munjungan sampai Bendungan sudah menggelar tikar menandai lapak mereka. Maklum saja kalau mereka sudah berjubel dari siang harinya. Selain karena lokasi tempat tinggal mereka yang jauh berada di daerah pegunungan dan bertujuan mencari lapak agar kebagian tempat terdepan, di karenakan juga karena adanya bazar atau masyarakat di sini biasa menyebutnya exposisi di alun alun kota. Jadi mereka bisa sejenak jalan jalan atau berbelanja barang murah sambil menikmati keramaian kota yang langka.

    Sesampainya di pendopo, kami (Ndoro Kakung lebih tepatnya) langsung di sambut hangat oleh segenap perangkat pemerintahan kabupaten, muspida dan seluruh para tamu undangan. Ternyata di sana juga sudah datang Kanjeng Raden Suroso Noyolesono atau yang biasa aku panggil Kanjeng Eyang Kakung ayah Ndoro kakung beserta istrinya Nyai Darsih yang biasa juga aku panggil Kanjeng Eyang Putri ibunda Ndoro Kakung.

    Selain Kanjeng Eyang Kakung beserta istri, ternyata di sana juga sudah ada Raden Haryo Sentanu atau yang biasa aku panggil Ndoro Pakde, kakak Ndoro Kakung beserta anak istrinya.

    Segera aku menjabat dan mencium tangan para sesembahanku itu.

    "eh Pardi... makin ganteng aja kamu...?"
    "Ega nya mana Di...?" Sapa ramah Raden Ajeng Nora anak gadis Ndoro Pakde saat aku mendekat dan hendak menjabat tangannya.

    "eh mbak Nora... Eganya nggak ikut mbak..." Jawabku sopan sambil menjabat tangannya.

    Raden Ajeng Eleonora Noyolesono nama lengkap beserta gelar kebangsawanan anak gadis Ndoro Pakde yang biasa aku panggil mbak Nora ini. Gadis cantik bermata biru ini tak kalah cantiknya dengan Non Ega. Tabiat dan tindak tanduknya juga berbanding terbalik dengan Non Ega. Mbak Nora yang juga seumuranku itu lebih suka aku panggil Mbak dari pada Ndoro ataupun Non. Gaya dan cara berfikirnya yang lebih ke arah liberalis itu mungkin karena pengaruh dan didikan dari Mamanya yang asli Belanda itu.

    Istri Ndoro Pakde yang bernama asli Hanastasia Van Dijk asli orang belanda. Tante Hana biasa aku memanggilnya karena beliau juga tidak suka dengan panggilan Ndoro sama seperti Mbak Nora anaknya. Tanye Hana orangnya baik dan ramah, tidak seperti Ndor Pitri yang judesnya minta ampun.

    Setelah berbasa basi sejanak dan beberapa sambutan dari Kanjeng Eyang, Bapak Bupati dan para orang terhormat di kabupaten ini, akhirnya pagelaran wayang kulitpun di mulai dengan di dahului pemotongan tumpeng.

    Pagelaran wayang kulit tahun ini mengambil lakon Semar mbangun Khayangan. Pegelaran wayang kulit dengan lakon Semar mbangun Khayangan ini seakan merupakan “lakon wajib” bagi dalang untuk membawakannnya. Disamping menarik, lakon ini memberikan pesan moral yang gampang dimengerti kendati mengandung nilai-nilai filosofis khas kejawen. Hampir semua dalang pernah membawakan cerita ini dengan versi dan kreativitas masing-masing, tak terkecuali Ki H Anom Suroto yang menjadi dalang di pagelaran kali ini. Oleh karena itu lakon ini banyak dikenal dan merupakan lakon favorit masyarakat pecinta wayang kulit.

    Aku yang juga duduk di antara keluarga besar Noyolesono itu tiba tiba di kagetkan dengan sebuah colekan dari arah belakang. Ternyata yang mencolekku itu adalah Triana, gadis cantik teman sekolahku yang akan aku dapuk untuk menjadi tambatan hatiku.

    Triana Subur Lestari pasti datang kesini bersama dengan kedua orangtua dan seluruh keluarganya. Ayah Ana juga termasuk orang penting di kabupaten ini, karena ayah Ana yang bernama Bambang Sangaji itu pernah juga menjabat sebagai Bupati beberapa periode yang silam.

    "sssst.... jalan jalan yuk Di....?" Ajak Ana sambil memberi isyarat jari di bibir agar jangan berisik.

    "yo wis.... tunggu di depan ya..."
    "aku tak pamitan dulu...."Jawabku menerima ajakannya.

    Kemudian Ana langsung pergi menuju tempat yang aku janjikan, sementara aku berpamitan dulu kepada Ndoro Kakung.

    "nyuwun sewu Ndoro...."
    "kulo pamit bade jalan jalan sekedap...."
    ("saya pamit mau jalan jalan sebentar...") Pamitku kepada Ndoro kakung yang sedang serius menikmati pegelaran.

    "yo wis.... ngati ati...." Jawab Ndoro Kakung sambil tatapan matanya masih tertuju serius di pagelaran.

    Segera setelah mendapat ijin dari Ndoro Kakung aku langsung menemui Ana yang sudah menungguku di depan. Setelah bersusah payah melewati kerumunan penonton yang ramai penuh sesak, akhirnya aku sampai juga di tempat Ana menungguku.

    "mau kemana kita An..." Tanyaku sesampainya menemui Ana.

    "ke rumah aku aja yuk....?"
    "males di sini rame banget...." Ajak Ana.

    Tanpa menunggu konfirmasi dariku terlebih dahulu, Ana langsung menarik tanganku melintasi kerumunan penonton menuju ke rumahnya. Rumah Ana yang berada di kawasan elit Desa Ngantru itu memang tak jauh dari alun alun. setelah kira kira lima belas menit berjalan kaki, akhirnya kami sampai di sebuah rumah mewah dua lantai rumah Ana.

    Suasana sangat sepi di dalam dan di sekitar rumah Ana, karena semua orang sedang berada di alun alun menyaksikan pagelaran wayang kulit. Langsung kami masuk ke halaman rumah itu dan duduk duduk santai di teras depan rumah.

    Sebentar Ana kemudian masuk kedalam rumahnya. Saat keluar lagi dia sudah membawa dua gelas minuman dingin dan sebungkus rokok gudang garam surya lengkap dengan koreknya.

    "minum dulu Di...." Tawar Ana sambil meletakkan gelas dan sebungkus rokok yang di bawanya itu di antara kami.

    Sejenak aku terhenyak. Aku tiba tiba teringat denga Non Ega yang beberapa waktu lalu juga pernah membawakan segalas minuman untukku persis seperti saat ini.

    ku kuatkan hati untuk bisa melupakan dan menghapus kenangan itu hati dan fikiranku. Aku yakinkan hatiku bahwa kenangan indah itu hanya mimpi. Sekarang dan nyataku adalah Triana yang sedang berada di sampingku ini. Mungkin sekaranglah saat yang tepat untuk mempersuntingnya menjadi kekasihku.

    "ini rokok buat siapa An...?" Tanyaku sambil mengambil sebatang rokok itu dan langsung menyalakannya.

    "ya buat kamu lah... masa buat aku...."
    "punya ayah itu Di.. tadi ketinggalan di meja...." Jawab Ana sembari meminum minumannya dengan gaya yang anggun.

    Sejenak aku bermain dengan kepulan asap yang mengandung racun nikotin itu. Aku berusaha untuk menenangkan dan mempersiapkan diri untuk mengatakan cinta.

    Ikrar cinta yang walaupun sebenarnya hanya pelarian ini cukup membuat hatiku berdebar debar. Beberapa kali kalimat yang telah aku rancang rapi di otakku tang sanggup keluar dari mulutku. Kata kata itu sepertinya tercekat terhenti di tengorokannku tak sanggup meluncur keluar. Mungkin aku masih hijau tentang masalah ini karena ini adalah pengalaman pertamaku menyatakan cinta.

    Ku tarik satu helaan nafas panjang dan dalam. Ku kumpulkan segenap keberanian dan kekuatan mentalku untuk menghadapinsaat saat yang ternyata sangat menyiksa ini.

    "An....." Kataku yang tercekat.

    "eemh... iya Di... ada apa...?" Jawab Ana manis sambil masih menempelkan ujung gelas yang di pegangnya di ujung bibir tipisnya.

    Sejanak tatapan mata kami beradu penuh arti. Seperti terjalin komunikasi di tatapan mata ini yang sudah cukup bisa mewakili isi hati yang gagal terucapkan.

    "kamu mau ngomong apa Di...?" Tanya Ana lagi dengan masih dalam pose manisnya.

    Sejenak tak aku jawab tanya itu. Aku pandangi lekat sesosok gadis cantik yang akan aku dapuk menjadi kekasihku itu. Seorang gadis ayu nan anggun dalam balutan kardigan hitam dengan rok lebar selutut yang sedikit memamerkan betis mbunting padinya yang putih halus mulus. Rambut panjangnya yang di kepang dua kuncir kuda semakin mempertegas ke keyuannya.

    "heeh... kok malah bengong sih..." Katanya lagi sambil menyenggol pundakku.

    "mmmmm.... aku mau ngomong sesuatu...." Kataku yang kembali tercekat di tenggorokan tak sanggup selesai.
    Seketika detak jantungku semakin memburu, semakin berdetak dengan kencang.

    Ana menunggu dengan sabar walaupun juga terlihat jelas raut grogi di paras cantiknya yang sudah tak sanggup lagi dia sembunyikan.

    Kembali kami terjebak dalam diam. Ana yang sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan aku sampaikan itu menundukkan wajah berusaha menyembunyikan wajah cantiknya yang tersipu merona. Jemarinya salah tingkah dengan memainkan ujung kain rok yang di pakainya.

    Sejurus kemudian tatapan mata kami kembali beradu. Terlihat jelas di tatapan matanya gurat tatap sayu penuh makna dan cinta. Sejenak juga terbersit dosa di dalam hatiku. Akankah aku tega mempermainkan perasaan hati gadis yang sepertinya memang benar benar mencintaiku ini. Pergolakan antara grogi dan rasa bersalah ini semakin menempatkanku di sudut tergelap bimbangku.

    "niat ku bukan untuk mempermainkan...."
    "walau benar hanya untuk pelarian, tapi aku berjanji akan setia menjaganya sampai ujung waktuku..." Kata hatiku berjanji.

    "An...." Kataku sekali lagi terpotong sambil mematikan puntung rokokku.

    Perkataanku kali ini terpotong bukan karena tercekat di tenggorokanku. kata kataku ini terpotong karena tiba iba saja Ana menarik lenganku masuk kedalam rumahnya.
    Aku terbengong tak mengerti dan hanya menuruti tarikannya. 

    Lewat ruang tamu, ruang keluarga dan Ana masih menarik lenganku naik ke lantai dua dan masuk kekamarnya. Sesampainya di kamarnya yang berukuran sedang dengan dekorasi serba hello kitty itu, Ana langsung mendorong tubuhku jatuh ke atas ranjangnya yang juga berseprei hello kitty.

    Begitu tubuhku jatuh terlentang di atas ranjang, Ana langsung menjatuhkan tubuh mungilnya menindihku dan langsung melumatkan bibirnya. Aku hanya bisa terbengong seakan tak percaya dengan apa yang aku alami. Aku tak menyangka Triana akan seagresif ini.

    Sejenak Ana menghentikan ciumannya di bibirku. Matanya indah menatap mataku dengan lekatnya dengan tubuhnya yang masih menindihku.

    "iya Di.... Ana mau....."
    "Ana mau jadi pacar kamu Di...."
    "Ana mau banget...." Jawab Ana atas pertanyaan yang belum sempat meluncur dari bibirku.

    "mmmmh....." Suara jawabku yang tertahan sumpalan bibirnya.

    Belum sempat aku menjawab itu, Ana sudah melancarkan lagi pagutannya di bibirku. Sebuah pagutan liar yang tak pernah aku sangka bisa datang dari gadis seanggun Triana.

    Pagutanya mengecapi setiap inci bibirku, bahkan lidahnya mulai nakal menyeruak masuk ke dalam rongga mulutku yang sedikit terbuka. Lidah itu bermain menjilat dan melilit lidahku yang masih terdiam terkejut belum merespon.

    Walupun masih setengah tak percaya dengan ini, perlahan aku juga mulai mengimbangi cumbuan Ana. Akupun mulai membalas pagutan liarnya dan turut juga memainkan lidahku membalas lilitan dan kecapan lidahnya. Sejenak kami bercumbu berpagutan saling mengecap dan melilitkan lidah bertukaran ludah dengan penuh nafsu.

    "eeeemh..... cuup....cuup..." Suara desahan kami beriringan dengan suara pagutan.

    Tanganku yang tadinya pasif juga sudah mulai ikut aktif beraksi menyempurnakan percumbuan ini. Aku peluk tubuh mungilnya yang menindihku itu dengan erat. Satu tanganku membelai kepalanya yang berambut kepang itu lembut tapi penuh dengan nafsu.

    Di saat mulut kami sibuk saling berpagutan, tubuh kami berdua juga sibuk menggeliat saling bergesekan. Adik kecilku yang masih berada di dalam celana jeans yang aku kenakan juga sudah bangkit dari tidur panjangnya. Si adik kecil itu menggeliat karena merasa tersiksa terpenjara di dalam sana.

    Tanganku yang tadinya hanya memeluk dan mengusap sekarang mulai semakin berani menjelajahi melecehkan auratnya. Tangan kiri yang tadinya hanya memeluk tubuh mungil Ana dengan erat itu kini mulai menjalar nakal turun ke bokongnya.

    Tanpa perlu aku menunggu persetujuan dari Ana, Aku menyingkapkan roknya naik sampai ke batas pinggangnya. Tak cukup sampai di situ saja, jemariku juga mulai semakin tidak sopan dengan menggesek gesek selangkangannya tepat di gundukan daging kemaluannya yang masih tertutup celana dalam.

    Tubuh Ana semakin menggeliat dan erangan serta desahananya juga semakin keras penuh birahi saat jemariku nakal menggesek gesek belahan bibir kemaluannya yang sudah mulai basah nafsu itu.
    Tangan kananku yang tadinya membelai rambut kepang juga mulai nakal turun ke punggungnya.

    Ana yang ternyata agresif itu juga tak mau ketinggalan. Tangannya mulai nakal menjelajahi setiap inci tubuhku. bahkan tangan kanannya juga mulai nakal menyelusup masuk ke dalam celanaku. Jemari lentik Ana mulai nakal bermain di batang kemaluanku. Jempol jarinya juga mempermainkan kepala kemaluanku.

    Suasana semakin memanas saat Ana tiba tiba melepaskan dekapan dan pagutannya. Ana kemudian jongkok di depan selangkanganku dan membuka kancing celanaku. Di pelorotkannya celana ku itu sekalian celana dalam doreng yang aku pakai sampai lepas.

    Seketika itu juga batang kemaluanku yang dari tadi tersiksa di dalam penjara celana langsung meloncat merdeka. Melihat kemaluanku yang tegang dengan gagahnya itu, Ana tersenyum tersipu memandangku.

    "hiii seyeeeem...." Canda Ana yang masih sempat sempatnya di situasi seperti ini.

    "kok celanaku kamu buka sih An..."
    "malu tau...." Kataku sambil tanganku berusaha menutupi kemaluanku.

    Usahaku menutupi kemaluanku itu hanyalah sia sia belaka karena tanganku tak kan mampu menyembunyikan batang auratku yang sudah membesar tegak mengeras itu.

    "hehehehehe...." Jawab Ana dengan sunggingan senyum misterius.

    Ana kemudian tiba tiba saja berdiri dan mulai melolosi pakaian yang di kenakannya satu persatu. Dimulai dari kardigan hitam yang dekenakannya, disusul dengan tank top putih yang berada di baliknya. Seketika aku bisa melihat dengan jelas gundukan payudaranya yang berukuran sedang nan montok di dadanya yang masih tertutup dengan Bh putih motif polkadot.

    Payudara yang sebenarnya tidak terlalu besar itu seakan hendak meloncat keluar dari kungkungan Bh kecil yang menyangganya. Tak cukup sampai di situ saja, Anapun kemudian juga meloloskan Bh itu sehingga sekarang payudara itu tersaji nyata di depan mataku. 

    Aksi gila Ana juga tak cukup sampai di situ saja, Ana bahkan juga meloloskan rok dan celana dalam yang di kenakannnya sehingga dia sekarang telanjang bulat berdiri di hadapanku.

    Aku yang masih belum percaya sepenuhnya bahwa gadis kalem sejenis Triana ini bisa berbuat hal segila ini hanya bisa terbelalak memandangi tubuh telanjang itu. Di kelopak mataku tersaji sesosok tubuh wanita sempurna dengan kulit putih yang halus dan mulus tanpa cacat sedikitpun. Sepasang payudara yang menggantung indah di dadanya semakin memperelok tubuh dengan pinggang ramping sempurna itu.

    Dari segala kesempurnaan tubub Ana itu, selangkangannya lah yang sebenarnya menjadi pusat perhatianku. Gundukan daging dengan belahan di tengahnya yang di rimbuni bulu bulu halus di sekelilingnya itu yang membuat nafsuku semakin menggebu dan membuat kemaluanku yang sudah keras tegak berdiri semakin berdiri lebih keras lagi.

    Sekali lagi tanpa minta persetujuan dariku, ana langsung menjatuhkan tubuhnya menindihku kembali dan langsung kembali juga melumat bibirku. Sejenak kembali kami larut dalam pagutan yang semakin membakar birahi ini. Tubuh dan pinggul Ana juga bergerak naik turun menggesekkan batang kemaluanku di belahan bibir kemaluannya yang sudah basah itu.

    Dan lagi lagi tanpa meminta persetujuan dariku, Ana mengarahkan kejantananku ke bibir kemaluannya dan langsung menekannya masuk kedalam lubang kemaluanya itu.

    "sssleeb....."

    "eeeemmmh....." Lengguhannya seiring sodokan kejantananku.

    Dalam satu tusukan itu akhirnya tamat sudah riwayat keperawananku.

    "oooh... An... An... Ana....."
    "An... ttu.... ttunggu dulu...." Usahaku mencegah perbuatan Ana.

    Usahaku yang hanya setengah setengah itu sia sia saja. Ana tak mengindahkan cegahanku dan malah makin membenamkan batang kejantananku lebih dalam lagi merangsek menusuk ke dalam rongga kemaluannya.

    Terasa hangat dan nikmat rasanya batang kemaluanku berada di dalam sana. Sebuah rasa nikmat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dan tiada banding di dunia.

    Setelah batang kejantananku masuk sempurna tertelan bibir kemaluannya, Ana langsung menggoyangkan pinggulnya maju mundur mengocok kejantananku di lubang kemaluannya.

    "eeeemmh.... oooh....."
    "eeeehhh.... aku milikmu Di...."
    "i love you sayang.... eeeh...." Lengguhan dan desahan Ana yang mulai tak terkendali.

    "aaaah... kenapa.... eeemmmh..."
    "kenapa harus begini An... oooh...."

    "sssst.... Ana sayang kamu Di..."

    "clop...clop...clop...clop..." Suara batang kejantananku keluar masuk di lubang kemaluan Ana yang basah.

    Ana yang berada di atasku itu semakin liar menggoyangkan pinggulnya mengocok batang kejantananku. Aku yang baru pertama berbuat seperti ini merasa kewalahan dan tak sanggup lagi mengombangi keliaran Triana.

    Triana mahir sekali menggoyangkan pinggulnya geal geol mengocok batang kejantananku. Otot otot di dalam dinding kemaluannya juga turut berkedut mencengkeram meremas remas batangku yang sedang keluar masuk di sana.

    "An... Ana.... oooh..."
    "stop dulu An.... aaaaih...." Kataku berusaha mencegah aksi Ana yang semakin menggila.

    Tapi usahaku itu terlambat sudah. Baru sekitar sepuluh menit batang kejantananku beraksi keluar masuk lubang kemaluan Ana, aku sudah merasa tak mampu lagi menahan dorongan nikmat yang menggumpal di ujung kemaluanku itu. Sepersekian saat pinggulku terangkat dan bergetar seiring dengan tumpahnya benih benih cintaku di dalam rongga kemaluan Ana yang mungkin juga langsung membuahi indung telurnya.

    "creet...creet...creet...creet...."

    "Aaan..... oooooh......" Erangan pelepasan kenikmatanku.

    Tanganku mencengkeram dan memeluk tubuh mungil Ana semakin erat seiring serbuan kenikmatan itu. Setelah badai itu berlalu tububku serasa lemah tak berdaya. tulang belulangku serasa lumpuh tanpa persendian.

    Triana sepertinya tidak memperdulikan aku yang sudah lemah tak berdaya ini. Dia malah semakin menggoyangkan pinggulnya dengan liar penuh nafsu.

    "aaaaah.... eeeemmmh..."
    "tahan yaaang..... aaayh....."
    "Ana seb.... oooih.... sebentar lagi...."
    "oooooh...."

    "clop....clop....clop....clop...." Suara batang kejantananku keluar masuk ke dalam kemaluannya yang semakin becek karena tumpahan spermaku.

    "aaaaih.... iyaaa....."
    "ini... ini... ini.... ooooh...."
    "Ana nyampe yaaaang.... aaaaaah...." Jerit Ana seiring dengan kedutan kedutan liar dinding kemaluannya.

    Dalam satu hentakan Ana membenamkan kemaluanku semakin dalam di lubang kemaluannya. Tubuh Ana yang sesaat tadi mengejang hebat perlahan mulai melemah terbenam di dalam pelukanku.

    Sejenak tiba tiba suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya deru nafas kami berdua yang memburu setelah melepaskan syahwat ragawi. Sesekali masih terasa sisa sisa kedutan dari dinding kemaluan Ana. Tubuh kami berdua juga terasa panas dan bercucuran keringat walaupun sebenarnya cuaca malam ini dingin menyayat tulang.

    Anganku melayang menerawang jauh. Tubuh telanjang gadis yang mulai sekarang adalah kekasihku ini masih berada dalam dekapanku. Dapat aku rasakan detak jantungnya dan helaan nafasnya.

    Hari ini tanggal 31 Agustus bertepatan dengan hari jadi kota Trenggalek aku mendapatkan tambatan hatiku. Hari ini tanggal 31 Agustus bertepatan dengan hari jadi kota Trenggalek aku kehilangan keperjakaanku. Hari ini tanggal 31 Agustus aku berjanji akan selalu setia dan menjaga Triana sampai di akhir penghujung waktuku.

    Setelah pulih dari rongrongan deru kenikmatan yang tak terkira, kami berdua buru buru berpakaian lagi dan segera meninggalkan ruman ini sebelum ada yang memergoki kami. sepanjang perjalanan kembali ke pendopo alun alun, Ana menggelayut dengan mesra di lenganku. Malam ini Ana telah syah menjadi kekasihku dan dia berhak untuk bertingkah semanja ini.
    Hari ini tanggal 31 agustus bertepatan dengan hari jadi kota trenggalek. Aku Supardi bin pulan menyunting Triana Subur Lestari binti Bambang Sangaji menjadi kekasihku dengan maskawin seluruh jiwa dan ragaku di bayar tunai

    >>>Bersambung>>>>

    0 komentar

  • Online

    Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Forum Bersama Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan