- Home>
- Cerita Fantasi >
- LORO BRONTO NANDANG CIDRO PART V
Posted by : Jeni Ratna Sari
4 Jan 2013
Chapter V
NANDANG WUYUNG
NANDANG WUYUNG
>>>Baca Kisah Sebelumnya Disini>>>
Aku berlari keluar dari kamar Non Ega dan langsung masuk ke kamarku. Sesampainya di kamarku setelah menutup pintu, aku berdiri terengah engah bersandar di daun pintu. Hatiku menyesali dengan kebodohan yang baru saja terjadi, tetapi di bibirku menyunggingkan senyum penuh dengan selaksa makna.
Hatiku menyesali kenapa aku harus mengalami hal konyol seperti ini dua kali. Bibirku menyunggingkan senyum entah karena apa. Mungkin karena semakin lama aku semakin jatuh cinta kepadanya, jatuh cinta kepada Ndoro Ayu Gayatri atau yang biasa aku panggil Non Ega.
Aku jadi teringat akan sepenggal lirik lagu jawa yang menceritakan betapa galaunya hati seseorang yang sedang kasmaran.
Larane loro ora koyo wong kang nandang wuyung
Mangan ora doyan, ora jenak dolan, nang omah bingung
Mangan ora doyan, ora jenak dolan, nang omah bingung
Rasanya sepenggal lirik lagu dari Manthous sang maestro campur sari itu cocok sekali menggambarkan kegalauan hatiku saat ini.
Memang benar seperti arti dari lirik lagu itu yang mengatakan kalau "sakitnya sakit tidak seperti orang yang lagi kasmaran". Dan tidak salah juga sebagai mana arti dari bait kedua sepenggal lirik itu yang berarti "tidak doyan makan, tidak tenang bermain, dan di rumahpun bingung". Lebih tepatnya GALAUkalau kata anak anak muda jaman sekarang. Seperti itulah keadaanku saat ini.
Puas tersenyam senyum seperti orang gila dan merenungi kebodohanku tertangkap basah dalam kondisi hina seperti itu, aku kemudian mengganti celana kolor dan celana dalamku yang sudah kotor ternoda benih benih keturunanku yang telah terbuang sia sia.
"waladalaah... uakeh tenan yo..."
("waladalaah... buanyak bener ya...")
"pantes wae awakku nganti kuru..."
("pantas saja badanku jadi kurus...") Batinku tersenyum melihat betapa banyaknya spermaku yang tumpah ruah.
Selesai mengganti celanaku yang basah sperma dengan celana jeans selutut, aku merebahkan tubuhku di ranjang mencoba meluruskan tulang belulangku yang serasa remuk hancur setelah terjatuh dari ranjang. Baru sejenak aku meluruskan rangka tubuhku, betapa terkejutnya aku melihat jam dinding kamarku yang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit.
Seakan tak percaya dengan pandangan mata dan jam dinding yang terpaku di dinding kamarku, buru buru aku membuka jendela kamarku untuk memastikan kebenarannya. Dan ternyata jam dinding itu memang tidak berbohong. Di luar sana matahari sudah bersinar dengan cerahnya.
Walau dengan tertatih tatih memegangi pinggang, aku buru buru berlari ke arah kamar Non Ega.
"Non.... Non Ega...."
"sudah jam tujuh lewat ni Non...."
"mau sekolah nggak...." Teriakku dari luar pintu kamar.
Sedetik kemudian Non Ega membuka pintu kamarnya. Masih dengan gaun tidur yang mengundang birahi itu dia semakin kelihatan cantik. Tampang bengis yang biasa terpajang di wajah cantiknya sama sekali tak terlihat dan berbekas. Seolah olah memang seperti inilah keseharian Non Ega. Manis, cantik, lucu, lugu, dan imut bukan angkuh, congkak, sombong, dan bengis seperti kenyataannya.
"oooooaaaahm....."
"iya... iya... Ega juga sudah tau kok..." Jawabnya sambil menguap dan mengacak acak rambut indah hitam panjangnya yang tergerai.
"terus gimana ni Non...?"
"dah kesiangan banget ini Non...?" Sambungku panik.
"lha arep piye meneh to yho....?"
("lha mau gimana lagi...?")
"wis kadung kawanen yho sekalian wae ra mlebu... gampang to...?"
("sudah terlanjur kesiangan ya sekalian aja nggak masuk... gampang kan...?")
"dadi uwong kok demenane repot..."
("jadi orang kok sukanya repot...") Jawab Non Ega dengan renyahnya.
Kelihatan sekali kalau Non Ega tidak terlalu memperdulikan sekolahnya. Sepertinya Non Ega tidak takut akan ketinggalan mata pelajaran yang mungkin bisa berakibat terburuk tidak lulus di ujian nasional nanti. Tapi tidak begitu dengan aku. Aku merasa takut dan sayang untuk bolos sekolah, apalagi sampai dua hari berturut turur seperti sekarang ini. Aku takut ketinggalan mata pelajaran dan (amit amit jangan sampai) tidak lulus di ujian nasional nanti. Karena ujian nasional itulah satu satunya kesempatanku untuk bisa membalas budi baik Ndoro Kakung sekalian. Aku ingin membuat bangga keluarga ini dengan nilai ujian terbaik.
"masa iya kita bolos dua hari berturut turut Non...?"
"terus memangnya kenapa...?"
"mau gak masuk sebulan kek emang ada yang berani marah...?" Jawabnya yang keluar lagi sifat adigang adigung adiguno nya.
"yaaah.... terserahlah..." Jawabku lemas sambil berjalan ke arah sofa di ruang keluarga dan menghempaskan pantatku di sofa panjang warna coklat muda. Aku sangat menyesali kenapa semua ini bisa terjadi.
Sekitar jam setengah delapan pagi setelah hanya mencuci muka tanpa gosok gigi, aku menyempatkan diri bersantai sejenak di teras depan rumah berusaha menikmati hidup. Sambil menyalakan tape compo kesayangan Ndoro Kakung, aku memberi makan burung perkutut yang juga kesayangan beliau.
"huuuur... ketuut... tuut... tuut....."
"huuuur... ketuut... tuut... tuut....." Nyanyian sang burung perkutut dengan merdunya.
Saat asik memberi makan si burung perkutut, tiba tiba aku terhenyak mendengar sebuah lagu dari tape kompo. Sebuah lagu yang di nyanyikan almarhum Manthous sang maestro campur sari itu tepat sekali menggambarkan perasaan hatiku saat ini.
Seiring merdu kleningan gamelan, suara merdu sang maestropun mulai menyanyikan gending campur sari yang berjudul NYIDAM SARI itu.
NYIDAM SARI
Umpomo sliramu sekar melati,
aku kumbang nyidam sari.
Umpomo sliramu margi wong manis,
aku kang bakal ngliwati.
Seneksen lintange luku,
semono janji prasetyaning ati.
Tansah kumanthil ing netro rinoso,
kroso rasaning ndriyo.
Chorus:
Mibero sak jagad royo,
kalingono wukir lan samudro.
Ora ilang memanise,
aduuh, dadi ati sak lawase.
..
Nalika niro ing wengi,
atiku lamlamen marang sliramu.
Nganti mati takkan biso lali,
lha kae lintange wluku.
Umpomo sliramu sekar melati,
aku kumbang nyidam sari.
Umpomo sliramu margi wong manis,
aku kang bakal ngliwati.
Seneksen lintange luku,
semono janji prasetyaning ati.
Tansah kumanthil ing netro rinoso,
kroso rasaning ndriyo.
Chorus:
Mibero sak jagad royo,
kalingono wukir lan samudro.
Ora ilang memanise,
aduuh, dadi ati sak lawase.
..
Nalika niro ing wengi,
atiku lamlamen marang sliramu.
Nganti mati takkan biso lali,
lha kae lintange wluku.
Alunan gending yang sungguh menyentuh haru sampai ke dasar kalbu itu aku nikmati dengan duduk santai di kursi rotan yang berada diteras depan rumah. Kursi rotan dimana biasa NdoronKakung dan Ndoro Putri Bersantai di pagi hari.
Saat aku sedang asik larut dalam alunan syair dan gending campur sari itu, kemudian datang Non Ega dengan membawa dua gelas minuman di atas nampan.
"duh Gusti mimpi basah aku semalam..." Gumanku syukurku dalam hati menerima kenyataan indah ini.
Non Ega yang ternyata membawa segelas kopi untuku dan segelas teh manis hangat untuknya itu kemudian meletakkan nampan yang di bawanya di meja. Sungguh manis sekali Ndoroku pagi ini. Dia melayaniku seakan aku adalah suaminya tercinta.
"kopinya Di..."Kata Non Ega menawarkan.
"ooh... iya Non...."
"eh maaf... Ga... terima kasih ya..." Jawabku.
Setelah Non Ega (yang sekarang boleh aku panggil Ega) menawarkan kopi yang di bawanya, aku bertingkah konyol dengan secepat kilat berlari yang di iringi tatapan heran Gayatri masuk kerumah dan ke kamarku. Ulah konyolku itu hanya untuk mengambil sebatang rokok Gudang garam surya sisa dari alun alun semalam. Menikmati segelas kopi memang belum pas rasanya kalau tanpa di temani sebatang rokok yang terselip di bibir.
"ngapain sih....?"
"di bikinin kopi kok malah kabur..." Tanya Non Ega begitu aku sampai lagi.
"ni...." Jawabku singkat sambil menunjuk sebatang rokok yang sudah menyala.
Aku duduk kembali di tempatku semula di samping Gayatri yang sudah duduk di kursi sebelah yang biasanya menjadi singgasana Ndoro Putri ibunya. Sedangkan aku duduk di kursi yang biasanya menjadi singgasana Ndoro Kakung. Sungguh kami kelihatan romantis sekali pagi ini.
"whaladalah.... byuh.. byuh.. byuh...."
("whaladalah.... aduh.. aduh.. aduh....")
"jian puantes tenan iki..."
("benar benar serasi ini...")
"ndok'e ayune ngungkuli midodari, kang mas'e baguse koyo janoko..."
(ceweknya cantik melebihi bidadari, cowoknya ganteng kayak arjuna...")
"byuh.... byuh... byuh...." Kata si mbah Sinem yang lewat di depan rumah.
"hehehehe.... enggih leres mbah...."
("hehehehe.... iya benar mbah....")
"ndok'e pancen leres ayune ngungkuli midodari mbah..."
("ceweknya memang benar cantiknya melebihi bidadari mbah...")
"kang mas'e nggeh leres baguse kados janoko..."
("cowoknya juga benar gantengnya kayak arjuna...")
"janoko ilang gapite mbah.... hahahaha....." Jawab Non Ega di sertai ejekan kepadaku.
Saya mohon bantuannya mengartikan bagi siapa saja yang bisa memberikan bantuan. terimakasih
"sifatmu ki kawit mbiyen kok ora maleh maleh to ndok..."
("sifatmu itu dari dulu kok gak pernah berubah to nak....") Sambung si mbah sepuh Sinem sambil berjalan menjauh.
Non Ega hanya senyum senyum, sepertinya dia senang bisa mengejek aku. Aku yang di ledek habis habisan hanya bisa berpura pura tak perduli sambil tetap menikmati alunan merdu gending campur sari dan menghisap sebatang rokok serta secangkir kopi hitam buatan Ndoro Ayu Gayatri.
Saat sedang asik berduaan duduk di singgasana para kanjeng, kami di kejutkan dengan suara dering telefon dari dalam rumah.
"kriiing.... kriiing.... kriiing...." Suara dering telefon rumah bergaya klasik.
"ada telefon tu Ga...."
"pasti itu dari sekolahan...."
"ya udah.... biar aku yang angkat..." Jawab Non Ega.
Non Ega beranjak dari duduknya dan segera berjalan menuju telefon yang sedang berdering di ruang tengah.
"cuup...." Sebuah kecupan mesra mendarat di pipiku.
Saat akan beranjak, Non Ega secara tiba tiba mendaratkan satu kecupan mesra di pipiku.
Betapa terkejutnya aku mendapatkan ciuman pertama dari Raden Gayatri yang diam diam telah menawan hatiku itu. Aku hanya bisa diam terpaku di dalam keterkejutan menyaksikannya berlalu sambil mengusap pipi bekas ciuman Non Ega itu.
Tersadar dari ketertegunan, aku kemudian menyusul Non Ega masuk ke dalam rumah. Niat awalnya aku ingin meminta penjelasan akan arti ciuman itu. Sesampainya di dalam ruang keluarga, aku lihat Non Ega baru saja menutup telefon yang tadi berdering.
"siapa yang telefon Ga...?"
"dari sekolahan ya...?" Tanyaku penasaran.
"iya... barusan orang sekolah menanyakan kenapa kita dua hari gak masuk sekolah....?" Jawabnya.
"trus... kamu jawab apa...?"
"ya aku jawab aja aku lagi malas sekolah..."
"terus aku minta kamu buat nemenin aku di rumah..."
"udah to... beres deh...." Jawab Non Ega enteng.
Aku tak bisa memberi komentar akan apa yang baru saja Non Ega katakan. Aku hanya tidak habis fikir kenapa Non Ega harus beralasan seperti itu. Apa sudah tidak ada alasan yang lebih pantas lagi, seperti bilang kalau sedang sakit atau apalah, asal jangan terlalu berterus terang seperti itu yang malah berkesan meremehkan. Tapi apa mau dikata, memang seperti itulah Non Ega.
"Ga...." Kataku tercekat di tenggorokan.
"iya... ada apa..." Jawab Non Ega dengan sorot tatap sayu yang menjadi andalannya.
Di suguhi tatapan mata yang seakan mampu meleburkan tulang belulangku itu, aku tak sanggup lagi meneruskan kata kataku. Segala apa yang telah aku rencanakan dan berjubel di benakku seakan hilang menguap begitu saja dan hanya tinggal menyisakan debaran jantung.
Merasa tak mampu lagi untuk tetap berlama lama di sini, aku mencoba untuk beranjak pergi dari hadapannya. Aku berusaha menghindar dari tatapan mata syahdunya. Ku batalkan rencana awal menanyakan arti kecupan manis itu.
Saat aku hendak beranjak pergi, tiba tiba saja Non Ega menahan dan menarik lenganku sehingga aku kini berada tepat di depannya. Kami berdiri berhadap hadapan dalam jarak yang sangat dekat. saking dekatnya sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang harum dari tempatku berdiri.
Lenganku masih berada di dalam genggamannya. Sejurus kami saling terdiam berpandangan. Non Ega yang hanya setinggi hidungku itu tengadah memandangku masih dengan sorot pandang sayu yang menjadi andalannya.
Pelan tanpa kami sadari jarak kami yang dekat menjadi bertambah semakin dekat. Bahkan sekarang tubuh kami sudah bersentuhan berhimpitan. Dari sini aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdegub di atas normal. Dapat aku rasakan juga hangat tubuhnya dan betapa halus kulit kuning langsatnya.
Sekali lagi entah bagaimana awalnya dan siapa juga yang memulainya, hingga tau tau kami berdua sudah berada dalam posisi saling berciuman berpagutan mesra. Mulut dan bibir kami saling beradu mengecap mencumbui, sementara lidah kami beradu berlilitan liar didalam sana bertukaran ludah. Deru nafas dan detak jantung kami semakin meninggi karenanya.
Pagutan ini merupakan pagutan pertamaku sehingga aku masih sangat kaku melakukannya. Di lain sisi, Non Ega yang menjadi lawan tandingku berpagutan ria juga kelihatan masih kaku sama seperti aku. Mungkin juga ini pengalaman pagutan yang pertama untuknya karena selama ini dia belum pernah berpacaran.
"sruuup... cuup.... cuuup...." Suara pagutan kami.
"emmmmh..... eeeeeh...." Desahan kami di sela sela pagutan mesra.
Tak puas hanya dengan berpagutan, tangankupun juga mulai ikut beraksi. Aku peluk tubuh mungil Gayatri dengan erat, seakan aku ingin mematahkan tulang belulangnya. Seakan aku ingin meleburkan raganya menyatu dengan ragaku.
Non Ega sepertinya juga tidak mau kalah. Dia juga membalas pelukanku dengan tak kalah eratnya. Payudaranya yang montok menempel erat di dada bidangku hingga aku dapat merasakan betapa lembut dan kenyalnya sepasang gunung kembar lambang keindahan raga wanita itu. Detak jantung kami bersatu berdegub bersahutan kencang semakin kencang dan semakin bertambah kencang.
Tanganku yang memeluk erat tubuh Ndoro Ayu mulai nakal bergerilya mengusap mesra punggungnya. Pelan namun pasti, sambil masih berpagutan mesra, tanpa kami sadari kami sudah berada di dalam kamar Non Ega. Dan tanpa kami sadari juga kami sudah berada di ranjang saling berpelukan tumpang tindih dengan masih berpagutan berciuman.
"eeeeeemh..... eeeeehh....." Desah kami yang semakin memburu.
Sambil berpagutan mesra yang sekarang sudah berubah menjadi pagutan liar penuh nafsu, kami bergulingan berpelukan bergeleparan di ranjang. Posisi kami sekarang Non Ega yang menindih tubuhku.
Tanganku masih memeluk erat tubuh mungilnya yang berada di atasku. Tanganku pun juga masih membelai rambut panjang indah hitamnya yang tergerai awut awutan. Sementara tanganku satunya lagi, yang awalnya hanya mengusap lembut punggungnya, kini bertambah semakin nakal.
Usapanku mulai turun dari punggung dan perlahan merayap pelan kebawah hingga akhirnya parkir di bokong Ndoro Ayu. Di situ tanganku beraksi meremasi bokong yang montok sementara mulut dan bibir kami masih berpagutan dengan liarnya.
Aktifitas mesum yang katanya sering di samarkan sebagai pembuktian kasih sayang itu, semakin lama semakin liar dan menggila. Semakin lama semakin jauh menembus batas batas norma kesusilaan. Di sini sudah tak ada lagi yang namanya kasta pembeda antara si sudra dan si ksatria. Di sini yang ada hanyalah sepasang muda mudi yang sedang di mabuk asmara yang sudah membuta, mungkin.
Tanganku yang semula beraksi di bokong montok anak gadis Ndoroku itu, perlahan mulai turun merabai paha mulusnya dan semakin merayap ke atas menyingkapkan rok batik motif parang rusak lebar selutut yang dia pakai menutupi aurat bawahnya. Semakin merayap naik tangan nakalku sampai rok itu tersingkap setinggi pinggangnya yang ramping sempurna.
Sementara lidah, bibir, dan kedua tanganku sibuk beraksi meraba dan mencumbui Gayatri, si adik kecil di bawah sana seakan juga tidak mau ketinggalan. Si adik kecil lambang kejantanan itu mulai bangkit dari tidurnya dan dia telah mengeras dengan sempurna. Walau nikmat tertindih gundukan lembut kewanitaan Non Ega, si kecil yang masih terpenjara di dalam celana jeans selutut yang aku pakai menggeliat meronta meminta untuk di bebaskan. Sepertinya dia tau kalau ada mangsa di dalam jangkauan.
Jemariku kini sudah sampai di selangkangan sang Ndoro ayu dan tepat berparkir di segitiga nafsu selangkangannya yang masih terbungkus celana dalam. Dapat aku rasakan bahwa celana dalam Gayatri sudah basah cairan nafsunya. Jemariku bermain mengusap usap gundukan kewanitaan yang masih tertutup celana dalam itu dengan lembut tapi penuh nafsu dari belakang. Karena kenakalan jemariku, selangkangan yang sudah basah itu semakin basah kuyup karenanya. Dapat aku rasakan juga sebiji clitoris yang terjepit di tengah belahan kemaluannya yang membuat Non Ega semakin mendesah hebat saat biji itu aku usap aku permainkan.
"ooooch..... eeeeemh...." Desah Non Ega yang semakin memburu saat aku permainkan clitorisnya.
Entah iblis mesum dari mana yang membuatku bisa seberani dan semesum ini. Merasa tak puas dengan hanya berpagutan dan menggerayang, aku kemudian membalik posisi kami. Sekarang ganti aku yang menindih tubuh mungil Non Ega dan kami masih berpagutan. Sekali lagi karena tak puas hanya dengan berpagutan dan menggerayangi tubuh Gayatri, aku berusaha untuk melepas celana dalam yang masih di kenakannya. Hanya dengan sekali sentak dan sepertinya dia juga kooperatif, maka dengan mudah celana dalam yang ternyata berwarna warni motif pelangi itu lolos dari tubuhnya.
Sejenak pagutan kami terlepas dan kami saling beradu tatapan. Lagi lagi Non Ega mengeluarkan jurus maut tatap sayu andalannya yang selalu mampu meloloskan tulang belulangku.
Sejenak aku perhatikan segundukan daging di tengah selangkangannya yang halus mulus tanpa di tumbuhi sehelaipun bulu kemaluan. Inilah kali kedua aku melihat keindahan surgawi Non Ega. Wajah ayu Non Ega menjadi bersemu merah menahan malu karena aurat paling rahasianya tersaji jelas di hadapanku dan sedang aku perhatikan. Apalagi posisi kaki Non Ega yang setengah mengangkang membuatnya semakin jelas tersaji.
Sekali lagi entah iblis mesum dari mana yang telah merasukiku sampai aku bisa berani berbuat seperti ini kepada anak Ndoro yang sangat aku hormati itu.
Aku berdiri dan mulai melepas celana yang aku pakai sekalian dengan celana dalam di baliknya. Non Ega hanya melihat aksi gilaku itu dengan tatapan sayu andalannya. Kembali wajah Non Ega bersemu merah tersipu setelah melihat batang kejantananku yang keras mengacung tegak sempurna siap tempur itu. Aku faham dengan itu karena mungkin ini juga pengalaman pertama Non Ega melihat batang kemaluan seorang pria dewasa langsung di depan matanya.
Setelah aku berhasil meloloskan batang kemaluanku dari belenggu yang selama ini mengekangnya, aku kemudian beringsut siap menindih tubuh mungil Non Ega. Tentu saja tindihanku kali ini akan berbeda dengan tindihan yang sebelumnya. Karena tindihanku kali ini juga akan di iringi dengan agresi sang batang kejantanan ke lubang kewanitaan Non Ega.
Belum sempat aku sempurna menindih tubuh mungilnya, mata Non Ega tiba tiba saja terbelalak nanar. Wajahnya merah dan seakan Non Ega seperti baru tersadar dari sebuah hipnotis. Seketika Non Ega mendorong tubuhku yang hendak menindihnya itu dan....
"plaaak.....!!!"
Sebuah tamparan keras dia layangkan tepat di pipiku sebelah kiri. Tamparan itu begitu telak dan keras menghantamku, sehingga pipiku terasa perih dengan bekas kemerahan yang tertinggal di sana.
Aku bingung tak mengerti dengan arti tamparan ini. Bukankah tadi dia yang memulai dan sepertinya dia juga menginginkan ini.
Mulai terdengar isak tangis darinya dan menetes juga butiran bening air mata dari sudut mata sayunya dan dia berbalik tengkurap membenamkan wajah ayunya di bantal.
"hiks... hiks... hiks... hiks...." Suara isak tangisnya.
Aku berusaha mendekati untuk menenangkan dan menyeka air matanya. Mungkin saja dia shock dan belum siap untuk berbuat sejauh ini.
Belum sempat aku melaksanakan niat baikku itu, tiba tiba saja Non Ega berbalik dari tengkurapnya. Dengan pandangan nanar dan raut bengia penuh emosi Non Ega mendorongku hingga aku terjengkang jatuh dari ranjangnya untuk yang kedua kalinya dalam sehari ini.
"bangsat kamu Pardi... bajingan kamu...!!!"
"minggat kamu... kaluaaar!!!!" Maki dan hardik Non Ega mengusirku.
"tapi Non...." Jawabku tak mengerti.
"aku bilang keluar ya keluar bajingan....!!!"
"tidak pantas kamu berada di sini.....!!!"
"tidak pantas kamu menyentuh tubuhku....!!!"
"kamu itu hanya seorang babu... sadar nggak....?!!" Hardik Non Ega sambil mempertegas strata sosialku.
Aku masih belum mengerti kenapa Non Ega berubah menjadi seperti ini. Sudah hilang sama sekali raut manis di wajah ayunya yang tadi telah mempesonakanku. Kembali lagi terpajang di wajah cantiknya raut iblis pongah dan congkak seperti biasanya.
Aku benar benar terpukul dan tak habis fikir dengan ini. Pucuk pucuk asmara yang baru akan mulai tumbuh dengan subur kini mendadak layu seketika. Sayap sayap kasih yang baru akan terkepak telah di patahkan tanpa di beri kesempatan mengepakkan sayapnya untuk terbang
Dengan hati yang terluka aku melangkah gontai keluar dari kamar Non Ega setelah aku memakai celanaku kembali. Aku sepenuhnya sadar diri siapalah aku ini. Benar kata Non Ega baru saja, aku hanyalah seorang babu, seorang kacung, seorang sudra. Aku memang tak pantas bersanding apalagi menyentuh tubuh indah sang putri priyayi. Aku hanyalah si sudra yang terlalu bermimpi tinggi memiliki seorang putri kasta ksatria. Sudah menjadi kodrat manusia seperti aku ini hanya bisa bermimpi. Ingin aku terbangun dari mimpi ini seperti tadi pagi, tapi aku tak bisa karena sekarang nyata adanya.
Sesampainya di kamarku, sejenak aku merenung memikirkan semua ini. Aku berusaha meyakinkan hatiku dan berusaha melupakan semua ini. Perasaanku kacau hatiku galau. Aku merasa tak sanggup lagi berlama di sini dengan hati yang seperti ini. Aku butuh keluar mencari udara segar untuk menenangkan hati dan jiwaku yang terguncang dahsyat.
"iya.... aku butuh keluar...."
"aku butuh udara segar.... aku butuh pencerahan...." Suara ratap hatiku.
Sejenak aku lupa akan para sahabatku yang pastinya akan merana kelaparan karena ini. Aku sudah tak perduli lagi dengan semua itu. yang aku perdulikan hanya bagaimana caranya aku bisa melupakan semua ini dengan cepat. Melupakan kejadian indah yang berakhir dengan penghinaan ini.
Kembali aku melangkah menuju kamar Non Ega untuk mengambil kunci motor yang tergeletak di meja rias di kamarnya. Dengan santainya aku melangkah masuk tanpa permisi terlebih dahulu. Karena guncangan yang sedemikian hebatnya, aku sampai melupakan tentang apa yang namanya unggah ungguh toto kromo. Aku sudah tak perduli lagi dengan itu semua dan kemarahan Non Ega yang mungkin akan meledak lagi karena ini. Toh aku kan sudah terbiasa dengan marahan dan caci makinya.
Sesampainya di dalam kamar Non Ega aku langung mengambil kunci motor itu tanpa menyapa ataupun meminta izin. Aku lihat Non Ega masih menangis tengkurap membenamkan wajahnya di bantal. Non Ega masih belum merapikan pakaiannya yang awut awutan karena ulahku tadi. Dia masih belum merapikan rok batiknya yang tersingkap jauh sampai ke pinggang dan masih memamerkan bokong indahnya yang montok halus mulus yang masih belum tertutup celana dalam lagi.
"kenapa dia menangis....?"
"bukankah seharusnya aku yang menangis meratap..." Tanya hatiku.
Aku sudah tak perduli lagi. Aku ingin cepat cepat keluar dari rumah di mana aku mengabdi ini, sejenak mencari pencerahan dan udara segar di luar. Segara aku keluar dari kamar Non Ega membawa kunci motor. Sesampainya di luar rumah, langsung aku menyalakan motor yamaha F 1 ZR kelir double tone hitam orange lansiran 2001 yang terparkir di garasi dan langsung meluncur di jalanan tak tentu arah.
Kembali terngiang lagu campur sari berjudul Wuyung ciptaan Iswandi yang juga di nyayikan almarhum Manthous sang maestro campur sari. Sebuah lagu yang tepat menceritakan tentang lara hati si kasmaran seperti aku ini.
WUYUNG
Laraning loro, Ora koyo wong kang nandhang wuyung
Mangan ora doyan, Ora jenak dolan neng omah bingung
Mung kudu weruh, woting ati duh kusumo ayu
Opo ora trenyuh sawangen iki awakku sing kuru
Klopo mudho leganono nggonku nandhang bronto
Witing pari dimen mari nggonku loro ati, Aduh nyowo
Duh duh kusumo, Opo ora kroso opo pancen tego
Mbok mbalung janur, Paring usodo mring kang nandhang wuyung
Laraning loro, Ora koyo wong kang nandhang wuyung
Mangan ora doyan, Ora jenak dolan neng omah bingung
Mung kudu weruh, woting ati duh kusumo ayu
Opo ora trenyuh sawangen iki awakku sing kuru
Klopo mudho leganono nggonku nandhang bronto
Witing pari dimen mari nggonku loro ati, Aduh nyowo
Duh duh kusumo, Opo ora kroso opo pancen tego
Mbok mbalung janur, Paring usodo mring kang nandhang wuyung
Dengan hati yang tak menentu aku berjalan menyusuri jalan perkampungan hingga tanpa terasa aku telah sampai di suatu daerah yang bernama Karangsoko. Di desa yang terkenal karena keberadaa SMK swasta Karya Darma itu, tanpa sengaja aku lewat didepan rumah Rudi sahabat sekelasku.
Saat aku melintas di depan rumah Rudi, aku melihat motor Suzuki Satria R kelir biru televonica miliknya terparkir di depan rumah. Kalau motornya ada di rumah berarti Rudi juga berada di rumah. Padahal sekarang baru sekitar jam setengah sepuluh pagi.
"loh... kok motornya Rudi ada di rumah...?"
"kalau motornya ada berarti rudinya juga ada...."
"apa dia tidak sekolah ya..." Batinku.
Akupun kemudian berputar berbalik arah dan berbelok ke rumah Rudi. Setelah memarkirkan motor di bawah pohon mangga di pekarangan rumahnya, aku langsung berjalan menuju pintu rumah kelurga Rudi yang sederhana namun asri. Banyak bunga bunga indah yang tertanam rapi di pekarangan rumah itu.
Saat aku sampai di depan pintu rumah itu, aku terhenyak saat hendak mengetuk pintu.
"duh Gusti.... opo meneh ini....?"
("oh tuhan.... apa lagi ini....?") Tanya hatiku.
Aku lihat dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna, di dalam sana di atas sofa, Rudi yang masih mengenakan seragam sekolah sedang bercumbu penuh nafsu dengan seorang gadis yang juga masih berseragam sekolah. Entah siapa lawan tanding bercumbu Rudi sahabatku itu karena posisi si gadis yang membelakangiku. Terlihat mereka sudah mahir sekali melakukan prcumbuan itu karena mungkin mereka sudah terbiasa dan berpengalaman.
"siapa gadis itu....?" Suara tanya di dalam hatiku penasaran.
Aku yang ingin melupakan percumbuanku dengan Non Ega dirumah, menjadi teringat lagi akan kejadian indah yang memilukan itu. Kemesraan penuh nafsu mereka semakin menambah perih luka memar di hatiku.
Tak terasa air mata sedih yang dari tadi berusaha aku tahan agar tidak keluar dari mataku, akhirnya keluar juga tak mampu lagi aku tahan. Terasa hatiku yang terluka (apa pantas sebenarnya aku terluka) dengan luka yang semakin perih dan semakin lebar menganga.
"duh Gusti kulo nyuwun pangapuro...." Doaku di dalam hati.
>>>Bersambung>>>
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 komentar