• Posted by : Tanpa Nama 4 Jan 2013


    Chapter III


    SUPARDI BIN PULAN




    Hari ini sudah jam 10 siang aku baru bangun tidur. Mataku masih terasa berat setelah di paksa Non Ega bergadang semalaman menemaninya yang ketakutan setelah bermimpi buruk. Rasanya aku malas untuk beranjak bangun dari ranjangku.

    Aku juga masih memikirkan tentang mimpi buruk semalam. Mimpi buruk yang sama dengan yang Non Ega impikan dan dalam waktu yang bersamaan pula. Apakah mimpi itu merupakan suatu pertanda ataukah hanya bunga tidur seperti mimpi mimpi yang lain. Apa mungkin juga mimpi itu merupakan sebuah teguran dari penguasa gaib Karanggongso atas kelakuanku memalak pasangan mesum itu.

    "ah... mana mungkin... kan mereka yang mesum...?"
    "lagi pula bukankah klenik, mistis atau apalah itu namanya hanyalah mitos belaka..." Batinku.

    Aku berusaha melupakan tentang mimpi buruk semalam. Aku berusaha meyakinkan hatiku bahwa mimpi itu hanyalah mimpi biasa, mimpi bunga tidur. mimpi selamanya hanyalah mimpi dan tak akan pernah menjadi nyata.

    Sebenarnya aku ingin kembali tidur mengistirahatkan mata dan tubuhku yang benar benar kelelahan setelah kemarin seharian pergi menemani Non Ega dan semalaman tidak tidur yang sekali lagi juga menemani Non Ega. Tapi lagi lagi aku teringat akan nasib para sahabatku yang pastinya akan sangat merana seandainya aku lebih menuruti keinginanku untuk tidur. Pasti mereka akan terkena busung lapar kalau aku tidak pergi mencari pakan untuk mereka.

    Bergegas aku bangun dan segera menuju ke kamar mandi untuk menyegarkan badanku. Sebelum mandi aku menyempatkan waktu sebentar menengok para sahabatku dan sejenak bercengkrama dengan mereka. Riuh suara para sahabat karib itu begitu mengetahui kedatanganku.

    "selamat siang mabrada and masista... apa kabar kalian hari ini...?"

    "mbeek... mooh..." Jawab para sahabat.

    "kasihan... kalian pasti kelaparan..."
    "sementara kalian makan ini aja ya...?"
    "nanti sore baru aku carikan rumput segar untuk kalian..."

    Karena aku belum sempat mencarikan rumput segar buat mereka, terpaksa hari ini mereka aku beri makan bekatul di campur air yang katanya bergizi tinggi dan mengandung AA dan DHA itu.

    "pardi...!!! kapreeet...!!!"
    "dasar kampret edaaan....!!!" Teriakan sang iblis betina dari arah kamar mandi.

    Aku terkejut mendengar teriakan Non Ega dari dalam kamar mandi. Untung saja aku tadi tidak langsung menyelonong masuk ke kamar mandi. Kalau saja begitu pasti kejadian tempo hari akan terulang lagi.

    "iya Non.... ada apa sih...?"
    "biasa aja kali manggilnya gak usah pakai teriak teriak..." Jawabku sambil mendekat.

    "koclok... semprul... dancok kowe ki..."
    "aku arep mandi gak ada airnya kampret...." Omel Non Ega dari dalam.

    "maaf Non... Pardi belum sempat nimba tadi..."
    "ni aja Pardi baru bangun non..."

    "pemalas banget sih kamu...?!"
    "jangan mentang mentang gak ada bapak ibuk jadi kamu bisa berbuat seenaknya aja ya..."
    "awas kamu... ntar tak laporin kamu..."

    "ini juga gak sengaja Non..."
    "gara gara semalam Non Ega ngajakin bergadang, jadi Pardi bangunnya kesiangan..."

    "oooo... jadi maksud kamu aku yang salah gitu...?!"
    "sudah mulai berani melawan ternyata kamu ya...?!" Semprot Non Ega dengan nada beremosi tinggi.

    "maaf Non... bukan begitu maksud saya Non..."

    "terus nasib ku sekarang gimana ini...?" tanya Non Ega.

    "Non keluar aja dulu biar aku nimba air dulu sebentar..."

    "enak aja kamu kalau ngomong.... sembarangan..."

    "loh... memangnya kenapa non...?"
    "orang tinggal keluar doang kok... gampang..."

    "ini aku sudah telanjang tolol...."

    "jiaah... ya tinggal pakai baju lagi to yho..."

    "iih... ni anak guabloknya amit amit..."
    "kalau ada baju aku sudah keluar dari tadi tolol..."
    "ini masalahnya bajuku sudah terlanjur aku rendam begok..." Cerocos Non Ega yang tak ketinggalan dengan makiannya.

    "ya kalau gitu pakai handuk aja dulu Non..."

    "nah itu dia juga masalahnya pret kampret..."
    "tadi aku lupa bawa handuk..."

    "lha terus gimana dong...?"

    "kamu ambilin handuk di kamar aku deh ya..."

    "gak mau ah Non... masa iya aku masuk masuk kamar Non Ega...?"
    "gak sopan itu namanya Non..."

    "udah deh jangan banyak bacot... ambilin cepet kampret...!" Bentaknya.

    Kalau saja di rumah ini ada mesin air, pasti kejadian seperti ini tak akan pernah terjadi.

    Kenapa Non Ega harus keluar dulu sementara aku menimba air?

    karena saat aku mengisi bak mandi, aku harus membawa timbanya masuk kedalam kamar mandi baru kemudian menuangkannya ke dalam bak mandi.

    Dan kenapa juga Non Ega tidak menyuruhku pergi dulu sementara dia berlari telanjang keluar dari kamar mandi dan masuk ke rumah?

    Itu di karenakan posisi rumah ini yang unik. Rumah joglo besar ini tak bertembok halaman baik di depan maupun di belakang (menurut Ndoro Kakung katanya biar lebih merakyat), dan di belakang rumah tak jauh dari posisi kamar mandi ada jalan setapak yang sering di gunakan orang orang untuk pergi ke sawah atau ke hutan. Bisa saja pas Non Ega berlari telanjang keluar dari kamar mandi pas ada orang yang lewat dan melihat ketelanjangan Non Ega. Itu mungkin yang Non Ega takutkan.

    Kalau itu sampai terjadi, bisa hancur nama besar keluarga Noyolesono. Pasti geger sekabupaten dan bisa jadi bahan pergunjingan orang sekampung bahwa Raden Ayu Gayatri sudah gila sampai berlarian telanjang bulat. Itu yang tidak di kehendaki Non Ega.

    "iya deh Non... sebelumnya maaf dulu dan permisi ya Non..."

    "iya iya bawel... cepet buruan sana gih..."

    Segera aku berlari masuk ke kamar Non Ega. Baru ini kali kedua aku masuk ke kamar Ndoro Ayuku itu setelah semalam yang pertama. Dan inilah baru pertama kalinya aku masuk ke sini sendirian tanpa ada Non Ega.

    Setelah tingak tinguk melihat kanan kiri, akhirnya apa yang aku cari ketemu juga. Sebuah handuk tebal nan lembut berwarna ungu tergantung di pintu kamar. Selesai mengambil handuk itu sebenarnya aku ingin segera keluar dari kamar ini. Tapi tiba tiba saja pandangan mataku tertuju pada sebuah diary pink di atas meja belajar Non Ega yang telah terbuka. Sepertinya lembar buku diary yang terbuka itu baru saja di isi.

    Karena di dorong rasa penasaran yang kuat, akhirnya aku menyempatkan diri untuk mengintip isi diary pink itu. Pada lembar diary yang terbuka itu terdapat coretan coretan abstrak yang merangkai sebuah tulisan The Sound of Heart Break.

    "apa maksud arti dari tulisan ini...?"

    Aku urungkan niatku untuk membaca lebih lanjut diary pink Ndoro Ayuku. Buru buru aku keluar dari kamar itu dengan membawa handuk warna ungu dan langsung menyerahkannya kepada Non Ega yang sedang telanjang kedinginan di dalam kamar mandi. Tapi aku tetap tidak bisa melupakan apa yang tertulis di diary pink itu. Sebuah tulisan dalam bahasa inggris yang berarti suara hati yang terluka.

    Hati siapa yang terluka? Sedangkan setauku Non Ega tidak pernah dan punya yang namanya pacar yang bisa melukai hatinya. Walaupun sebenarnya banyak berjejer anti cowok cowok diluar sana yang mendaftar menjadi pacarnya.

    "ini Non handuknya..." Kataku sambil menyodorkan handuk ungu itu.

    "mana.... sini...."

    Non Ega hanya membuka sedikit pintu kamar mandi dan menjulurkan lengannya yang halus mulus dengan hiasan bulu bulu lembut menerima handuknya.

    Tak lama kemudian dengan hanya berlilitkan handuk Non Ega langsung berlari keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam rumah. Setelah itu aku langsung menimba air mengisi bak kamar mandi.

    Selesai menimba air aku kemudian masuk ke rumah dan memberitahukan bahwa air untuk mandi sang Ndoro putri sudah siap.

    "Non... airnya sudah siap tu Non..." Kataku dari balik pintu kamar Non Ega.

    "iya..." Jawabnya pendek.

    Sementara menunggu Non Ega mandi, aku duduk duduk bersantai sejenak di teras rumah sambil menikmati kicauan burung perkutut kesayangan Ndoro Kakung. Tak ketinggalan juga aku mendengarkan alunan gending jawa seperti yang biasa Ndoro Kakung lakukan.

    Setelah aku rasa sudah cukup lama menunggu, aku kemudian kembali lagi kebelakang mengambil giliran mandi. Rencanaku selesai mandi aku akan ke kebun mencari pakan untuk para sahabat karibku.

    Ternyata rencana tinggallah rencana karena ternyata Non Ega belum selesai mandinya.

    [I]"uedian tenan... ini mandi apa bertapa sih...?"[/I} Gumanku dalam hati.

    Entah setan atau iblis dari mana yang tiba tiba merasukiku hingga aku mempunyai pikiran kotor untuk mengintip Non Ega. Aku penasaan dengan apa yang dia lakukan hingga mandi selama ini. Lagipula mumpung Ndoro Kakung dan Ndoro Putri tidak ada di rumah.

    Setengah berjingkat aku berjalan ke arah kamar mandi. Melalui celah pintu kayu kamar mandi yang memang tidak bisa tertutup rapat itu aku mengintip kedalam ingin tau apa yang Non Ega lakukan. Jujur aku juga penasaran ingin melihat lagi tubuh polos anak gadis Ndoroku yang cantik jelita itu seperti tempo hari yang hanya sekilas.

    Hidungku hampir mimisan melihat apa yang ada di dalam kamar mandi. Di dalam sana Non Ega yang sedang dalam keadaan telanjang bulat sedang mencukur bulu kemaluannya. Dalam posisi duduk mengangkang di lantai kamar mandi, Non Ega merapikan bulu bulu kemaluannya yang sudah mulai panjang. Dan yang lebih edan lagi, posisi duduk mengangkang Non Ega tepat mengarah ke arah ku yang sedang mengintip sampai hampir mimisan ini.

    Jantungku berdegub semakin kencang. Keringat dingin mulai jatuh bercucuran, dan yang pasti si adik kecil di bawah sana mulai bereaksi karena horny berat melihat pemandangan erotis ketelanjangan sang anak majikan.


    Wajah ayu yang biasanya sering di hiasi dengan seringai senyum iblis itu semakin sempurna secara raga. Tubuh yang indah dengan hiasan sepasang payudara montok di dadanya sungguh sedap di pandang mata. Dan ini dia yang hampir membuatku mati berdiri terkencing kencing. Segundukan daging berhiaskan bulu bulu halus di selangannya yang sedang di rapikan itu benar benar benar mengguncang dunia dan jiwaku. Ini baru pertama kali aku melihat bentuk sebenarnya secara nyata keindahan kemaluan seorang wanita, dan gilanya pada pengalaman pertama ini aku langsung di suguhi dengan yang terindah yang pernah tercipta.

    Aku yang mulai horny tak tertahankan menjadi kelimpungan sendiri. Ingin aku menghentikan aksi tak sopanku ini, tapi rasa penasaranku juga terlalu kuat sehingga aku tak mau beranjak dari sini. Tapi kalau aku tetap di sini mungkin aku bisa mati berdiri terkencing kencing, sementara dibawah sana si adik kecil menagih janji akan sebuah kenikmatan birahi.

    Tak terasa tanganku mulai nakal masuk ke dalam celana kolor ijo yang aku pakai. Niat pertamanya sebenarnya aku ingin menenangkan dan menidurkan adikku yang mulai nakal berdiri. Tapi rupanya keputusan yang aku ambil ini salah.

    Ternyata adik kecilku di bawah sana malah suka aku perlakukan seperti ini. Usapan dan belaian yang semula aku tujukan untuk kenidurkannya malah semakin membuatnya bangun segar bugar sehat walafiat dan semakin tegak berdiri dengan gagahnya. Seakan seiya sekata dengan sang adik kecil, tanganku seperti terhipnotis bergerak sendiri mengelus elus dan mengusap usap lembut penuh birahi si adik kecil.

    Jempol jariku juga tak mau kalah bermain dengan mengusap usap kepala sang adik kecil yang membuatnya bergidik kegelian. Rasa nikmat dan hasrat penasaran ingin menuntaskan kenikmatan ini semakin tak terbendung lagi. Tanganku yang awalnya cuma mengusap dan mengelus kini telah berubah jadi mengurut dan mengocok pelan.

    "oooh... Non.... enak banget ini non...." Desahku yang hanya tertahan dalam hati.

    Sementara aku mendelik mengintip sambil keenakan mempermainkan si adik kecil, Non Ega yang sedang duduk mengangkang di dalam kamar mandi itu seakan malah sengaja semakin menggodaku. Non Ega semakin melebarkan kangkangan kakinya yang membuat aku bisa semakin jelas menikmati keindahan segundukan daging di selangkangannya. Gundukan daging syahwat berbelahan rapat di tengahnya itu semakin jelas terlihat di pelupuk mataku setelah bulu bulu halus yang tadinya menutupi itu hampir bersih di cukur rapi. Bahkan aku juga bisa melihat sebuah biji kecil yang menyempil di tengah belahan kemaluannya.

    Sumpah aku benar benar tak kuat lagi menghadapi ini semua. Pandangan mataku melotot seakan bola mataku ingin meloncat keluar dari kelopaknya. Dan semakin kuat juga dorongan untuk menuntaskan ini semua.

    Seandainya berani, aku ingin mendobrak masuk ke dalam kamar mandi itu dan memperkosa si anak gadis Ndoroku itu. Tapi sayangnya aku terlalu pengecut untuk berani melakukannya. Akal sehatku juga masih bisa bekerja dengan baik. Aku tak ingin dorongan nafsu sesaat ini malah akan menghancurkan hidupku yang telah susah payah aku rangkai sehelai demi sehelai sampai sejauh ini.

    Merasa benar benar tak mampu lagi menahan hawa nafsu dan dorongan ingin segera bisa menuntaskan birahi yang semakin menggelora ini, aku kemudian menghentikan aksi mengintipku dan buru buru masuk ke kamarku. Aku ingin menyelesaikan ini semua dengan aman dan nyaman tanpa was was kalau sampai kepergok Non Ega saat aku sedang mengintipnya.

    Sesampainya di kamar aku langsung memelorotkan kolor ijo yang aku pakai sekalian dengan celana dalam ungu di dalamnya. Setelah itu aku merebahkan diriku di ranjang demi alasan kenyamanan dan langsung kembali mengurut dan mengocok batang kemaluanku. Aku mendesis lirih sambil memejamkan mata membayangkan indah dan mempesonanya tubuh telanjang Non Ega.

    Tapi sial, ternyata rangsangan yang aku dapat tak sedahsyat seperti saat mengintip tadi. Lama aku mengocok si adik kecil yang keras berdiri dengan gagahnya itu sampai panas bahkan mungkin sampai lecet, tapi apa yang aku harapkan tak kunjung datang juga. Bahkan tensi ketegangan si adik kecilku malah berkurang tak sekeras tadi saat mengintip Non Ega yang sedang mencukur bulu kemaluannya.

    Tapi aku tak mau menyerah begitu saja. Apapun yang terjadi pokoknya hasrat ini harus bisa aku tuntaskan. Tak perduli berapa lama aku harus mengocok si adik kecil, tak perduli biarpun sampai panas dan lecet atau sampai patah sekalipun. Yang jelas pokoknya nafsu ini harus tuntas setuntas tuntasnya. Ya kalau patah tinggal di air keras dan di pakai sebagai gantungan kunci.

    Entah berapa lama aku mengocok batang kejantanan yang biasa aku panggil adik kecil itu sampai panas. Sampai akhirnya setelah erusaha bersusah payah apa yang aku harapkanpun akhirnya datang juga. Dorongan nikmat mulai berkumpul di ujung kepala kemaluanku dan tinggal menunggu masalah waktu untuk menyembur keluar membebaskan diri. Masih dengan memejamkan mata aku semakin bersemangat mengocok si adik.

    "emmh.... ooooh....."
    "aaaah.... eenak bangeeet......"
    "oooooohh......" Suara desahanku.

    Kenikmatan yang menggumpal di ujung kemaluanku semakin nikmat tak tertahankan. Dalam hitungan ketiga seprotan kenikmatan itu siap memuncrat deras dari lubang kencing di kepala kemaluanku.

    Mataku yang semula terpejam tiba tiba melotot seiring dengan kenikmatan yang keluar. Tapi apa yang aku lihat begitu mataku terbuka benar benar tak pernah aku harap dan inginkan. Bagaikan dalam mode slow motion aku melihat kalau ternyata Non Ega sudah berdiri di pintu kamarku dan menyaksikan aku yang sedang mengejang kenikmatan mempermainkan kemaluanku.

    "aaaaaaahhh......" Erang nikmat seiring sperma yang keluar.

    Semua sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menahan puncratan sperma yang begitu nikmat keluar dari lubang kencingku, dan Non Ega melihat itu semua secara langsung dan jelas dengan menutup mulutnya yang melongo seakan tak percaya dengan apa yang di lihatnya dan yang aku lakukan.

    "edan kamu Pardi....."
    "edaaaaan....!!!" Teriknya terkejut histeris.

    Aku yang masih terbuai sisa sisa kenikmatan tak bisa berbuat apa apa.

    Non Ega yang mungkin shock berat dengan apa yang baru saja dilihat dengan mata kepalanya sendiri itu langsung beranjak pergi sambil membanting pintu kamarku sekeras kerasnya.

    "jgluaaak....!!!" Suara pintu yang di banting dengan keras.

    Sekali lagi aku tak bisa berbuat apa apa selain melongo begok tak percaya bahwa Non Ega menyaksikan perbuatanku ini. Aku hanya bisa menyesali kebodohanku kenapa sampai aku lupa tidak mengunci pintu.


    "Pardi.... Pardi... guoblog banget sih kamu jadi manusia..." Suara batinku menyalahkan diri.

    Setelah bisa mengendalikan diri dari serbuan kenikmatan yang seakan merontokkan tulang belulang itu, aku segera beranjak dari kamar dan berusaha menemui Non Ega. Aku ingin meminta maaf atas apa yang baru saja dia saksikan.

    Sesampainya di depan pintu kamar Non Ega aku jadi sedikit ragu untuk melakukan apa yang tadi sudah aku rencanakan. Aku jadi ragu apakah aku harus meminta maaf untuk itu. 

    "Bukankah apa yang baru saja aku lakukan itu adalah hak asasi manusia yang paling asasi asal masih dalam koridor kesusilaan dan tidak merugikan orang lain..."
    "terus... kenapa aku harus minta maaf... kan Non Ega yang malah seharusanya tak berada di situ...?"
    "lagipula kalau aku mau minta maaf bagaimana ngomongnya...?"
    "kan gak pantes ngomongin soal yang begituan apalagi dengan cewek..." Suara batinku ragu.

    Akhirnya setelah melalui pertentangan batin antara meminta maaf atau tidak, akupun sampai pada sebuah keputusan untuk tak melakukan itu. Aku tidak jadi meminta maaf kepada Non Ega karena aku rasa itu tidak perlu.

    Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari rumah menenangkan diri dengan mencari pakan di hutan dekat rumah untuk mengobati kegalauan hatiku. Aku tak perduli walau hari masih siang bolong dan matahari masih bersinar dengan teriknya. Di sepanjang jalan menuju hutan orang orang yang bertemu denganku bingung dengan keanehanku. Di saat orang orang pulang dari hutan untuk beristirahat, aku malah naik ke hutan.

    "loh... arep nang ndi to le....?"
    ("mau kemana nak....?")
    "wong bedug bedug ngene kok malah nyang alas...?"
    ("orang tengah hari begini kok malah ke hutan....")
    "mbok yho mengko wae bar luhur..."
    (apa nggak nanti aja habis dzohor...") Tegur mbah warso yang baru pulang dari kebunnya.

    "hehehehe.... enggih mbah...."
    ("hehehehe.... iya kek...")
    "wong wingi kulo kesupen mboten pados ramban mbah..."
    ("orang kemarin saya lupa nggak nyari pakan ternak kek...")
    "mesakne weduse sampun kaliren..."
    ("kasihan kambingnya sudah kelaparan...") Jawabku sopan sambil sambil berlalu.

    Mbah Warso yang juga menjabat sebagai jogo tirto di desa ini hanya menggeleng kepala heran melihat kelakuanku.
    ("jogo tirto" adalah jabatan di desa yang pekerjaanya mengurusi masalah pengairan.)

    Sekitar jam empat sore aku baru pulang ke rumah. Sebenarnya aku enggan dan malu pulang kerumah dan harus berhadapan dengan Non Ega. Tapi masa iya aku tidak pulang kerumah, mau kemana lagi aku kalau tak pulang kerumah orangtua Non Gayatri.

    Sesampainya di rumah aku langsung memberikan pakan yang baru aku cari di hutan ke kambing sahabatku. Sementara untuk sang sapi aku memberinya makan damen di capur sedikit rumput yang baru aku cari. ("damen" batang padi yang sudah kering.) Aku berusaha menyibukkan diri dengan mereka lebih lama untuk menghindari bertemu dengan Non Ega.

    Melihat keadaan rumah sepertinya Non Ega tak keluar dari kamarnya setelah kejadian itu. Di dapur juga tak ada bekas piring yang menandakan berarti Non Ega belum makan dari tadi pagi. Non Ega sepertinya begitu shock melihat apa yang aku lakukan sampai sampai dia mengurung diri di kamar.

    Mengetahui itu aku jadi khawatir dengan keadaan Nona majikanku yang sepertinya belum makan itu. Aku takut kalau Non Ega sampai sakit gara gara tidak makan apalagi kalau sampai kena beri beri, gizi buruk, atau busung lapar. Bisa jadi aib besar keluarga kalau itu sampai terjadi.

    "kan gak lucu anak Raden Mas Haryo Seto yang kaya raya dan terhormat ini sampai sakit karena kurang makan..."
    "apalagi kalau sampai kena busung lapar, gizi buruk dan lain sebagainya..."
    "amit amit jabang bayi...." Gumanku sambil tersenyum lucu membayangkan seandainya itu sampai benar benar terjadi.

    Bagai mana jadinya kalau Non Ega yang cantik jelita itu kurus kering tinggal tulang belulang terbungkus kulit keriput terserang busung lapar. Kalau itu sampai terjadi berarti musnah sudah salah satu dari keajaiban dunia, salah satu bukti keEsaan yang maha pencipta.

    Walau ragu aku memberanikan diri menemui Non Ega di kamarnya.

    "tok... tok... tok..."

    "Non... Non Ega....???"
    "lagi ngapain Non... kok Non Ega gak makan...?" Tanyaku dari balik pintu kamar.

    Lama aku menunggu tapi tak ada jawaban Non Ega dari dalam kamarnya. Lama lama aku jadi semakin khawatir jangan jangan benar terjadi sesuatu dengan Non Ega seperti yang aku bayangkan.

    "tok... tok... tok..."

    "Non... Non Ega... ini Pardi Non...."
    "Non Ega adakan di dalam...?"

    Masih belum ada jawaban dari Non Ega yang semakin membuatku khawatir.

    "tok... tok... tok...."

    "Non... Non Ega..."

    "tok... tok... tok..."

    "Non... Non Ega masih hidupkan...?"

    Saat aku masih sibuk mengetuk dan memanggil manggil dari luar kamar anak juraganku itu, tiba tiba pintu kamar terbuka dan sebuah guling yang lumayan keras melayang menghantam mukaku tanpa sempat mamberi aku waktu untuk menghindar.

    "jbluuugh....." Suata guling yang menghantam mukaku.

    Hantaman itu lumayan keras hingga aku yang tidak siap dan tanpa kuda kuda itu langsung terjengkang terkapar. Kepalaku terasa berat sampai ada bayangan bintang bintang dan burung yang berputar putar di kepalaku.

    "berisik amat sih....?!"
    "ganggu orang lagi tidur aja....!!!" Bentak Non Ega yang sudah berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang.

    Aku yang terkapar berusaha berdiri walau terasa berat. Hantaman guling itu benar benar telak menghantamku mukaku.

    "maaf Non... habisnya kirain Non kenapa kenapa..." Jawabku setelah mampu berdiri.

    "sembarangan aja kamu kalau ngomong...!"
    "emang kamu kira aku sudah mati...!"
    "seneng kamu ya kalau aku mati...."
    "jadi nggak ada lagi yang marah marahin kamu... gitu...?!" Omel Non Ega dengan masih berkacak pinggang.

    "yaelah Non.... yo nggak sampai segitunya juga kali Non..."
    "Pardi kan cuma khawatir Non..."
    "Non Ega kan belum makan dari tadi pagi..."

    "ya iyalah aku belum makan...."
    "mau makan apa.... makan batu....?!"
    "kamunya aja nggak masak..."
    "begok banget sih jadi babu....!"

    Baru aku sadar kalau hari ini aku belum masak. Dan baru aku sadar juga kalau dari pagi aku juga belum makan. 
    Memang selama Ndoro Putri dan Ndoro kakung tidak ada di rumah, aku yang kebagian tugas masak memasak yang biasa di kerjakan Ndoro Putri. Karena tidak mungkin menyuruh Non Ega melakukan itu, karena sudah pasti dia tidak mau. Lagi pula mana bisa Non Ega masak, sedangkan ke dapur saja dia cuma numpang lewat kalau mau ke kamar mandi atau pas makan doang. Ya begitulah Non Ega, namanya juga anak tunggal priyayi yang manjanya minta ampun.


    "looh... iya ya... Pardi lupa Non...."
    "sorry... sorry ya Non...."
    "ya udah Pardi masak dulu sekarang ya Non..."

    "mangkanya punya otak itu di pakai mikir yang bener...."
    "jangan cuma di pakai mikirin mesum doang..."
    "punya tangan juga di pakai kerja..."
    "jangan cuma buat mainin ituan doang..."

    Mendengar kalimat terakhir Non Ega itu mukaku langsung bersemu merah menahan malu. Aku tak mengira Non Ega akan mengatakan itu. Bagaikan di sambar geledek di siang bolong aku mendengarnya.
    Tak mampu lagi menahan malu, aku langsung buru buru pergi kedapur dan segera memasak.

    "Pardi.... mau kemana kamu...."
    "sini dulu...!" Panggil Non Ega saat aku hendak pergi ke dapur.

    Mendengar panggilan itu aku berhenti sejenak. Dadaku bergemuruh dan jantungku berdegub sedemikian kencangnya. Rasa malu di wajahku tak mampu lagi aku sembunyikan. Rasanya aku tak mampu berbalik dan menghadap Non Ega.

    "waduoh.... opo meneh iki...."
    (waduh apa lagi ini...")
    "modiar aku...."
    ("mampus aku....") Batinku mengeluh kecut.

    "pasti Non Ega akan membahas soal kejadian tadi siang..."
    "pasti dia akan marah marah dan melaporkan aku kepada bapak ibunya..." Kata batinku kecut.

    Aku hanya berdiri membelakanginya tanpa berani menghadapnya dan bersiap untuk hal terburuk yang mungkin aku dapat.

    "heh.... kamu budeg ya..."
    "sini dulu....!!!" Panggilnya sekali lagi.

    Aku masih diam berdiri membelakanginya dan masih belum berani berbalik dan mendekatinya. Rasanya dunia ini seketika beralih lagi ke mode slow motion untuk kesekian kalinya yang sangat menyiksaku. Rasanya aku sudah tak kuat lagi berdiri dan rasanya aku ingin pingsan saja.

    Mendingan aku pingsan saja dari pada harus berhadapan dengan Non Ega dan membahas hal paling dan sangat memalukan yang aku lakukan tadi siang.

    "guoblog... tolol.... bodoh..."
    "tadi siang kenapa juga aku harus melakukan itu...."
    "dasar Pardi begoook....!" Jerit hatiku sekali lagi menyesali perbuatanku sendiri.

    0 komentar

  • Online

    Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Forum Bersama Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan